8

239 48 4
                                    

Waktu terus berjalan. Mau tak mau, anak kecil yang pendek dan kekanak-kanakan pun perlahan bertumbuh menjadi seorang remaja.

Perasaan yang tumbuh, rasa simpati perlahan berubah menjadi kepedulian yang tak berguna terkikis oleh waktu.

"Memangnya apa yang kau lakukan saat 'itu'?"

"Aku—"

"Kau bahkan tidak melakukan apa-apa."

'Gawat, sepertinya aku salah bicara dan menyakiti hatinya.'

(Name) menatap kecewa laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu hanya bisa menunduk terdiam.

"B, bukannya aku tidak ingin menerimamu." Tangan (Name) terjulur, memegangi kedua pipi laki-laki itu agar menengadah menatapnya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu."

"Aku hanya tidak ingin terhubung lagi dengan orang-orang di sana, maafkan aku."

"Aku juga minta maaf ... aku ... tidak berbuat apa-apa saat itu," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Kacau. Gadis itu paling lemah jika ada seseorang yang menangis karenanya. Dengan sekuat tenaga ia menahan dirinya agar tidak terbawa suasana.

Tangan (Name) yang masih berada di pipi sang pemuda digenggam erat, Ian terisak hingga rasanya ia seperti berlutut di depan gadis itu.

Tidak ada yang bersalah. Semuanya korban.

(Name) tahu bahwa Ian akan mengalami kejadian yang sama sepertinya jika ia membantunya saat itu.

Tapi di satu sisi, melihat langsung seseorang yang melakukan kekerasan bisa mengikis kemanusiaannya dengan perlahan.

"Berdirilah, aku tidak menyalahkanmu."

"Tapi—"

"Kubilang aku sudah memaafkanmu!"

"Benar ... kah?" Gadis itu mengangguk mantap.

Mungkin menyisakan satu orang di sekolah lamanya bukanlah hal yang buruk.

Inilah keputusan akhir yang (Name) buat.

(Name) mengambil sebuah kertas. "Oh ya, dan untuk ini ...."  Ia mengambil napas sejenak.

'Kuharap aku melakukan hal yang benar.'

"Aku memperbolehkanmu untuk kembali menjadi temanku, satu-satunya dari sekolah itu," ucap (Name) sembari menekan logo sekolah yang berada di dada Ian, ia menyelipkan kertas berisi nomornya di saku sang pemuda.

Ian tambah terisak, ia memeluk erat (Name) tiba-tiba, membuatnya hampir terjatuh jika tak kuat menahan.

Sebuah senyuman terlukis. "Yosh, yosh, tidak apa-apa!" seru (Name) menepuk-nepuk punggung Ian.

"... terima kasih."

"Iya, sama-sama."

Menatap langit yang hampir gelap, (Name) melepas pelukan itu dan merangkul tasnya yang sempat terjatuh.

"Kalau begitu sampai jumpa, Ian."

Ian mengangguk pelan, masih sibuk mengusap air matanya.

Waktu (Name) sudah terpotong banyak karena Ian tiba-tiba datang menemuinya. Sampai ia harus bersembunyi supaya orang-orang tak memperhatikan.

Gadis itu berlari selama beberapa saat hingga rumahnya tampak dari kejauhan. Dia berhenti karena dadanya terasa sesak untuk sesaat.

Salahnya sendiri karena lupa jika tubuhnya tak cukup kuat.

𝔸𝕣𝕦𝕟𝕚𝕜𝕒 | 𝐈𝐳𝐮𝐦𝐢 𝐒𝐞𝐧𝐚 𝐟𝐭.𝐥𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐫!𝐫𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang