🌨️🌈🌨️
Setelah membanting keras pintu kamar, Kala bertekuk lutut. Hatinya begitu sakit dan kecewa, hari ini. Mengingat ayah yang tak kunjung datang, mengingkari janjinya waktu itu.
-
"Ayah, Kala 1 Minggu lagi akan berulang tahun" tutur Kala bahagia, saat keduanya tengah bermain di halaman rumah."Oh ya? Ayah hampir lupa. Hahaha" pekiknya riang, menghidupkan keseruan antara mereka.
Seketika, kala menghentikan layangannya. Menghampiri ayah, lalu diam menatap tatapan mata cinta pertamanya.
"Apakah, kala masih di perkenankan untuk merayakan hari bahagia itu?" Tanya Kala, ragu.
Ayah Kala mengangkat pandangan, berpikir lama. Kala tetap diam nurut, menunggu jawaban. Layangan keduanya masih mengangkasa ke langit biru. Pepohonan hijau, menyejukkan sekitar. Ayah Kala tiba-tiba mengagetkan.
"Duarr..." Kejutnya. Kala yang tengah diam, menatap kedua bola mata ayahnya meloncat kaget.
"Ayah. Ihhh" kesal kala. Mereka saling melempar tawa, ayah Kala melepas genggaman tali layangannya. Kemudian, meraih pipi kanan kala, putri sulungnya.
"Boleh banget, sayang" jawabnya. Kala meloncat kegirangan, berlari tak tentu arah. Keadaan semakin menyenangkan di halaman rumah mereka. Kala memeluk ayahnya erat-erat, dan di peluk se erat pula oleh sang ayah.
-
"Ayah bohong" gumam kala. Lalu, membanting keras foto bersama ayahnya. Menderu napas, kemudian menghempaskan nya. Kala menangis sejadi-jadinya. Sosok cinta pertamanya sudah menyakiti relung hati, tanpa ingin mencari tahu keberadaan ayahnya yang sebenarnya. Kala, langsung men - judge.
Membanting semua barang yang ada di kamarnya. Menangis sekencang-kencangnya. Sampai akhirnya, Tuhan memerintahkan kepadanya untuk mengistirahatkan rasa kecewa yang Kala punya, saat ini.-
Pagi hari buta, kala terbangun karena rengekan seorang bayi. Terbangun dari mimpi buruk yang nyata adanya. Kala terbangun dengan perasaan aneh. Seperti, kemarin tak terjadi apapun. Kala bangkit dari zona pedihnya. Tanpa bercermin, kala langsung melangkah keluar kamar.
Mata sayu dan wajah yang pucat, menjadi gambaran dirinya hari ini. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Firla, berjalan menghampiri kala. Lalu, memeluk putrinya erat-erat di pagi ini."Morning, sayang" sapa Firla, pagi hari. Mendekap tubuh, berangsur mencium kening putrinya. Kala tersenyum, Firla merasa lega bisa kembali melihat senyumannya.
Kala tak sengaja menatap ke arah ruang makan rumah. Kursi tengah depan terlihat kosong. Bahkan, Ibu tak menyiapkan piring di depannya.
"Ibu, ayah ?" Tanya Kala, mulai cemas kembali. Firla melepas pelukan, kemudian terdiam. Tak langsung menjawab.
"Ayah-" ragu Firla. Kala menatap kedua mata sang ibu. Mencoba meyakinkan ibunya untuk berkata jujur.
"Bu-" bujuk Firla. Kedua mata sang ibu berkaca-kaca. Uap dari sup yang di buat ibunya, semakin mengebul tebal. Firla menatap kedua mata Kala, jari-jari nya berangsur meraih kedua pipi putrinya.
"Sudah ya, kita sarapan. Oke?" Alih Firla mengganti topik pembicaraan keduanya. Kala menatap kepergian ibunya ke meja makan, langkahnya semakin menjauh.
"Ibu, jawab Kala !" Paksa Kala, langkahnya semakin dekat dengan keberadaan sang ibu. Keadaan di meja makan semakin tak karuan, Firla mencoba mengubris setiap pertanyaan Kala dengan cara menghindar. Kala semakin penasaran dengan jawaban sang ibu, berharap bisa menemukan titik terang.
"Kala, please"
Anak berusia 9 tahun itu tetap memaksa membujuk ibunya. Setidaknya, satu kata tentang ayahnya pun bagi Kala tak apa. Itu sudah menjadi solusi.
"Ibu, ada apa dengan ayah. Kala kehilangan kabar ayah, dan-" jeda Kala, tak kuasa menahan kerinduan.
Firla melirik sesaat kala terisak. Uap sup yang Firla buat pun semakin hilang. Seorang ibu mana yang Sudi membiarkan anaknya menangis. Firla tak memikirkan hal itu. Satu hal yang belum waktunya kala tahu, bahwa ayahnya tersangkut kasus yang mengharuskannya berkelana mencari keadilan.
"Kala, dengarkan ibu. Please" . Kala memalingkan wajah dari hadapan ibunya, anak 9 tahun itu sudah mulai mengerti tentang dunia yang sebenarnya. Firla tetap diam berdiri di hadapan putrinya. Kala tak menggubris perilaku dingin ibunya. Kala, beranjak dari tempat dengan meraih tasnya. Dan pergi, tanpa berpamitan.
"Kala-" panggil Firla, sekencangnya. Kala pergi dengan perasaan kesal terhadap semua manusia yang banyak merahasiakan hal besar terhadap dirinya.
Sepanjang jalan pun, kala tak banyak bicara. Sesekali menengok spion ojol langganan yang di tumpangi nya. Ia teringat, perutnya masih kosong sedari malam. Belum ada asupan, melewati setiap organ pencernaannya.
-
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang (untuk) pergi
Short StoryAyahku, tak gagal menjadi seorang ayah yang baik meskipun telah gagal menjadi seorang suami yang baik. Shekala, terbiasa menghadapi banyak kepahitan dalam hidup sedari kecil. Meskipun berulang kali, sempat di tuntut oleh banyak hal. Namun, akhirnya...