Kami berjalan membelah lautan manusia yang tengah bersorak-sorai dengan bahagianya. Ngung ! Sepuluh pesawat perang melintas, terbang bebas membentuk formasi dengan asap mereka yang mengepul di langit, mengibarkan bendera kerajaan.
Negara kami, Ingary tengah berada dalam peperangan dengan negara tetangga, entah karena alasan apa. Raja kami tampaknya benar-benar bodoh karena semakin memperpanjang perang sia-sia ini.
"Perang..." tanpa sengaja aku bergumam, ini mengerikan hanya soal waktu yang akan menjawab kapan kota ini akan diserang, luluh lantah menjadi lautan api.
Walaupun disini ramai oleh pawai, di sisi paling gelap gang aku bisa melihat orang dewasa sampai anak-anak berpakaian kumuh, tidur diatas dinginya batu bata dalam keadaan perut kosong. Sekarang aku merasa malu pada mereka.
"Maaf soal tadi nona," Dia tersenyum miring tidak menatapku, seperti tidak ada ekspresi lain selain tersenyum. Aku heran, apa dia tidak pegal senyum terus? Tanganku masih merangkul lengannya. Masih shock dengan ledakan api 'sihir' tadi. "Apa pendapatmu soal perang ini?" Aku membuka suara, kali ini dia menatapku terkejut langkah kami berhenti.
"E-eh! M-maaf aku hanya mengoceh,-" "Mengerikan." Si pirang tetap tersenyum, senyum kosong kami melanjutkan perjalanan. Kepalaku menunduk sepanjang perjalanan, tidak enak hati bertanya seperti tadi apalagi pada orang yang baru kukenal.
"Maaf..." cicitku wajahku pias, menatap batu bata membentuk pola indah jalanan. "Tidak masalah, nona. Nah kita sudah sampai." Aku mengankat wajah, melihat bangunan toko roti yang penuh sesak dengan pelanggan.
Kami berhenti tepat didepan toko itu, beragam macam jenis roti dan berjejer rapi diatas etalase. Aromanya sedap bukan main, perutku saja jadi lapar.
Aku melepaskan rangkulan pria ini, kami berdiri berhadapan "Aku akan mengurus gumpalan itu agar tidak menganggu oke?" Kepalaku bergerak mengangguk bingung ingin menjawab apa.
Aku melotot saat dia tiba-tiba menarik tanganku lembur, bibirnya mengecup hangat punggung tanganku. Lagi-lagi aku diam, membeku , bungkam seribu bahasa. Otakku entah kenapa tidak dapat memprosea kejadian ini dengan cepat membuatku melongo.
Seumur hidup aku tidak pernah berinteraksi dengan pria lain selain ayahku, aku tidak paham hal seperti ini!
"Selamat tinggal, nona." Dia berjalan menjauh dari toko, "Ah! T-terima kasih!" Aku berseru melambaikan tangan, masa bodo dengan beberapa orang yang menatapku heran.
Aku mengucapkan banyak terima kasih padanya, dan agak ragu untuk beranjak pergi. Tapi akhirnya lanjut melangkah memikirkan Sophie dan Lettie yang mungkin khawatir mencariku. Sesekali aku berbalik badan untuk melambai tangan kepada Si pirang itu yang masih setia berdiri ditengah kerumunan lautan manusia dengan senyumannya.
Untuk ketiga kalinya aku menoleh, dia sudah pergi tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Bak ditelan, dimakan, dicerna bumi jejak saja tidak ditinggalkan sedikitpun.
"Betapa tidak sopannya aku, lupa menanyakan nama pria, eh, penyihir baik itu." Aku menepuk dahi meratapi kebodohanku karena lupa menanyakan nama pria--penyihir baik itu.
Aku medorong kenop pintu toko, padahal pintu baru saja terbuka sedikit tapi aroma roti dan kue yang baru saja keluar dari panggangan langsung memenuhi indra penciumanku. Jadi semakin lapar!
Kring!
Bel penyambut toko berdenting lumayan nyaring, aku langsung disuguhkan dengan pemandangan pelanggan yang berkumpul dimeja kasir, hendak akan membayar. Ada yang sedang bercanda ria, banyak bangsawan datang ke toko ini, sekarang aku semakin mengerti mengapa itu menjadi sangat populer.
Lihatlah betapa ramainya pembeli disini. Harum semerbak roti yang baru saja keluar dari oven sungguh membuat perut keroncongan. Aku tidak sabar meminta roti gratis ke Lettie.
Tapi tampaknya tidak semudah itu, aku melupakan satu masalah besar. Sejam lagi, tidak, mungkin beberapa menit lagi hujan omelan akan menyerangku.
Dari meja kasir aku dapat melihat Lettie yang sedang melayani para pelanggannya dengan senyum cerahnya, dan... Sophie dengan wajah super menyeramkan dibelakangnya menatapku tajam.
"Ha ha...tamat riwayatku."
..."Eh? Sihir? Kamu seharusnya lebih berhati-hati kak!" Lettie mengoceh sambil memberikanku beberapa bungkus muffin kukus yang masih hangat, baru matang, baru keluar dari oven.
Dengar mata binar-binar tanpa beban tanganki langsung aku mengambil alih semua muffin-muffin super lezat itu, tapi urung karen Sophie dan Lettie memarahiku.
"Satu saja Lettie, nanti aku minta lima lagi, ya ? Ya ?" Lettie mendengus kesal memberikan sebungkus muffin dengan berat hati "kamu bisa gemuk kak,"
"Satwu mafwin twidak akwan mswalah kwk!" Uhuk! Uhuk! Aku tersedak Sophie langsung menepuk punggungku, kalau makan itu pelan-pelan jangan bicara kalau sedang makan dan bla bla bla lainnya.
"Iwya! Dari tangwan nywa kweluar apwi!" Aku berseru heboh sambil menguyah muffin dimulut. Dan kembali tersedak. Kali ini Sophie tidak lagi membantu, malah sedang asyik mengunyah muffin sambil memutar mata. Lettie melongo melihatku, kemudian mengeleng sambil tertawa kecil.
Soal Sophie dia sudah memaafkanku, tapi dia malah memberikanku peta lipat untuk disimpan dengan secarik kertas bertuliskan 'sekiranya kamu tersesat lagi' dengan dua titik dan tutup kurung. Dia memberikannya dengan senyum berbunga-bunga, sama indahnya dengan senyum nenek sihir jahat di dongeng-dongeng.
"Ya ampun tetap saja, walaupun dia menolongmu dari prajurit-prajurit itu bagaimana kalau dia Howl? Jantungmu bisa dicurinya kak Rine/ Rine!" Lettie dan Sophie berseru kompak yang membuatku mengerucutkan bibir malas langsung kehilangan selera makan.
"Begini Kak Rine, kamu harus lebih berhati-hati ya! Orang-orang bisa saja memanfaatkan kakak lagi jangan buat kami cemas!" Lettie mencubit pipiku antara sebal dan gemas, mulutku mengaduh pelan.
"Percuma Lettie, kepalanya sekeras batu." Sophie menyentil dahiku lagi-lagi kena marah. Kenapa aku sering kena marah huh? Padahal aku ini gadis baik-baik, Rine Hatter! Tapi apalah daya sentilannya cukup untuk membuat dahiku merah tepat di area tengah.
Salah satu box kayu bergeser menyembulkan kepala seorang karyawan dia memanggil Lettie, "Lettie! Kita kehabisan cokelat eclair !" Karyawan itu berseru riang dengan tersenyum sumringah.
Cih, dasar, cari perhatin saja ke adikku! "Baik! Tunggu sebentar akan kubawakan." Lettie berjalan menuju gudang dan kembali dengan beberapa kardus berisikan bubuk cokelat dibantu dengan beberapa rekannya yang lain yang dengan senang hati membantu.
Meninggalkan aku dan Sophie berdua.
"Kamu tahu? Tadi ada pria dengan rambut krem yang aneh." Sophie membuka topik pembicaraan aku menoleh tertarik "Krem?" Sophie mengangguk sambil menyobek muffin yang dia pegang."Iya, dia sangat berkharisma...," Sophie menatap langit-langit tempat ini, aku menatapnya melongo, perilaku Sophie persis seperti Alice-- rekan kerjaku di butik yang sedang jatuh cinta pada Klie-- rekan kerjaku juga.
Tepat! Dia pasti sedang jatuh cinta pada pandangan pertama! "Kak Sophie sepertinya jatuh cinta pada pria itu." Aku mengantungkan beberapa muffin di saku, tidak apa-apa kan? Lagi pula Lettie sendiri yang membawakannya untuk kami nikmati. Eh? Benarkan?
Aku beranjak bangun mengebut gaun yang kotor, "Eh?" Sophie ikut bangun menatapku bingung.
"Jatuh cinta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RINE | Howl's Moving Castle X Reader ( Slow update )
Fanfic[+15] Seandainya itu bukan hari sial mereka, sudah pasti keduanya tidak akan dikutuk oleh Penyihir Sampah. Nasib malang menimpa Rine dan kakak perempuannya-- Sophie. Mereka telah DIKUTUK! Panik bukan kepalang, keduanya pergi dari rumah untuk menemu...