14

2K 245 16
                                    

Lampu penanda operasi yang terletak diatas pintu tampak memijarkan warna kemerahan. Seiring dengan sunyinya lorong rumah sakit yang menuju ruang operasi, menandakan betapa larutnya malam ini.

Disebuah kursi panjang yang terletak tepat didepan ruang kamar operasi dan melekat disisi dinding, tampak diisi oleh seorang pria dengan kulit pucat dengan pakaian yang telah di penuhi darah. Sama sekali tak mempedulikan penampilannya yang terlihat sangat kacau, pria mungil itu tampak termangu dengan kepala yang hanya memikirkan nasib pria yang sedang ditangani didalam ruangan. Wajah lelah dan cemas miliknya tampak berbaur, membuat orang yang melihatnya mampu luluh karena iba.

Tangan kurusnya mulai memegangi sisi lehernya dengan mata terpejam. Bibirnya terus berucap merapalkan setiap doa untuk keselamatan pria yang sedang berjuang didalam sana.

Drap

Drap

Drap

"Peat" sebuah suara lembut menyapa pendengaran Peat. Membuat pria kecil itu segera menoleh dan mendapati tiga orang yang sedang berjalan tergopoh gopoh kearahnya.

"Ibu" suara lelahnya keluar ketika melihat sosok wanita yang melahirkannya. Rasa sesak yang ia tahan agar terlihat kuat kini tak mampu lagi ia pertahankan. Matanya yang menatap lekat ibunya mulai berair dengan bibir yang melengkung sedih.

Grep

"Tak apa sayang, tak apa. Ada ibu disini" ibu Peat dengan cepat menarik putranya kedalam pelukan. Mengusap punggung yang sudah bergetar itu dengan lembut. Isakan tangis seketika pecah diantara pelukan hangat yang disalurkan oleh ibu Peat. Raungan ketakutan yang sedari ia pendam kini ia tumpahkan sejadi jadinya diperut ibunya. Tangannya bergetar ketika mencoba mencengkeram ujung kardigan yang dikenakan ibunya.

"Ibu.. Hiks, ibu.. Fort bu.. Fort- kumohon tolong selamatkan dia bu.. Tolong aku.. Ibu.. Hiks.." Peat menjerit sedih, bibirnya terus memohon pertolongan pada ibunya. Ia tak ingin kehilangan siapapun, ia tak ingin kehilangan Fort. Peat tak mau.

"Tak apa sayang. Fort akan baik baik saja" suara lain yang tak kalah halus pun terdengar, tangan yang sudah mulai keriput itu tampak mengelus surai halus milik Peat.

Hatinya terluka melihat pria kecil dihadapannya menangis sekian rupa untuk anaknya. Tak disangkal jika hatinya turut gundah karena nyawa anaknya kini dipertaruhkan diatas ranjang operasi. Tapi melihat pria kecil rapuh yang juga ia sayangi menangis seperti ini juga membuat hatinya ikut sakit. Besar rasa cinta dan sayang yang ia miliki hampir sama besar untuk kedua pria ini, ia sangat tak tega mendengar jeritan tangis Peat yang terus menyebutkan nama anaknya.

Peat segera melepaskan pelukan ibunya dan menatap kearah sumber suara. Wajah yang sudah dipenuhi air mata itu kini menghadap sosok tua lainnya yang datang bersama ibunya.

Grep

"Maafkan Peat, bu.. Hiks.. Aku tak bisa menjaga Fort. Maafkan aku" tangan Peat segera meraih kaki ibu Fort dan memeluknya, rasa bersalah yang besar menelusup kedalam hatinya melihat wajah ayu ibu Fort, membuatnya jatuh bersimpuh didepan kaki ibu Fort. Ia merasa harus meminta pengampunan dari wanita paruh baya yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri ini.

Air mata ikut menggenang dipelupuk mata ibu Fort. Ia turunkan tubuhnya untuk melepas pelukan Peat pada kakinya. Mengangkat wajah cantik itu dengan kedua telapak tangannya dan menatap kedua mata rusa yang sembab karena menangis.

"Ssttt... Sssttt.. Ssstt.. Ini bukan salahmu sayang, jangan berkata seperti itu. Ibu tak ingin Peat menyalahkan diri sendiri. Fort akan baik baik saja, percayalah" ibu Fort mengusap air mata yang masih mengalir dipipi Peat dengan tangannya. Menyisir rambut Peat kebelakang dan mengecup dahi itu singkat. Tangannya berpindah untuk merengkuh Peat dalam pelukan, diikuti oleh ibu Peat dan adik Fort yang ternyata juga datang malam itu.

JINX - FORTPEAT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang