"Kamu tahu, tidak? kamu tidak ubahnya seperti nenek-nenek. Dengan penampilan kamu yang seperti ini, siapa yang akan betah."
Seperti biasa, suami Wati selalu memberikan cacian dan makian kepadanya. Pria itu tidak pernah berkata manis. Apapun yang keluar dari mulutnya selalu saja menyakitkan.
Pria itu terus saja makan seperti orang kesetanan, kakinya di selonjorkan. Sementara tangannya memegang remote. Dia menonton dari pagi hingga malam, malas untuk bekerja.
"Kontrakan kita sudah dua bulan tidak dibayar, Mas," kata Wati sambil membereskan sisa-sisa sampah kulit kacang yang dibuang begitu saja di atas lantai rumah.
Sementara bayi mereka yang berumur delapan bulan, sedang aktif aktifnya merangkak. Ditambah, bayi itu suka memasukkan benda apa pun ke dalam mulutnya.
"Sebaiknya Mas kumpulkan saja kulit kacangnya di satu tempat, nanti aku akan membantu membuangnya."
Pria yang masih berumur dua puluh sembilan tahun itu kemudian menatap Wati.
Plak! Kepala Wati menjadi sasaran amarahnya. Dia memukul kepala wanita malang itu dengan remote dengan begitu keras. Wati tidak mengeluh sama sekali, dia hanya mengusap kepalanya yang terasa sakit.
Wati mengambil sampah itu satu persatu dan memasukkannya ke dalam ember bekas. Tapi apa yang dilakukan suaminya, ember bekas itu diangkat lalu dituang lagi semua sampah itu ke atas lantai.
Wati menatap suaminya.
"Mau apa? Mau melawanku? Kalau uangku masih manis jangan coba-coba untuk melawan."
Wati tidak megindahkan pertanyaan itu.
"Mas belum menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaan mana, Wati bodoh?"
"Kontrakan belum dibayar. Pemilik kontrakan sudah dua kali ke sini. Menanyakan kapan kita akan membayarnya."
Wati mengumpulkan kulit kacang itu beserta sampah lainnya, termasuk abu rokok.
"Kalau begitu, kau bayar sana!"
Wati mendongak menatap suaminya, yang masih saja asyik memakan kacang. Tentu saja, melemparkan kembali kulitnya ke atas lantai yang sudah dibersihkan oleh Wati.
"Mas tahu sendiri, aku adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Bagaimana caraku mendapatkan duit."
"Otakmu kan ada, kau bisa berpikir dengan otakmu, bagaimana cara kau menghasilkan duit. Kalau perlu, jual saja tubuh kurusmu itu."
Tangan Wati berhenti mengepel lantai. Dari semua cacian dan makian yang didengarkan yang selama ini, ini adalah cacian dan penghinaan yang paling kejam. Bagaimana bisa seorang suami menyuruh istrinya menjual dirinya sendiri. Seharusnya seorang suami bertugas menjaga istrinya, bukan menjadikan istrinya sebagai seorang pelacur.
"Kenapa kau diam saja?"
"Terus aku harus menjawab apa?" Wati bertanya dengan nada santai.
"Kau kan bisa menjawabnya, Oh ya, aku lupa. Wanita kurus tidak akan pernah diminati oleh pria hidung belang. Hahaha."
Pria itu tertawa begitu saja. Tanpa peduli, bawa istrinya manusia yang memiliki hati. Daripada melayani ucapan gila suaminya, Wati lebih memilih untuk berdiri dan menggendong anaknya. Sudah terlalu banyak air mata yang dia keluarkan. Sudah terlalu dalam sakit di dalam hatinya. Seakan dia sudah kebal dengan semua cacian dan makian itu.
Wati akan terus bertahan. Sampai di mana di sanggup. Jika dia sudah merasa tidak sanggup, dia akan berhenti sendiri. Tentu saja menggunakan caranya.
***
Update cepat kalau rame. Vote dan komen yes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tidurlah, Suamiku!
General Fiction"Tidurlah, Mas. Mas akan tidur lelap, takkan bangun lagi," kata wanita yang berwajah dingin itu. Ada seribu luka, yang terpancar di matanya. "Apa yang kau ... Berikan padaku?" "Racun ...." "Kau ...." Pria itu berusaha melawan maut, tapi detik berik...