Aku masih berjongkok meskipun suara gemuruh hujan mulai terdengar kejar-kejaran di belakang punggungku. Sesaat setelah basahnya sampai tepat di atas kepalaku, aku mulai menangis.
Kap lampu-lampu SON-T di sekitarku mulai menyala satu persatu. Tapi, alangkah baiknya jika semua itu digantikan kunang-kunang saja. Aku hanya ingin melihat cahaya yang menari, terbang kesana dan kemari, lalu memutari tubuhku sehingga aku bisa merasakan dipeluk lain hal, selain kegelapan.
Aku tidak butuh cahaya pasif yang gagal menembus ruang gelap di balik dadaku. Semua ini karena Kalil bersembunyi di balik tanah, dan tanah bersembunyi di balik rerumputan jarum.
Harusnya aku menemukan Kalil di balik pintu kulkas, di balik selimut, atau di dalam toilet. Kalau ia benar-benar berniat menghindariku, dia punya pilihan yang cukup brilian dengan bersembunyi di balik replika SLS block 1, patung roket heroiknya yang cukup besar. Mengapa harus bersembunyi di balik tanah berlapis dengan kedalaman ± 200 meter? Itu menyinggungku. Itu artinya dia menghindariku dalam waktu yang lebih dari selamanya.
Aku masih menangis sampai mendengar suara Damian yang berteriak memanggilku.
"Akas!" Sekitarku minim pencahayaan dan hal itu membuatku yakin bahwa tidak akan ada yang menyadari keberadaanku jika aku memasang sikap tubuh mendekap tanah : tiarap.
"Ibu bilang, kamu ke tempat Kalil, bener di sini?"
Damian mungkin kecewa karena yang sudi menyahutinya hanya kicauan burung kedasih dan desiran angin yang membuat dedaunan pohon semboja berdesik. Sedangkan aku hanya diam dan berusaha membertebal silia agar tanah kuburan yang masih beraroma petrikor ini tidak sembarang masuk ke dalam jalur pernafasanku dan mempesulit proses respirasi.
"Ayolah Kas, aku udah nyari ke rumah Bang Kalil, gak ada siapa-siapa cuman ada Ibunya." Ia menjeda kalimatnya sejenak sebelum berteriak, "Ya sudah! Awas ada pocong!"
Jantungku mencelos.
Setelah beberapa menit, suara adikku hilang. Maka aku beranjak, menepuk pantat dan dadaku meskipun itu bukan usaha yang cukup untuk membuat tampilanku kembali bersih.
Aku tidak ingin pulang. Aku ingin di sini saja dengan Kalil, di atas Kalil, karena tanah yang menumpuk rasanya lebih empuk.
Kami menatap langit tanpa bintang. Biasanya, dia akan berceloteh tentang konstelasi yang mampu dia tangkap dengan mata telanjang, mengatakan kalimat-kalimat yang bisa aku ucap ulang tanpa perlu catatan. "Nih, kalau kita tersesat di pegunungan Alpen tanpa almenak, aku bisa tahu bahwa ini sudah masuk, mendekati, atau bahkan masih jauh dari bulan Oktober." yang kadang-kadang hanya akan aku tanggapi dengan anggukan kepala, atau gelengan kecil dengan sanggahan, "Belum tentu, bisa jadi mata kamu disembur bisa cobra, bisa jadi disengat tawon, atau banyak kemungkinan lain yang bikin kamu gak bisa liat langit. Aku tetap harus bawa almenak cadangan."
Barangkali itu yang membuat Kalil agak sedikit membenciku. Sedikit saja, selebihnya dia pasti menyukaiku karena hanya akulah satu-satunya teman yang bisa dia andalkan.
Tapi aku benar, kita tetap harus bersiap-siap dengan segala cadangan meskipun kita punya banyak persiapan. Lihat saja Kalil, sekarang langit yang bisa kita lihat hanya sehamparan gelap yang tidak berujung. Kalau saja bukan karena bantuan lampu jalan, aku pun tidak akan bisa melihat beberapa anai-anai, walet, dan ngengat arctia caja yang kini berkeliaran di atas kepalaku.
Aku juga ingat bahwa pada suatu hari, Kalil pernah menyerukan sesuatu yang konyol. "Aku lebih percaya kehidupan di dalam planet kerdil atau lebih kerdil dari planet kerdil : asteroid, mereka tidak mencolok dan tidak dipedulikan. Menurutku, ada rapat alam yang berhasil menyembunyikan mereka, membuatnya menjadi tidak menarik!"
"Rapat alam? Siapa yang mengkoordinasikan mereka? Apakah blackhole, Kal? Karena mereka akan memberi peringatan 'SIAPAPUN YANG BOLOS RAPAT AKAN KUSEDOT!" Aku tertawa. Ucapan Kalil selalu terdengar seperti lelucon bagiku.
Sekali lagi, barangkali itu yang membuat Kalil agak membenciku.
Kalil tidak menyukai apapun selain ruang angkasa. Kadang-kadang, leherku terasa pegal ketika memperhatikan Kalil yang selalu menengadah ke arah langit, dan hal itu membuatku lebih suka menunduk. Sejak saat itu aku berpikir, apa yang bisa aku temukan dengan menunduk? apakah aku bisa melihat dan mencintai sesuatu seperti yang Kalil dapatkan? Bukankah menunduk menghasilkan ke-pegalan yang sama seperti menengadah? Apakah ada sesuatu yang cantik di hamparan tanah, yang setara dengan keindahan bintang-bintang di atas langit?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab beberapa tahun yang lalu ketika aku mengajak Kalil pergi ke Pasar Malam. Kami bertemu dengan penjual batu akik yang menawarkan banyak sekali batu-batu yang bagus, jauh lebih bagus daripada kerikil yang sama sekali tidak cocok sebagai bahan perbandingan.
Aku menyukai batu-batu yang berada jauh di bawah tanah. Kalau kalian tahu, contohnya adalah berlian. Tidak kalah cantik dari obsesi Kalil 'kan? Maka aku tidak perlu merasa kalah lagi.
Malam itu kuhabiskan dengan terus bercerita tentang banyak hal. Tentang apa saja memori yang kuingat setelah kami berhenti bermain dan berteman. Kadang-kadang aku mencela dan berteriak seberapa tololnya Kalil ketika kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Kategori umpatan terbanyak yang berhasil aku lontarkan antara lain : "Dasar Babi!" atau "Manusia lemah yang tidak dinamis!" atau "Anak Mami!"
Menyenangkan juga bisa mengolok-olok orang itu tanpa harus meringis dilempari komik atau action figure, atau apapun yang bisa ia gunakan untuk menyerang wajahku. Aku tertawa setelah merasa lega dengan mengeluarkan seluruh makian dan kata-kata kotor. Sebagian untuk mencemooh Kalil, dan sebagian lagi untuk memaki kehidupan.
Tapi, Kalil tetap saja sudah mati dan tidak bisa bangun lagi. Semua hal yang awalnya menghiburku kini seolah padam dan kehabisan batre. Aku kembali pada kenyataan bahwa aku sendirian di pemakaman, berbantal nisan Kalil dan baju yang kumuh berlumpur.
Aku tidak bisa membantah kalaupun penjaga yang sedang berpatroli menemukanku dan berteriak : kuntilanak! atau kuntilanak cantik! atau juga kuntilanak cantik dan tidak menyeramkan sama sekali!
Aku bergidik, sepertinya kekonyolan Kalil mulai menular kepadaku.
Huh, sisa setengah malam lagi sebelum matahari terbit. Aku memilih untuk menikmatinya dengan berbaring dan memejam, menyadari bahwa sekarang Kalil sudah menjadi sesuatu yang kami cintai bersamaan. Kalaupun aku mengatakan Kalil sudah jadi batu, aku benar, dia ditimbun tanah. Kalaupun aku mengelak dan berkata tidak! Kalil sudah jadi bintang.
... aku pun benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN DI LANGIT SWITZERLAND
General FictionAku tidak yakin jika alam semesta ini merupakan antroposentris. Pada usiaku yang ke-17, aku berdo'a agar diberikan banyak sekali keajaiban di tahun tersebut. Namun, aku tidak berdo'a secara spesifik seperti yang Tuhan harapkan. Kejadian-kejadian ti...