"Hei, pohon!" Aku mendengus, begitulah orang-orang di sini menjuluki namaku.
Murid-murid berbadan besar dengan seragam yang sangat berantakan itu (sebenarnya sudah tidak terlihat seperti seragam lagi) semakin mendekat dan berhenti di hadapanku. Salah satu dari mereka yang memiliki tampang paling arogan dengan dasi bergambar tengkorak itu berdecak pinggang, memelototi laki-laki yang kini sudah berada di belakang punggungku. Seolah takut, tasku diremas kuat-kuat, aku bisa merasakan sekujur tubuhnya sedang bergetar hebat dan aku harap semoga saja ia tidak mengompol.
"Teman-teman," deklarasinya di mulai. Sama seperti para pasukan yang berjejer di belakang, aku pun turut menunggu apa yang selanjutnya akan dia ucapkan. "Lihat adik kelas kita dengan tampang bodoh dan naifnya itu." Ia menunjuk ke arahku.
Aku melirik Name tag yang terdapat di dada kanannya. Bertuliskan nama Robin Malik. A yang sudah bisa aku tebak bahwa kepanjangan dari A-nya adalah anjing.
"Entah keberanian apa yang membuat cewek culun ini sok-sokan membentengi si autis," lanjutnya dengan nada meremehkan. "Bagusnya kita kasih pelajaran apa ya?"
"Cium aja bos!"
Selanjutnya terdengar gelak tawa yang saling bersahutan. Ibuku bilang, tawa yang keras adalah cerminan dari hati yang keras juga. Aku memang merasa bahwa hati mereka tidak akan bisa diketuk, jadi, siapapun harus bisa mendobraknya.
Aku menoleh 180°.
Padahal, laki-laki di belakangku tidak tampak seperti orang autis. Potongan rambutnya rapi dan seragamnya bersih tanpa ada jejak remehan makanan juga noda basah bekas minuman atau air liur. Aku berkedip sebentar sambil menimbang apakah aku akan melindunginya sampai akhir, atau pergi begitu saja meninggalkannya sekarang dan bersantai dengan roti kukus srikaya pesananku di kantin.
Ternyata aku memilih untuk hal yang kelihatannya akan lebih merepotkan. "Aku hanya merebut," ucapku santai. "Barangkali bisa diambil alih."
Meskipun aku bisa melihat bahwa skala kemungkinan untuk kalah dari mereka adalah 5:1, aku tetap memasang dada membusung dan wajah congkak. Lagipula, hal terburuk yang mungkin terjadi hanyalah pertengkaran kecil. Paling-paling aku dipukuli sedikit, dimaki-maki, atau dilempari batu. Aku tidak akan mati hari ini kan? Aku masih bisa makan roti kukus srikaya pesananku dikantin setelah ini.
"Hei," sergahnya. "Kami belum pernah bertemu dengan orang se-tidak tahu diri ini sebelumnya."
"Nah, sekarang pernah." Aku bisa melihat kini wajah-wajah mereka berubah kesal dan kemerahan.
Salah satu dari mereka ikut maju dan mengangkat kepalan tangannya ke atas kepalaku memberi aba-aba hendak meninju. Aku sedikit berjinjit untuk membalas kepalan tangannya dengan memberikan tos!
"Deal ya?" putusku sepihak. "Jangan ganggu kami lagi."
Aku menarik tangan laki-laki itu kasar dan membawanya pergi ke kantin. Meskipun setelah itu aku dapat mendengar beberapa teriakan dan makian yang terdengar semakin jauh.
"Awas kamu!"
"Lain kali harusnya kita hajar lebih awal!"
"Pergi saja kalian ke neraka!"
Hahaha. Salah siapa sejak awal memanggilku pohon? Ya sudah, aku kabulkan. Sekarang aku adalah pohon-pohon di sepanjang Bregagh Roads, Pohon beech, Fagus Sylvatica.
-🐢🐢🐢-
"Jadi nama kamu Abi?" tanyaku. "Abinawa Kalil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAN DI LANGIT SWITZERLAND
Fiction généraleAku tidak yakin jika alam semesta ini merupakan antroposentris. Pada usiaku yang ke-17, aku berdo'a agar diberikan banyak sekali keajaiban di tahun tersebut. Namun, aku tidak berdo'a secara spesifik seperti yang Tuhan harapkan. Kejadian-kejadian ti...