Buru-buru aku masukan barang ilegal tersebut ke dalam ransel dan beranjak keluar dari Bunker. Menghampiri Abinawa dan menariknya untuk cepat-cepat pergi dari tempat ini. Sepanjang jalan Abinawa bertanya-tanya tentang apa yang membuatku terburu-buru. Aku hanya diam dan memakan roti lapisku karena aku lapar.
"Sate dan ketopraknya ma--"
"Nanti saja," potongku. "Sekarang kita akan pergi ke Pasar Baru. Kita harus ganti kostum."
Aku menghentikan sebuah angkutan umum dan mengisyaratkan Abinawa untuk segera masuk.
"Ah, ya, kita berkeliaran dengan seragam lengkap. Kalau begitu, kita berhenti di Toko depan saja."
"Tidak untuk baju baru, Abi, uangku tidak akan cukup."
Manusia berisik itu---dengan tidak sopan---menepuk bahuku pelan. "Apa yang kamu khawatirkan, teman? Anggap saja aku ini bank berjalan dan kamu tidak usah repot-repot untuk menghitung lagi. Pak, kiri," ucap Abinawa.
"Kita bukan teman," tegasku keberatan.
Abinawa mengedikkan bahunya tak peduli. Ia mengambil peran dan berjalan mendahuluiku. Dengan langkah santainya ia berbelok ke dalam sebuah toko pakaian bermerek. Memilih satu set pakaian yang dipasang di display, lalu menyimpannya di kasir begitu saja.
Ia melirikku heran. "Tadi buru-buru?"
Aku tersadar dan ikut mengambil acak pakaian apa saja yang pertama kulihat. Satu sweater hitam, celana cargo putih, topi berbahan korduroi yang juga berwarna putih dan sebuah card holder yang bahkan aku tidak punya satu kartu pun untuk disimpan di sana. Abinawa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Benar-benar tidak tahu diri," celetuknya.
"Memang," jawabku santai. "Mungkin aku juga butuh sepatu."
Ia mengangguk cepat.
"Setuju, lihatlah ...." Ia melirik sepatu bot kuning yang basah, kotor dan bau itu masih aku gunakan sehingga meninggalkan banyak jejak yang jelek di lantai Toko. "Kamu hampir mengotori nol koma delapan ratus enam puluh tiga ribu persen dari jalanan Ibukota," sindir Abinawa asal.
"Sepertinya aku telah melahirkan seni," jawabku bangga yang dibalas dengan sebuah dengusan tipis.
Akhirnya aku mengambil sepasang sepatu oxford berwarna coklat tua dan menyerahkan semua barang-barang yang telah aku pilih. Setelah Abinawa membayar semuanya, kami pergi ke sebuah tempat yang cukup sepi dan tenang. Sebuah bangunan kecil yang memiliki pelataran menghadap ke sebuah kolam ikan yang mengering. Kolam yang kini hanya menampilkan makroalga charophyta dan bunga-bunga teratai putih yang tampaknya berusaha bertahan hidup.
Aku mengeluarkan kantong plastik curianku dan mengamatinya lekat-lekat. "Tebak," titahku.
"Metamfetamin, 'kan? Apalagi?"
Apa itu metamfetamin? Aku baru mendengarnya. Ini sungguh terlihat seperti campuran micin, gula dan garam mandi yang sebelumnya sudah aku curigai sebagai sabu. Bukannya sabu memang terlihat kurang lebih seperti ini? Ya... walaupun aku hanya pernah melihatnya sekilas di berita televisi, sih. Tapi itu tidak penting. Pertanyaannya adalah, untuk apa aku mencurinya dan akan diapakan barang tersebut olehku?
"Sebenarnya itu barang terlarang, tapi aku punya beberapa gram di laboratorium rumahku," ucap Abinawa. "Kapan-kapan kamu bisa mengeceknya sendiri."
"Kalau begitu bawalah." Aku menyerahkannya kepada Abinawa.
"Akan aku cek nanti dan hasilnya kuberitahu besok pagi."
Padahal, besok adalah hari Minggu. Aku memilih untuk tidak mengingatkan, karena ia akan menyadarinya sendiri lalu memberitahukan hasilnya pada hari Senin.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN DI LANGIT SWITZERLAND
General FictionAku tidak yakin jika alam semesta ini merupakan antroposentris. Pada usiaku yang ke-17, aku berdo'a agar diberikan banyak sekali keajaiban di tahun tersebut. Namun, aku tidak berdo'a secara spesifik seperti yang Tuhan harapkan. Kejadian-kejadian ti...