Saat ini, Zafa sedang bersiap-siap untuk kencan bersama tunangannya. Pukul 7 malam. Zafa turun ke lantai bawah dan mendapati tunangannya di sana dengan setelan celana jeans dan kaus putih yang tertutup jaket bomber.
Zafa berteriak dari tangga membuat tunangannya menoleh.
"Hai. Udah siap?" Ujarnya sambil tersenyum manis saat Zafa sudah berada di hadapannya.
"Udah, ayo berangkat."
Zafa dan tunangannya berangkat bersama setelah berpamitan pada orang tua Zafa.
Keduanya menghabiskan malam minggu di sebuah kafe di daerah Giri Kedaton, Giri Hills. Sangat cocok menikmati pemandangan kota Gresik pada malam hari dari bukit Giri. Lampu-lampu yang terlihat menyinari lembah bukit menarik untuk memanjakan mata.
Tidak sedikit muda mudi yang menghabiskan waktunya di sini. Entah sekedar berkencan atau nongkrong bareng. Suasana kafe terlihat sedikit berbudaya dengan gantungan damar kurung*¹ yang melilit lampu, yang menjadi ciri khas kota Gresik.
"Kamu jadi lanjut S2?" Tanya Satya.
"Kalo kamu izinin ya aku oke aja. Tapi mikir-mikir lagi soalnya aku juga perlu biaya. Orang tuaku ngizinin, tapi mereka gak bakalan bayar UKT*² kuliahku. Soalnya biayanya buat adek mau SMA. Bapak sama ibu udah mau pensiun."
"Oh, gitu. Aku izinin kamu kerja. Urusan kerja atau S2 besok, itu tergantung kamu, oke? Apalagi deket-deket ini kita mau nikah. Pikirin dulu matang-matang. Aku hargai apapun keputusan kamu." Balasnya tulus.
Zafa mengangguk. Dia kembali menikmati irisan kue pudak*³ yang merupakan makanan khas di daerah tersebut. Sedangkan Satya menyeruput jus alpukatnya.
Satya memperhatikan Zafa yang sedang menulis saat ini. Jika selama Satya perhatikan, bulpen yang digunakan Zafa tidak pernah ganti. Motif, model, dan coraknya bukan seperti bulpen pada umumnya. Bahkan, mungkin tidak bisa ditemui di toko alat tulis.
Selalu saja bulpen itu yang dipakainya. Satya juga sadar, ada ukiran nama Zafa di sana. Bisa jadi karena ke khas-annya itu yang membuat Zafa lebih suka memakai bulpen tersebut. Kadang Satya bingung bagaimana bulpen itu bisa tetap awet? Oh, mungkin saja Zafa mengganti isinya.
Satya menyudahi acara minumnya, kini dia meletakkan kedua lengannya di atas meja, "Nulis apa? Kelihatan serius banget."
Zafa mengangkat kepalanya, dia tersenyum, "Oh, ini plan aku ke depan kalau kita udah nikah. Aku harus bisa urutin skala prioritas dong?"
"Zafa, itu bisa dipikir nanti, ya." Satya memegang salah satu tangan Zafa. "Kita lagi q-time. Jangan mikir yang terlalu jauh."
"Oke." Balasnya sambil cengengesan.
Setelah menghabiskan hidangan dan bercengkarama tentang plan menikah. Mereka memutuskan pulang, mengingat kini sudah hampir pukul 9 malam.
*****
"Zafanya ada, Om?"
Satya kini berada di teras rumah Zafa. Berniat mengajak Zafa memilih bentuk undangan seperti apa untuk pernikahan mereka nanti.
"Wah, Zafa lagi keluar. Gak lama kok, udah dari tadi sama ibunya. Paling habis ini pulang. Mau ditunggu?"
"Eh iya, Om. Saya tunggu di luar aja."
"Kamu ini kok masih manggil Om sih, cung*⁴." Balas ayah Zafa sambil menepuk pundak Satya. "Panggil bapak juga kayak Zafa. Lah ya udah jadi calon mantu."
"Iya, Pak."
Ayah Zafa mengajak Satya untuk duduk di kursi yang memang di sediakan di teras rumah. Berbincang santai sambil menunggu Zafa dan ibunya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
KurzgeschichtenHanya berisi cerpen-cerpen dan fanfiction singkat yang sekelibat lewat dalam per-imajinasian ⚠️ DON'T COPY OR REPOST MY STORY WITHOUT PERMISSION & CREDIT !!! ⚠️