Hampir dua minggu menjadi anak desa, ini pertama kalinya lagi Sunghoon ke kota. Dengan ransel yang digendong di pundak sebelah kanannya, Sunghoon keluar dari gerbong kereta. Langkah kakinya tegap berjalan ke arah angkutan umum yang sudah ada di sana.Saat tubuhnya ia dudukkan di pojok angkutan umum, Sunghoon membalik ranselnya dan ia simpan di atas kedua pahanya.
Angkutan umum tersebut maju tak lama setelah isinya penuh. Sunghoon diam memandang jalan yang terlihat dari kaca belakang. Kedatangannya hari ini bukan tanpa alasan, Sunghoon meminta izin pergi pada orang tuanya karena merasa ada hal yang belum ia selesaikan. Sehingga berakhirlah seperti sekarang, duduk di angkutan umum yang akan membawanya ke tempat tujuan.
Merasa tempat tujuannya sudah dekat, Sunghoon berseru 'kiri' pada sopir angkutan. Ia segera turun setelah membayar ongkos. Bersamaan dengan itu ponsel yang sedari tadi digenggamnya menyala, terdapat sebuah panggilan. Sunghoon langsung mengangkat panggilan dari kakaknya seraya membenarkan letak ranselnya di punggung.
"Halo Kak, kenapa?" sapanya.
"Udah di kota?" tanya Heeseung di seberang sana.
Sunghoon menyetop kendaraan yang lewat sebentar, lalu dirinya menyebrang. "Udah, ini mau pergi ke sana," jawabnya.
"Bilang aja ngegantiin Kakak ya."
"Iya, Kak."
Selain karena urusannya, Sunghoon juga datang ke sini untuk mewakili keperluan Heeseung. Kebetulan kakaknya itu tidak bisa pergi ke kota karena tengah membantu bisnis milik ayahnya.
"Iya, aku tutup ya. Sebentar lagi mau sampai," ucap Sunghoon kemudian menutup panggilannya.
Sunghoon memandang bangunan di hadapannya, sempat terdiam sebentar karena merasa sudah lama tidak menginjakan kakinya di halaman ini.
"Atas nama Lee Heeseung," gumamnya. "Semangat."
---
Berbanding terbalik dengan Sunghoon yang hidup di pedesaan. Kali ini, Jungwon diberkati hidup yang penuh kemewahan. Berkali-kali Jungwon menampar pipinya untuk memastikan bahwa semua ini bukan mimpi. Berkali-kali juga ada keluarganya yang meyakinkan bahwa ini memang nyata.
Jungwon sempat tidak bisa beradaptasi. Kebiasaan hidup sederhananya di panti masih terbawa meski sudah tidak di sana. Tapi, Jungwon bahagia karena ia mempunyai keluarga.
Keluarga. Bagian inti yang membuat Jungwon bahagia. Bukan sekadar harta yang melimpah atau hidup yang mewah, Jungwon teramat sangat bersyukur bisa hidup bersama keluarganya.
Akhirnya Jungwon mulai bisa menerima, ia mulai menikmati hidupnya saat ini. Rasanya seperti sebuah penantian lama yang akhirnya terbayar juga. Semua penderitaan yang ia terima dulu diberi obat dengan hidupnya yang sekarang dan Jungwon bersyukur tentang itu. Kehidupannya menjadi berubah dalam sekejap mata.
Saat ini Jungwon tengah bersiap diri, lebih tepatnya ia tengah bercermin. Tubuhnya digerakkan ke kanan ke kiri untuk memastikan bahwa pakaian yang ia gunakan hari ini rapih dan cocok di tubuhnya.
"Udah selesai, Dek?" tanya Jungkook.
Jungwon menoleh dan menemukan kakaknya di dekat pintu kamar. Ah, saking seriusnya Jungwon tidak mendengar suara pintu dibuka.
"Udah Abang, berangkat sekarang?"
"Iya ayo sini, aduh kamu lucu banget sih," ucap Jungkook saat melihat pakaian yang digunakan adiknya itu kebesaran.
"Ih ini itu udah rapih ya Abang," protes Jungwon karena tahu maksud dari kakaknya.
"Hahahaha iya udah yuk, Mama sama Papa udah di mobil."
KAMU SEDANG MEMBACA
180° • Sungwon [End]
Fiksi Penggemarft Jeon Jungkook (Family) "Abang, kata dokternya kita lahir dari rahim yang sama dan seratus persen kita cocok sebagai saudara. Tapi, kenapa kehidupan aku sama Abang jauh beda banget, ya?" warn; angst, brothership, family, kesenjangan sosial Start...