02 : Beradaptasi

178 25 3
                                    


Malam telah larut ketika Sean terbangun dari tidurnya. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan gelapnya kamar barunya di Jakarta. Sejenak, ia merasa bingung dan hampir lupa bahwa dirinya sekarang berada di tempat yang jauh berbeda dari Paris.

Sean mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa kantuk yang tersisa, lalu memutuskan untuk membuka jendela kamarnya. Angin malam Jakarta terasa hangat dan sedikit lembap, sangat berbeda dengan udara sejuk Paris. Di kejauhan, lampu-lampu kota masih menyala terang, seolah-olah Jakarta tak pernah tidur.

Saat pikiran Sean melayang jauh, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Dia mengerutkan kening dan menoleh ke arah pintu kamarnya.

"Masuk," katanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

Pintu terbuka pelan, dan seorang pria dengan seragam hitam masuk. Wajahnya serius, tetapi ada rasa hormat yang terpancar dari sikapnya.

"Maaf mengganggu, Tuan Muda. Saya adalah Mahendra, kepala keamanan di mansion ini," ujarnya sambil sedikit menundukkan kepala. "Ada pesan dari Tuan Vincent, beliau ingin bertemu dengan Anda di ruang kerjanya sekarang."

Sean menatap Mahendra sejenak, merasa heran mengapa ayahnya memanggilnya di tengah malam. Namun, tanpa banyak bertanya, dia hanya mengangguk.

"Baik, saya akan ke sana. Tolong antarkan saya ke ruang kerja Ayah," jawab Sean. Mahendra mengangguk mengiyakan permintaan tuan mudanya.

Sean segera mengenakan jaket tipis dan melangkah keluar kamar menuju ruang kerja ayahnya, diikuti oleh Mahendra yang memimpin jalan.

Setibanya di depan pintu ruang kerja Vincent, Sean mengucapkan terima kasih kepada Mahendra yang telah mengantarkannya. Sean menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.

"Masuk," terdengar suara Vincent dari dalam.

Sean membuka pintu dan masuk. Di dalam, Vincent terlihat lebih serius dari biasanya, menatap Sean dengan sorot mata yang sulit dibaca. Sean menarik kursi yang berada di depan meja kerja ayahnya dan duduk di sana.

"Ayah tidak mengganggu waktu istirahatmu, kan?" tanya Vincent.

Sean menggeleng. "Tidak, Ayah. Ada apa Ayah memanggilku kemari?"

"Ayah ingin kamu menggunakan waktu seminggu ini untuk memahami lingkungan sekitar kita. Kenali kota ini, temukan tempat-tempat penting, dan pelajari bagaimana masyarakat di sini berinteraksi," kata Vincent dengan nada penuh keyakinan. "Ini akan memudahkanmu nanti ketika kamu mulai bersekolah."

Sean mengepalkan tangannya, merasa sedikit frustrasi dengan banyaknya hal yang harus ia hadapi. Namun, ia tahu bahwa protesnya tidak akan mengubah apa pun. Satu-satunya pilihan adalah menerima dan berusaha keras.

"Baiklah, Ayah," ujar Sean akhirnya, mencoba menenangkan dirinya. "Saya akan melakukan yang terbaik."

Vincent tersenyum tipis, tampak puas dengan jawaban Sean. "Bagus. Sekarang, pergilah istirahat. Akan ada banyak hal yang harus dilakukan minggu ini sebelum sekolahmu dimulai," katanya, menyiratkan betapa pentingnya persiapan tersebut.

Sean hanya mengangguk, tidak ingin bertanya lebih banyak. Ia berdiri dari kursinya.

"Selamat malam, Ayah," ucap Sean sebelum keluar dari ruang kerja.

"Selamat malam, Sean," jawab Vincent dengan nada yang lembut.

Sean kembali ke kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur. Ia menatap ke luar jendela kamar, melihat gemerlap kota Jakarta yang seakan tak pernah tidur, dan membayangkan seperti apa kehidupan barunya di sini.

"Baiklah. Hanya tiga tahun hingga aku lulus sekolah, bukan? Harusnya itu hal yang mudah. Hanya beradaptasi di negara ini dan mempelajari bagaimana cara menjalankan perusahaan. Oh Tuhan, mengapa Ayah selalu menambah beban di pikiranku?" pikir Sean yang tidak habis pikir dengan rencana ayahnya.

The Memories ArseanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang