4. Bunker

119 19 16
                                    

Oke, jika kalian menebak bahwa dari sanalah aku dan Abinawa akhirnya berteman, maka kalian harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa tebakan itu sungguh telah keliru.

26 hari setelah hari dimana dia mengajakku berteman, sejak itulah dia berubah menjadi anak bebek yang selalu mengekori induknya. Laki-laki bodoh itu selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Dengan wajahnya yang polos dan menyebalkan, dia hanya akan menjawab : "Barangkali aku dibutuhkan." Setiap kali aku bertanya, kenapa kamu tidak pergi saja ke Perpustakaan berdebu itu? Atau untuk apa terus-menerus berjalan di belakangku seperti anak bebek?

Seperti saat ini. Abinawa membawa dua paperbag berisi roti lapis dan mengalungi sebuah kamera mahal. Kemarin, aku mengizinkannya untuk ikut bolos bersamaku di stasiun Tanjung Priok hari ini. Stasiun adalah tempat keduaku setelah bioskop. Disini, aku mendokumentasikan kereta-kereta yang merupakan kegiatan konsisten yang telah aku jalani selama 1 tahun terakhir. Biasanya, selain untuk bolos dan memotret, aku akan menghabiskan waktu sore hari dengan mengedit hasil jepretanku sambil memakan nasi kucing yang dihangatkan oleh bebatuan rel yang agak panas.

"Akas," panggil Abinawa setelah hampir terjatuh. "Huh, hampir. Kalau aku jatuh barusan, kameranya pasti rusak."

"Apa?"

"Omong-omong, kamu railfans?"

"Bukan."

"Tapi isinya kereta semua." Abinawa mengotak atik kameraku. "Ya... meskipun ada beberapa foto lain, tapi itu tidak lebih dari 20 foto. Hanya ada beberapa foto ngengat, cangkir-cangkir teh dan jemuran yang blur."

"Mungkin sepuluh persen." Aku menimbang karena tidak mau mendikte diri sebagai pecinta kereta. Tetapi, akan aku masukan perkerataan sebagai peringkat sepuluh besar dari sekian banyak hobiku.

"Sembilan puluhnya pasti menonton film yang sudah beberapa kali ditonton di Bioskop itu," tebak Abinawa percaya diri sehingga aku merasa bahwa semua orang wajib mengurangi setengah dari kepercayaan diri mereka untuk bisa bermain tebak-tebakan dengan benar mengenaiku.

"Itu juga sepuluh persen." Adalah jawaban yang sebenarnya.

"Oke, meleset dari praduga. Biar kutebak lagi, fotografi juga salah satu 'sepuluh persen' dari hobimu."

Aku mengangguk.

"Setelah itu bermain catur sepuluh persen. Karena di kelas, hanya catur dan pelajaran bahasa yang bisa membuatmu duduk lebih dari satu jam."

Aku mengangguk lagi. Izin meralat, mungkin Abinawa cocok-cocok saja memakai kepercayaan diri penuh saat bermain tebak-tebakan dengan benar mengenaiku.

"Apakah diam dan mengabaikan orang yang sedang mengajakmu berbicara juga termasuk ke dalam sepuluh besar hobi-hobimu, Akasia?" Sindir Abinawa tajam.

Maka, responku adalah mendelik dengan lebih tajam lagi. "Kamu yang terlalu berisik."

Ia sedikit tersentak. "Oke-oke, maaf. Jadi, apa hobimu yang ke-lima?"

Aku memilih diam, membiarkan pertanyaannya menyumblim dan berbaur bersama polusi yang mengepul di udara. Hobiku yang ke-lima itu biarlah ia tebak lain kali. Dengan kesehariannya yang selalu membuntuti kemanapun aku pergi, kurasa ia akan sangat-sangat cermat dalam menyimpulkan apapun, termasuk menyimpulkan sisa hobi utamaku dengan benar.

Abinawa tidak perlu tahu alasan aku memilih stasiun sebagai tujuanku bolos kali ini. Dia tidak perlu tahu apapun mengenai Ayah Robin. Saat tidak sengaja menguping dua kepala plontos kecoklatan itu membicarakan soal bunker Tanjung Priok, aku hanya terlalu penasaran meskipun seharusnya itu semua bukanlah urusanku.

Aku menempatkan Abinawa di Aula terdekat dan menyuruhnya untuk duduk saja menungguku di sana. Selain menyortir foto-foto yang bagus, aku menugaskannya dengan berpesan harus sudah ada sate padang dan ketoprak setelah aku selesai nanti. Ia menganggupinya dan menyerahkan sebuah kamera kecil yang sedari tadi bertengger di leher jenjangnya. "Pakai punyaku saja."

Yang tentu saja langsung aku tolak. "Aku tidak akan foto-foto, hanya sebentar."

"Bawa saja, tidak foto-foto ya sudah. Tapi kalau tiba-tiba ingin foto tapi tidak ada kamera, gimana?"

"Tidak usah."

Abinawa berdecak dan mengalungkan kameranya padaku.

"Berapa harga kamera ini?" tanyaku.

"Tidak penting."

"Berapa harganya?"

"Tidak tahu, Papaku yang membelinya."

"Berapa?"

"Untuk apa, sih, Kas?"

"Berapa?"

"..."

"Berapa?"

"Baiklah, sekitar 50 juta."

Sekarang aku menyesal telah bertanya penuh penekanan. Tanganku yang sial ini memang sangat mudah merusak barang-barang. Kalau sekarang kameranya benar-benar lecet ditanganku, aku harus membayarnya dengan nominal yang lumayan.

Tapi, apakah benar harus? Bukannya boleh-boleh saja sekalian kameranya aku rampas? Kalau manusia berisik itu protes, aku tinggal menyetrumnya sampai pingsan, kemudian menghanyutkan tubuhnya di Kali Grogol.

Oke, problem solved. Toh aku selalu membawa stun gun di dalam tas sekolahku.

Aku meninggalkan Abinawa dan mulai menyusuri stasiun. Tempatnya berada di sebelah utara koridor, tepat di samping ruang istirahat petugas keamanan. Keadaan stasiun yang kebetulan sangat sepi memudahkanku untuk masuk begitu saja. Terdapat tangga berlumut yang sangat licin untuk turun ke dalam Bunker ini. Untungnya, aku sudah bersiap dengan sepatu bot kuning yang kupinjam---tanpa izin--- dari satpam sekolah.

Kelembapan ruangan gelap dan kecil ini membuat kepalaku sedikit pusing, juga atmosfer panas yang sangat kuat sehingga memaksa kulitku menjalankan fungsi detoksifikasinya melalui kelenjar keringat. Sebetulnya darimana suhu panas ini berasal? Apakah dari energi hantu penghuni bunker, atau dari jamur?

Aku menyoroti inci demi inci bunker ini menggunakan senter kecil. Tidak ada hal penting yang dapat kutemukan di sana. Hanya ada lorong-lorong tua yang disesaki air dengan kedalaman yang tidak bisa kukira, sepertinya cukup dalam karena aku tidak bisa menembus dasarnya menggunakan senter. Tapi, aku benar-benar penasaran dengan apa yang dimaksud oleh Ayah Robin kepada rekannya. Ia mengatakan : "Saya akan menyimpannya di Bunker priok Rabu pagi."

Tapi nihil, tidak ada apapun. Sebenarnya sesuatu apa yang mereka sembunyikan?

Aku memutuskan untuk masuk lebih dalam. Mengangkat rok sekolahku dan hanya menyisakan celana pendek abu-abu. Belum sempat kakiku mulai menapaki air, rambutku menyenggol sesuatu dan menghasilkan sedikit suara gesekan yang agak berisik. Sebuah kantung plastik hitam tergantung di tembok sebelah kananku, yang setelah aku buka berisi kurang lebih segenggam serbuk putih yang dibungkus asal-asalan.

Tidak mungkin garam mandi.

Tidak mungkin gula pasir.

Tidak mungkin micin.

Otakku berusaha berpikir cepat.

Sial, mungkin saja ini sabu.

*****

Hi, mungkin Bab 4 ini agak kepanjangan menurutku. Jadi, nanti sore aku update Bab 4 part 2-nya. Tengkies, all.

Salam hangat Cleverhydra

AWAN DI LANGIT SWITZERLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang