Bab 1

376 15 0
                                    

-HappyReading-

Amaranggana tidak pernah benar-benar tahu, kesalahan seperti apa yang telah Ia perbuat—sampai enam orang Teman sekelasnya menciptakan Neraka yang hidup untuknya.

Tiga perempuan dan tiga laki-laki. Mereka tertawa di atas lukanya, menjadikan setiap hari Sekolah sebagai panggung penyiksaan yang tak berujung. Kata-kata mereka tajam, menusuk lebih dalam dari belati. Tatapan Mereka dingin, seolah Amaranggana bukan Manusia, hanya noda yang harus dihapus.

Mereka merobek harga dirinya dengan bisikan-bisikan keji, dorongan tiba-tiba, dan tawa yang menggema ketika Ia terjatuh. Tak ada ruang aman. Tidak di Kelas, tidak di Lorong, tidak di pikirannya sendiri.

Pernah suatu hari, Mereka melampaui batas—meski bagi Mereka, batas itu tak pernah ada. Tangan-tangan Mereka menghantam tubuhnya tanpa ampun. Lantai menyambutnya seperti pelarian terakhir. Tubuhnya menggigil, tidak karena dingin, tapi karena ketakutan yang tak bisa lagi disuarakan.

Darah hangat merembes dari sudut bibirnya, dan saat kesadarannya memudar, satu-satunya yang Ia rasakan adalah kelegaan—karena untuk sesaat, Ia tak harus merasakan apa-apa.

Jika Kalian berpikir Rangga hanya diam dan menerima semuanya, Kalian salah besar.

Lelaki itu selalu mencoba melawan. Ia bukan pengecut—hanya terlalu lelah untuk terus menjadi korban. Ia mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk berdiri, untuk berteriak, untuk menangkis pukulan yang datang bertubi-tubi dari Geng Anak orang kaya yang menganggap dirinya berhak atas segalanya, termasuk rasa aman milik Rangga.

Namun, Rangga tak pandai bertarung. Tangannya gemetar lebih karena trauma daripada takut. Kakinya lebih hafal arah lari daripada arah pukulan.

Enam orang. Enam tubuh penuh amarah dan kesombongan, melawan satu jiwa yang hanya ingin dibiarkan hidup dengan tenang.

Rangga tahu, melawan berarti babak belur. Jadi, Ia memilih satu-satunya jalan yang masih tersisa, berlari. Berlari sekuat tenaga, dengan napas tersengal dan mata yang berkaca, bukan karena lemah... tapi karena bertahan adalah bentuk perlawanan paling diam-diam yang bisa ia lakukan.

Ia tidak kalah. Ia hanya belum selesai.

Namun, kali ini Ia gagal—seperti biasanya—dalam menyelamatkan dirinya sendiri.

Tubuh kurus itu terhempas ke tanah, tak berdaya, setelah menerima tendangan telak dari seorang Gadis berseragam SMA. Gadis itu berdiri tegak, dingin, seolah kekerasan adalah bahasa yang paling fasih Ia kuasai.

Rangga meringis pelan, lalu menunduk menatap seragamnya yang kini bernoda. Lumpur menempel di bagian depan, dingin dan lengket, membekas dari kubangan tempat Ia terjatuh. Tapi noda itu bukan hanya dari tanah—di sana juga ada debu, dan sisa-sisa harga diri yang dihancurkan hari demi hari.

Angin sore berembus pelan, membawa aroma besi dari luka yang terbuka. Di sekelilingnya, tawa mereka masih terdengar—tajam, menghina, seolah penderitaannya adalah hiburan.

Kini, Lelaki itu masih terduduk di tanah—lelah, gelisah, dan penuh waspada. Matanya tak lepas menatap Gadis SMA yang perlahan mendekatinya, langkahnya tenang tapi matanya menyala tajam, seperti Binatang buas yang sedang berburu.

"Ck, hari ini ia akan diapakan lagi oleh mereka?" Pikir Rangga, getir. Kepasrahan mulai menggerogoti ketakutan yang sudah lama menjadi temannya sehari-hari.

LakaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang