8🔹Keluarga Baru Gama

145 25 16
                                    

Matahari masih belum sempurna muncul di ufuk timur. Jalanan kota Jakarta yang biasanya ramai sekarang masih terlihat sepi. Rasanya, berbeda sekali dengan suasana Jakarta di tahun 2000-an. Saat ini, sepertinya Gama merasakan ada hal yang tidak bisa dia dapatkan sebelumnya. Remaja berumur 18 tahun tersebut sudah siap dengan seragam putih abu-abunya yang baru.

Satu minggu yang lalu, Hidayat mengatur sekolah Gama dan Rean di sebuah SMA swasta di Jakarta. Siapa sangka akan secepat ini Gama memakai seragam SMA lagi.

Remaja itu duduk di kursi teras sambil menatap pohon jeruk yang daun-daunnya bergoyang karena angin. Terkadang dia berpikir untuk melupakan masalah yang terjadi sebelum dia sampai di masa ini. Rasanya, saat ini dia sudah menemukan ketenangan yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Tapi, apakah berpura-pura tidak terjadi apa-apa akan membuat keadaan membaik? Apakah takdir bisa diubah? Entahlah, rasanya sia-sia saja jika dia kembali ke tahun ini dan tak dapat mengubah segalanya. Semua begitu rumit untuk ukuran otaknya yang sebesar kepalan tangan.

"Kamu mikirin apa? Baru juga hari pertama masuk sekolah, udah mikirin yang enggak-enggak!"

Suara Hidayat membuat Gama menatap laki-laki yang duduk di sampingnya sambil membawa segelas kopi hitam yang masih mengepul.

"Enggak, enggak mikirin apa-apa."

"Ck, kamu itu kaya anak perempuan! Bilangnya gak apa-apa eh malah kepalanya penuh benang ruwet, coba sini cerita sama Bapak." Gama tersenyum. Dia malu mengakuinya.

"Pak, seumpama aku bisa kembali ke masa lalu dan mengubah takdir keluargaku ... apa semua akan berakhir baik-baik saja?" Pandangan Gama lurus menatap matahari yang masih ada di ujung timur. Hidayat menghela napasnya.

"Kamu ini ada-ada saja, gak mungkin ada orang yang bisa kembali ke masa lalu. Hal seperti itu ... hanya ada di dunia dongeng. Berpikir saja hal yang realistis dan logis."

"Bapak nggak akan tahu, semua bisa terjadi di luar kuasa kita ."

"Hah, sebelumnya Bapak cuma mengingatkan. Takdir, ada di luar kemampuan kita sebagai manusia. Toh, kalau pun kamu kembali ke masa lalu, belum tentu kamu bisa mengubah takdir yang sudah ditetapkan sama Yang Maha Kuasa." Hidayat kembali meminum kopi hitamnya. Memperhatikan Rean yang juga sudah siap dengan seragam putih abu-abu, tapi bedanya kini remaja itu sibuk membantu istrinya menyiapkan sarapan di dapur. Laki-laki itu tersenyum ketika istrinya mengomel pada Rean, pada sebuah hal-hal kecil.

"Walau kadang, takdir tidak berpihak pada Bapak, ada beberapa hal kecil yang tidak pernah kita sadari bahwa hal itu sangat penting bagi kehidupan kita ... tidak perlu jauh-jauh berpikir tentang kembali ke masa lalu, saat ini pun kita juga sedang mempertahankan nasib kita." Gama memandang Hidayat. Lantas remaja itu mengikuti arah pandangnya dan menatap hal yang sama.

"Lihat 'kan, perempuan hanya perlu waktu untuk beradaptasi dengan suasana baru." Gama tidak paham dengan apa yang ayah angkatnya bicarakan. "Setelah Septian dan Arina menikah rumah jadi sangat sepi. Ganesa yang juga sudah masuk kuliah lebih sering tidak ada di rumah. Kebanyakan waktu anak itu digunakan untuk belajar dan berdiskusi dengan teman-temannya. Dan kami di sini ditinggalkan. Seperti sebuah benda yang selesai digunakan dan dibuang ke tempat sampah."

"Bapak, jangan bicara sembarangan! Terus, apa gunanya Gama sama Rean di sini kalau bukan buat menemani Ibu dan Bapak?"

"Ya kalau kalian nggak ada siapa yang bakal habisin yang Bapak, hah?" Gama terkekeh mendengar penuturan laki-laki itu.

"Ingat, Pak. Tahun ini nggak mudah bagi semua orang. Bapak malah enak-enak bilang mau habisin uang, kalau habis nanti bingung!" Keduanya terkekeh. Larut dalam obrolan ringan yang membuat suasana rumah menjadi sangat hangat.

Aku Ingin pulang✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang