DUA - EKOR?!

28 2 0
                                    

Aku segera berlari, perlahan tubuh ku membesar, lalu berubah seperti bang Garuda. Baju ku sobek karena hal itu, tapi aku tak ingin memusingkannya terlebih dahulu. Bang Garuda harus bisa ku selamatkan sekarang, sebelum nelayan itu menjadi sasaran cakar bang Garuda.

Aku menggerung, mencakar vampir itu dan berhasil kulakukan. Tubuhnya yang tak bernyawa itu mulai tenggelam ke dasar laut, tapi sebagai hasilnya ombak tinggi itu datang dari arah lain, aku tak sempat memikirkan apapun selain membawa nelayan itu juga bang Garuda pergi dari lokasi. Aku bisa melihat raut harimau bang Garuda yang mulai tenang, tapi seperti menahan rasa penasarannya akan sesuatu, apa dia barusan melihat sesuatu?

——&——

Aku tak salah melihatnya kan? Aku melihat ekor, dan ukuran nya lebih dari ikan pada umumnya. Ekor itu bergerak ke depan, tepat sebelum ombak itu datang hampir menyerbu kami, untung Galang tepat waktu.

Aku tak bercanda, ukuran ekor itu lebih besar dari ekor ikan pada umumnya. Benarkah itu ikan? Atau sebenarnya itu sosok lain yang tak kuketahui? Hanya ayah yang tahu jawaban ini, aku harus menanyakannya.

Nelayan yang dibawa oleh Galang terkulai lemas, pasti karena kejutan vampir itu. Beruntung darahnya belum sempat diambil jadi aku berhasil menyelamatkan satu nyawa lagi malam ini, meski berakhir dengan aku yang tak bisa mengendalikan insting.

"Pantesan lo ngamuk lagi, bulan nya sekarang lagi sempurna bang."

Aku melihat keatas, benar kata Galang. Sekarang sudah masuk siklus bulan sempurna, itu siklus yang paling kubenci dalam seumur hidupku. Dimana aku harus bisa menjadi manusia seutuhnya, jika aku berubah insting harimau akan mengambil alih akal sehatku. Dan itu terkadang sangat sulit ketika sedang dalam misi, terlebih ketika target yang hendak kita tangkap melawan, tentu berubah adalah pilihan satu-satu nya.

"Untung gue bulan merah, siklus gue paling lama." Aku bersungut kesal dengan kesombongan Galang.

Ekor itu, masih menjadi pusat perhatianku. Terlalu besar untuk dikatakan sebagai ikan, bahkan tadi aku sempat melihat setengah badannya yang seperti manusia, perutnya menyerupai manusia persis. Ini benar-benar aneh, kejadian itu tak pernah kualami sebelumnya ketika berburu target.

Ayah, hanya dia yang mampu menjawab pertanyaan ku. Aku harus menemuinya.

———&———

"Ei..."

Aku menengok, tersenyum menatap wanita kesayanganku. Aku tak menyangka Rena akan mendatangiku, biasanya dia tidak mau dan memilih untuk menunggu ku selesai, tapi kali ini dia mendatangi ku. "Ada apa?"

"Anak-anak tadi buru-buru banget, emang mereka habis nanya apa sama kamu?"

Ah tentang tadi, Rena selalu tahu hal itu pastinya. "Kamu sudah melihat berita, Rena?"

Kulihat kepalanya mengangguk, kalau begitu aku tak perlu menjelaskan apapun lagi. "Aku menyuruh mereka untuk mencari tahu sendiri, semoga saja dugaanku salah."

Dahi Rena mengerut, dia pasti bingung dengan apa yang kukatakan barusan. Wajar saja, Makoto saat itu tak mengatakan apapun ketika tahu Rena mengetahui dunia aslinya, bahkan saat Rena hampir menyadarinya justru Makoto pergi meninggalkan dunia. Itu sudah menjadi kejadian lama, 17 tahun lamanya.

"Siren.... Kau pernah mendengar kata ini, Rena?" Tepat setelah Rena hendak berkata, aku segera memotong kalimatnya. Raut wajahnya kembali serius, ekspresinya yang terlihat berpikir keras ini membuatku gemas dengannya disaat bersamaan.

Lalu beberapa menit kemudian, kepala mungil itu mengangguk. "Itu sebuah legenda dunia yang sampe sekarang masih menjadi misteri, orang juga mengenalnya sebagai penguasa laut." Jelasku.

"Bukankah itu sama saja dengan mermaid?"

Aku sudah duga Rena akan menanyakan demikian, mermaid dan siren itu memang sulit untuk dibedakan, kecuali untuk orang tertentu yang memang sudah hapal bagaimana bentuk nya. Apalagi aku yang pernah sekali melihat siren, tentu bentuknya begitu berbeda dengan mermaid. Tapi mermaid hanyalah hewan mitos yang belum pernah menunjukkan wujudnya pada siapapun, termasuk klan siluman.

"Semua orang juga akan beranggapan demikian, Rena. Tapi mermaid itu sesungguhnya tak ada, siren lah yang keberadaan nya masih ada sampai sekarang, aku pernah melihat mereka dulu."

Tatapan Rena kini terkejut, memandangku tak percaya dengan semua hal yang kukatakan barusan.

"Aku tak bercanda."

Aku bisa mendengar langkah kaki Rena yang kian melebar dan menghentak, mendekatiku. "Lalu siren ini ada di posisi apa? Kawan atau musuh?"

Inilah yang sebenarnya sulit kukatakan, poin penting dalam hal yang sedari tadi kami bicarakan. Aku menghela nafas perlahan, lantas kembali menatap Rena. "Musuh."

Kata pendek itu saja berhasil membuat Rena lemas sepertinya, tak ada yang namanya rekan bagi siren maupun klan darat. Dua-dua nya saling bermusuhan satu sama lain, entah darimana akarnya aku juga ingin tahu.

Ah aku ingat satu hal, "Siren memiliki kutukan."

Rena kembali menyimak ku, sepertinya tenaga wanitaku sudah kembali. "Kutukan itu bisa berakibat fatal pada kedua belah pihak." Aku sengaja menjeda kalimatku.

"Apa... Itu?" Suara Rena bergetar, dia ragu untuk mendengarku tapi rasa penasaran lebih mendobrak dia. Aku sangat tahu Rena lebih dari siapapun.

"Kematian, jika salah satu siren mencintai siluman klan darat... Maka salah satu dari mereka akan tiada, entah itu dari pihak klan darat atau dari klan siren sendiri." Ini adalah hal yang paling kutakutkan yang pernah ada, dan bukan tanpa alasan.

Saat aku mampir kerumah Ryusuke di Jepang, aku melihat kakak ipar ku yang berhenti gerak dengan mata harimau berwarna pelangi. Aku masih ingat betul bagaimana Rena mengalaminya ketika masih memiliki kemampuan itu, dan berakhir ketakutan. Tapi ini Ryusuke, dia pria dan tentu saja hal seperti itu tak akan membuatnya takut.

"Sesuatu akan terjadi pada salah satu anak mu, Eiji... Ada salah satu siren yang akan mencintai anakmu."

Kalimat Ryusuke setelah mendapatkan penglihatan nya membuatku terkejut bukan main, rasa panik mulai mendatangiku. Takut, aku takut jika salah satu anak ku akan pergi, aku tak siap. Sama sekali tak siap.

"Jangan becanda nii-chan." Aku masih berharap kalau itu hanya candaan belaka, nyatanya gelengan Ryusuke berhasil menghantam ku dengan keras. Aku sebagai ayah tak bisa apa-apa, melainkan takut melihat anaknya akan tiada jika sampai itu terjadi. Aku tak tahu siapa yang sedang dimaksud oleh Ryusuke.

Aku benar-benar takut, dan karena ketakutan ini lah aku melampiaskannya pada sandera dan buronan yang sedang berkeliaran diluar sana. Tanpa ampun aku memukuli, mencambuk, bahkan memperkosa mereka didepanku persis, teriakan mereka bagaikan ketenangan akan ketakutan yang tengah melandaku. Tapi itu tidak cukup meredakannya, hanya bersifat sementara, dan satu-satunya cara adalah dengan mengungkapkannya pada Rena.

"Ya Tuhan.... Bukankah kutukan itu sangat menyiksa keduanya? Bagaimana jika sebenarnya mereka ditakdirkan oleh Tuhan? Dan mereka terhalang kutukan itu." Rena menggeleng tak percaya.

Aku bahkan sudah memikirkan hal itu, apalagi jika sampai yang terkena adalah anak-anak. Apa yang akan terjadi pada Rena? Aku sudah berjanji didepan Tuhan untuk tak membuatnya menangis, tapi bagaimana jika takdir dari-Nya lah yang membuatnya menangis? Aku harus apa...?

Bahkan untuk mengatakan kalimat Ryusuke kemarin saja, lidahku masih sangat kelu. Melihat reaksi Rena barusan yang terduduk lemas mendengar kalimatku tentang kutukan itu saja, membuatku bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku mengatakannya langsung. Jelas sekali Rena akan menangis tak percaya, aku saja langsung kehilangan semangat bekerja.

Lebih baik tak ku ceritakan untuk sekarang, ini akan menyakitinya.

DUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang