Gereja Tua

5 0 0
                                    

Sabtu sore, gadis kecil berkepang dua tengah bermain di halaman kecil dekat dengan gereja tua yang masih dipakai oleh beberapa masyarakat Katolik yang tengah beribadah Sabtu Suci. Amelia, nama gadis kecil itu, masih berusia 10 tahun. Seringkali ibunya mengingatkan bahwa tidak membuat keramaian di halaman dekat gereja waktu bermain pada saat yang bersamaan di sana ibadah masih berlangsung.

Amelia dan keluarganya yang memeluk Islam memang sudah terbiasa dengan hal ini karena lingkungan di tempat tinggal mereka memang multikultural. Dia bermain dengan teman-temannya tanpa harus berteriak-teriak layaknya anak kecil pada umumnya. Sekali ada temannya yang ramai, dia selalu mengingatkan agar menghormati orang-orang yang tengah beribadah.

"Sssttt. Jangan keras-keras teriaknya, Vina. Orang di sana masih ibadah. Kata ibu, kita harus saling menghormati."

"Ih, memangnya kenapa? Kita masih anak kecil, Lia. Mereka juga pasti maklum kenapa kita ramai saat bermain." Selanya. "Sudahlah. Teman-teman, tinggalkan saja dia sendiri di sini."

Amelia kini sendiri, dia juga tidak bisa menahan teman-temannya yang sudah termakan omongan dari Vina. Laksana tau saja jika Amelia tengah menahan tangis, awan pekat mulai bergerak mendekati. Tetesan air langit agaknya sudah jatuh perlahan. 

Jemaat gereja terlihat sudah selesai beribadah dan sesegera mungkin menuju kendaraan mereka masing-masing. Beberapa sudah siap dengan payung di tangan mereka. Tidak butuh waktu lama hujan mengguyur bumi. Perlahan membasahi tanah. 

Amelia menghapus air matanya dan menengadah ke atas untuk menikmati guyuran air hujan yang membasahi rambut juga tubuhnya. Tapi, tak langsung membuatnya basah kuyup. Teriakan seorang anak laki-laki dari pintu depan gereja terdengar dari rungunya. 

"Hei, kamu! Sini! Hujannya makin deras. Kamu mau sakit, apa?" 

Amelia berbalik lalu mendekat. Namun, langkahnya terhenti. Gadis cilik itu sudah punya pemikiran, 

Apa boleh dia memasuki gereja hanya sekedar untuk berteduh? Sedangkan dia adalah seorang muslim. 

Lalu, otaknya kembali memutar memori tentang apa yang ibunya katakan, "kita boleh memasuki gereja apabila telah diizinkan dan saat di dalam sudah tidak ada kegiatan peribadatan." 

Ya, seperti itulah yang ibunya katakan. Dengan langkah kecil dia berlari ke arah seseorang yang memanggilnya. 

"Geser sedikit, berdiri di sebelahku!" Ucapnya. 

Amelia kecil hanya menurut dengan seorang anak laki-laki di sampingnya. Hanya ada keheningan di antara mereka. Oh tidak, sebenarnya ada suara guyuran hujan dan gemuruh tipis dan angin yang bertiup. 

"Kakak gak pulang? Ruangan di dalam sepertinya sudah sepi." Ujar Amelia mengawali pembicaraan.

"Orang tuaku belum menjemput. Aku ke sini sendirian." Balasnya. Dia menghadap Amelia yang masih menatap ke depan. "Namaku Gabriel. Itu nama baptisku." Setelahnya dia langsung menghadap ke depan sebelum Amelia menyadarinya.

Amelia menoleh padanya. "Oh, itu namamu? Aku Amelia."

Ya, percakapan mereka hanya sekedar sampai di situ. Bahkan hujan pun tidak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti.

Gabriel menarik tangan Amelia untuk mendekat dan menautkan tangan mereka. Gabriel bisa merasakan tangan Amelia begitu dingin. 

"Kenapa kakak megang tanganku?" Tanya Amelia polos.

"Karena hawanya dingin. Jadi, kupegang tanganmu seperti ini." Ucapnya sambil mengangkat tangan mereka yang tertaut.

"Wah, terima kasih." Amelia tersenyum menatapnya. "Umur kakak berapa?"

"Lima belas tahun."

Oh, ternyata benar pemikiran Amelia sebelumnya, jika laki-laki yang masih menggenggam tangannya saat ini lebih tua darinya.

"Jadi, kakak memang lebih tua dari aku. Kak Gabriel, umurku masih sembilan tahun sekarang." Ujarnya antusias.

Gabriel tersenyum membalas pada Amelia. Senyum seindah mentari yang muncul setelah hujan.

Entah sejak kapan, setiap akhir pekan, Amelia selalu menyempatkan bermain di lapangan dekat gereja hanya untuk melihat wajah Gabriel. Walaupun kadang Gabriel tidak menyadarinya. Namun, jika Gabriel melihat Amelia, dengan senyum terpancar dia melambaikan tangan untuk menyapa Amelia.

*****

"Hahaha, berhenti mikirin itu Amelia! Kejadian itu sudah sebelas tahun lalu dan kamu gak pernah ketemu sama dia sejak dia gak ibadah lagi di sana. Ayo, fokus! Pekerjaanmu masih banyak!" Gerutu Amelia pada dirinya sendiri. 

Kini Amelia sudah beranjak dewasa menginjak umur ke-20 tahun. Kini dia tengah mengikuti program MBKM untuk magang di sebuah Perseroan Terbatas. Jilbabnya bahkan sudah compang camping.

Namun, entah kenapa para karyawan lain tiba-tiba menuju meja mereka masing-masing dan membuka pekerjaan mereka. Amelia masih mencerna situasi disini. 

"Ada apa?" Tanya Amelia berbisik pada karyawan tetap di sampingnya. 

"Ada seorang pegawai di sini yang sangat kompeten. Dia udah dipercaya sama pak Manager. Banyak yang bilang dia itu mata-mata." 

"Beneran, mbak?" Tanyanya cemas.

Perempuan itu menganggum, "Termasuk anak magang. Kamu harus hati-hati dengan orang bernama Gabriel Reynaldi Hendrawan." 

Jantung Amelia seakan terhenti mendengar nama itu. Apa mungkin dia orang yang sama dengan laki-laki 10 tahun yang lalu?

Orang yang dimaksud tadi memasuki ruangan. Amelia mencuri pandang sedikit. Benar, orang itu adalah laki-laki yang pernah menggenggam erat tangannya saat hujan di teras sebuah gereja tua. 

"Selamat pagi semua, saya ada pengumuman. Silakan bagi yang tidak ada acara lain hari Jumat sore minggu ini. Saya akan mengadakan pesta penyambutan anak saya yang baru lahir. Maaf ya, undangannya menyusul."

Bak gelas kaca yang terlepas dari genggaman tangan. Hati Amelia seakan hancur. Memang seharusnya dia tidak boleh menganggap rasa itu benar adanya. Terlebih pada orang yang tak seiman dengannya. Dan kini, sosok Gabriel sudah memiliki keluarga kecil yang bahagia. 

Lihat, bahkan Gabriel saja tidak mengenali dirinya. Hanya Amelia saja yang masih mengingat jelas kejadian dan wajah laki-laki itu, tapi tidak dengan sebaliknya. Gabriel sudah memiliki kebahagiaan sendiri. Dan lagi, dia menyebutnya pesta, bukan tasyakuran. 

Tidak ada lagi tempat Amelia untuk mengharapkan Gabriel untuk bisa bersamanya bahkan memeluk agamanya. Egois? Ya, dia dan pikirannya begitu egois. Air matanya ingin luruh, tapi sebisa mungkin dia tahan.

Ucapan-ucapan selamat mulai menggenangi indra pendengarannya.

"Selamat atas kelahiran anaknya, Pak Reynaldi."

"Wah selamat, Pak. Bapak sudah menjadi seorang ayah."

"Akan saya usahakan datang, Pak Reynaldi."

Kenapa? Kenapa dia memperkenalkan dirinya sebagai Gabriel dan bukan Reynaldi? Amelia sudah berbesar kepala bahwa Gabriel adalah nama panggilan khususnya untuk Amelia. Dia bahkan lupa, jika sebenarnya Gabriel adalah nama baptis laki-laki di masa silamnya. 

Amelia mencoba tersenyum. Ikut memberikan selamat seperti karyawan dan peserta magang yang lain. Gabriel mengarahkan pandangannya ke segala penjuru dan menuju satu pandangan, bibir tipisnya melirih...

"Amelia?" 

Saat kedua mata mereka bertemu. Detik itu juga air mata Amelia jatuh.

.
.
.

END

.
.
.

Surabaya, 15 Oktober 2022

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang