01 : Permulaan

225 28 3
                                    


Paris, Prancis

Di sebuah mansion, lebih tepatnya di salah satu kamar, terdapat seorang remaja laki-laki berumur 15 tahun yang sedang mengerjakan tugas di laptop. Ia mengusap matanya yang terasa lelah. Namun, sebuah ketukan pintu membuatnya menoleh sesaat sebelum kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

"Come in!" teriaknya agar terdengar sampai luar pintu.

Suara pintu yang terbuka terdengar, dan dari langkah ketukannya, remaja itu tahu siapa yang masuk.

"Young master Sean," panggil seseorang yang masuk itu.

"What?" tanya remaja yang bernama Arsean Arnesh Williams dengan matanya yang tetap fokus pada layar laptop.

"The master calls you to go to his room," jelas orang tersebut.

"Okay, please tell Dad I'll be there in a minute. I'm working on my assignments," ujar Sean yang paham pasti sang ayah memiliki beberapa hal penting untuk dibicarakan dengannya.

"Understand, young master," ujar orang tersebut yang tidak dihiraukan oleh Sean, yang masih fokus. Orang tersebut pun lekas pergi dan meninggalkan kamar Sean.

Lima belas menit berlalu, Sean baru saja menyelesaikan tugasnya. Setelah mematikan laptop, ia berjalan keluar dari kamar dan menuju ruangan ayahnya. Sesampainya di depan pintu, Sean mengetuk lalu masuk begitu saja.

Sean melihat sang ayah sedang fokus dengan komputernya, sementara tangannya sibuk menandatangani lembaran-lembaran kertas. Sean berjalan masuk dan duduk di sebuah kursi di depan meja ayahnya.

"Dad? Why did you call me?" tanya Sean sambil menatap ayahnya.

Sang ayah menoleh ke arah Sean dan menatapnya, "We will move to Indonesia for a while," terang sang ayah yang bernama Vincent Williams.

"Huh? But why?" tanya Sean kaget.

"I will build a new company branch there, and I have some things to do there," jelas Vincent.

"Hahh," desah Sean lelah, lalu menatap Vincent malas, "Why do we bother moving there just to build a company branch? And why should I come along?" tanyanya, merasa malas untuk pindah, apalagi pindah ke negara lain.

"I will introduce you as the heir of the company. And why should you come? It's because I'm going to assign you to learn to run a company. There, you have to learn to manage the company for a year, while continuing your studies until you graduate," jelas Vincent sambil menandatangani lembaran-lembaran kertas.

Sean menatap ayahnya dengan kaget, "What?! No, Dad! Why should I—"

"That's final! No refusals! I'm the one who decides here. We will move to Indonesia in a week, so this week you have to learn Indonesian!" tegas Vincent, membuat Sean mengepalkan tangannya dengan kesal sebelum pergi begitu saja.

 We will move to Indonesia in a week, so this week you have to learn Indonesian!" tegas Vincent, membuat Sean mengepalkan tangannya dengan kesal sebelum pergi begitu saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seminggu kemudian
Jakarta, Indonesia

Di siang hari yang panas, sebuah pesawat pribadi baru saja mendarat di bandara. Orang-orang berseragam hitam berjejer rapi di dekat pesawat untuk menyambut kedatangan tuan mereka. Sebuah mobil Honda Civic terparkir di dekat pesawat untuk mengantar sang tuan menuju mansion.

Pintu pesawat terbuka, dan orang pertama yang keluar adalah Vincent. Setelah itu, orang-orang berseragam hitam menyambut kedatangannya.

"Welcome to Indonesian, master!" ujar mereka serempak.

Vincent hanya tersenyum tipis. Setelahnya, Sean keluar dengan masker hitam menutupi wajahnya. Orang-orang berseragam hitam pun terdengar berbisik mengenai siapa dirinya, sementara Sean hanya memutar bola matanya dengan malas.

"Oh, apakah kalian tidak ingin menyambut kedatangan putra saya?" tanya Vincent dengan nada ramah namun menyiratkan ancaman.

Orang-orang berseragam hitam tampak terkejut, lalu menunduk minta maaf sebelum serempak menyambut tuan muda yang identitasnya tak pernah terungkap.

"Welcome to Indonesian, young master!"

Sean hanya mengangguk singkat lalu segera berjalan menuju mobil dan masuk ke dalam, diikuti oleh Vincent. Setelah keduanya masuk, mobil pun melaju menuju mansion Williams. Keheningan melanda keduanya; Sean sibuk menatap pemandangan luar dari kaca jendela, sementara Vincent fokus menatap layar iPad di tangannya.

"Untuk saat ini, beradaptasi saja terlebih dahulu," ujar Vincent memecah keheningan.

Sean hanya mengangguk tanpa terlalu peduli, kemudian ia teringat soal sekolahnya. Ia menatap Vincent dan bertanya, "Lalu untuk sekolahku bagaimana?"

"Ayah sudah meminta pamanmu untuk mendaftarkanmu ke SMA Willowind. Jadi, Senin depan kamu akan bersekolah di sana," jawab Vincent.

Sean mengernyitkan alisnya saat mendengar kata 'paman'. "Paman siapa yang Ayah maksud?"

Tangan Vincent yang memegang stylus pen sempat berhenti, tetapi ia kembali melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan pertanyaan dari Sean. Sean hanya bisa menghela napas kecil, lalu kembali menatap pemandangan kota Jakarta.

"Selalu seperti ini," batin Sean pasrah. Ia sadar bahwa ayahnya selalu menghindari pertanyaan seputar orang-orang yang berhubungan dengan keluarganya.

Keheningan terus menyelimuti mereka hingga akhirnya mobil tiba di mansion Williams. Sean menatap mansion yang akan ia tempati selama tiga tahun di Indonesia. Ukurannya tidak sebesar mansion di Paris, mungkin hanya setengahnya, tetapi cukup nyaman baginya.

"Kamu suka mansion baru kita?" tanya Vincent sambil menatap Sean.

Sean hanya mengangguk dan berkata bahwa ia menyukainya. Vincent yang mendengarnya tersenyum tipis, lalu mengusap rambut Sean dengan lembut.

"Istirahatlah, kamarmu ada di lantai dua, yang pintunya ada tulisan 'Arsean'. Jika ada yang tidak kamu suka di kamar, beri tahu Ayah, oke?" pesan Vincent sambil menjauhkan tangannya dari rambut Sean.

"Siap, Ayah. Kalau begitu, aku pergi istirahat dulu." Sean lalu berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Setelah menemukan pintu dengan papan bertuliskan 'Arsean', ia membuka pintunya dan melihat bagian dalam kamar yang terasa familiar seperti kamarnya di Paris.

Sean melepaskan maskernya dan menaruh tas kecilnya di meja belajar. Setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, ia segera merebahkan tubuhnya di kasur untuk beristirahat.

"Semoga di sini aku bisa merasakan kebahagiaan," lirih Sean dengan senyuman kecil yang terhias di bibirnya. Ia memejamkan matanya, perlahan terlelap setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan.

Sungguh, hari yang melelahkan.

Sungguh, hari yang melelahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

The Memories Reivant

15/10/24

The Memories ArseanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang