Budak baruku yang satu itu benar-benar membawa banyak komik dan ensiklopedia!
"Kamu suka baca buku?"
Dia menyunggingkan senyuman selebar daun beluntas dan tampak sangat bahagia seraya menyodorkan buku berukuran besar dengan hardcover putih berjudul : Encyclopedia of Plants and Flowers.
"Di sana ada pohon Akasia juga," terangnya ketika aku baru membuka lembar pertama. Kemudian dia menambahkan, "Ada 1300 spesies Akasia yang tersebar di seluruh dunia dan salah satunya berada di Be Internasional School, di Kedai yang didominasi menu makanan pedas, dan untuk lebih spesifikasinya lagi yaitu tepat di hadapanku."
Jenis yang dia sebut adalah aku.
Aku mendengus sebal. "Bahkan aku baru tau bahwa sekolah ini benar-benar menerima ABK."
Abinawa menanggapinya dengan tawa yang sangat renyah alih-alih merasa tersinggung dengan sindiranku.
"Aku normal," ucap Abinawa. "Hanya saja, menjustifikasi diri kepada orang lain rasanya tidak terlalu penting."
Aku mematung sejenak dan mencermati ucapannya yang terdengar sangat familiar di telingaku. "Tunggu, bukannya itu kalimatku? Sejak kapan dan darimana kamu mencurinya?"
"Akas," panggilnya dengan tatapan serius. "Kalimat itu sudah ratusan kali keluar dari mulutmu ketika orang-orang tidak bisa berhenti membicarakan sesuatu yang salah seperti tentang Akasia si yatim piatu, padahal orang tuamu masih hidup. Kamu benar-benar hanya fokus terhadap isi pikiranmu sendiri dan makanan, dan film-film, dan aku tidak tahu sisanya. Yang pasti, kamu benar-benar tidak pernah peduli dan memperhatikan sekitarmu."
"Maksudmu ad--, "
"Maksudku adalah, kamu bahkan tidak sadar bahwa kita adalah teman sekelas, Tressa Akasia, kamu benar-benar tikus tanah berhidung bintang."
Oke, itu benar. Lalu, apakah yang dia maksud dengan tikus tanah berhidung bintang itu?
Mengapa detik ini Abi terlihat begitu banyak omong dan sok tahu? Bukannya beberapa jam lalu dia adalah seseorang yang gemar menunduk bungkuk, dan suaranya bergetar ketika berhadapan denganku? Ayolah, sejak kapan budak lebih bawel dari Bos?
Aku yakin tidak salah melihat Abi yang sering menjadi pelayan geng Robin. Dengan tatapan yang takut dan terjajah, dengan tangan yang penuh oleh teng-tengan kopi, teh dan minuman bersoda. Aku yakin Abinawa adalah makhluk pendiam yang selalu bisa memendam segala bentuk macam pemikirannya. Jadi, siapa sebenernya orang yang kini duduk di hadapanku?
"Aku rasa kamu bukan orang yang mudah ditindas." Akhirnya aku menyuarakan opiniku.
Abinawa menaikkan salah satu alisnya, dan menjawab tenang. "Aku malas melawan."
"Tapi tidak malas disuruh-suruh?"
Nafasnya kini terdengar berat. Aku bisa melihat ekspresi yang gusar, penuh tekanan dan nyaris putus asa. "Aku berada di bawah ancaman Robin." Kini tatapannya beralih kepadaku. Kami berhasil bertukar pandang dalam waktu lebih dari semenit. Aku mencoba menelusuri makna dibalik tatapan mata harimau itu, tapi aku gagal menemukan apapun selain rasa takut. "Dan ancaman itu berhasil membuatku tidak bisa berkutik."
"Aku bisa membuat keadaan berbalik. Aku yakin Robin juga tidak bisa berkutik setelah itu, dan itu artinya dia tidak punya alasan untuk menggertak lagi." Aku berusaha terlihat membantu, meskipun tanpa empati yang muncul sedikitpun. "Aku juga punya ancaman yang menarik untuk si Robin itu."
Abinawa nampak tidak tertarik dan beralih membuka salah satu halaman di buku yang tengah aku baca. "Menurutku, jenis pohon Akasia yang cocok denganmu adalah Akasia Crassicarpa. Ia merupakan jenis pohon yang cepat tumbuh---"
"Tentu, aku memiliki kecerdasan superior," potongku bangga.
"---Jenis pohon yang cepat tumbuh dan berukuran kecil-sedang."
Sialan, ternyata aku diejek. Sedangkan Abinawa tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya dengan kedua tangan.
"Ayo berteman," ajaknya tiba-tiba setelah berhenti tertawa. Berani sekali anak ini mengajakku berteman?
"Untuk?"
"Aku tau kamu tidak suka mengobrol."
"Yap."
"Aku juga tidak pernah melihat kamu berteman dengan siapapun."
"Yep."
"Jadi, ajakanku barusan tentu tidak menarik dan pastinya akan kamu tolak tanpa pikir panjang."
"Yup!"
Abinawa mendengus. "Tapi, aku benar-benar tertarik padamu, Akasia, kita bisa menjadi teman diskusi mengenai banyak hal."
"Yakin?" Diskusi mengenai banyak hal adalah ide yang bagus. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik dengan pertemanan. Berteman artinya, kita akan saling berbagi emosi dan memiliki keterikatan batin secara alami. Dan tentu saja, aku tidak pernah ingin berkaitan dengan siapapun.
"Tanpa keraguan sedikitpun. Apa kamu tau? Sejak semester pertama, kamu hanya masuk kelas sebanyak 23 kali, padahal total kelas yang seharusnya kamu ikuti adalah sebanyak 130. Dan anehnya, aku selalu penasaran, kemana kamu pergi?"
"Bioskop."
"Bioskop tidak punya ratusan film."
"Tapi punya film bagus yang bisa aku tonton ratusan kali."
"O-oke, kurasa yang sebenarnya autis di sini adalah dirimu," jawab Abinawa skeptis.
Ia perlahan memasukan buku-bukunya kembali ke dalam tas ketika melihat sebuah mobil hitam berhenti di seberang sana. "Kurasa aku harus pulang. Kamu mau pinjam buku itu?"
Aku mengangguk. "Mau. Siapa?" tanyaku sambil melirik seseorang yang melambaikan tangannya ke arah kami.
"Papa. Oh ya, tolong pikir-pikir lagi ajakanku tadi. Jika yang kamu pertimbangkan adalah benefit, tentu aku memiliki banyak sekali tawaran yang menarik. Salah satunya, rumahku punya perpustakaan pribadi dengan koleksi buku-buku ensiklopedia yang sangat banyak. Dan kalau kamu setuju, aku akan sangat senang sekali, kamu akan menjadi teman pertamaku." Abinawa tersenyum penuh harap.
"Apakah aku masih bisa merampas temanku sendiri?" Sejujurnya hanya itu yang sedari tadi aku pikirkan.
Abinawa tersenyum lebar dan mengangguk. "Tentu! Pikirkan baik-baik ya!" Serunya dengan semangat sebelum pamit meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN DI LANGIT SWITZERLAND
Ficção GeralAku tidak yakin jika alam semesta ini merupakan antroposentris. Pada usiaku yang ke-17, aku berdo'a agar diberikan banyak sekali keajaiban di tahun tersebut. Namun, aku tidak berdo'a secara spesifik seperti yang Tuhan harapkan. Kejadian-kejadian ti...