7. Tak Bisa Diandalkan

879 100 1
                                    

"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.

Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan.

"Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya.

"Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!"

"Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha.

"Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.

Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody.

"Ayah tahu pernikahan ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa lepas dari belenggu ayah. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, semua yang ayah lakukan semata-mata hanya demi kebaikanmu!" Pak Hendrix memulai percakapan sepeninggal istri, anak serta menantunya.

Melody tersenyum sinis mencibirnya. "Kebaikan apanya? Mana ada demi kebaikan tapi mengekang kebebasan? Aku bukan anak kecil yang harus Ayah pantau 24 jam! Aku perempuan dewasa berusia 25 tahun! Aku juga mau menikmati dunia, aku juga mau bahagia!"

Pria gagah dalam balutan kemeja dan celana bahan itu memejamkan mata. "Dunia nggak seperti yang kamu kira, Nak. Tempat ini menyeramkan untuk 'orang-orang sepertimu'. Semua akan terasa berbeda kalau kamu udah pulih sepenuhnya. Cuma karena Raga selalu ada di sampingmu, bukan berarti dia bisa bantu." Lembut dan perlahan, Pak Hendrix berusaha meyakinkan putrinya.

"Tapi aku udah nggak pernah mimpi itu lagi, Yah. Aku udah  nggak pernah ketemu 'dia' lagi. Aku udah sembuh!" sentak Melody menggebu-gebu.

"Kalau kamu yakin udah pulih sepenuhnya, kenapa ada yang laporan ke ayah kalau kamu jerit-jerit di kamar tengah hari bolong?"

Melody mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Sudah dia duga, tak mungkin ayahnya datang tiba-tiba bila tak ada maksud yang mendasarinya.

"Mel, sayang ...." Melody memalingkan muka saat Pak Hendrix berusaha meraih jemarinya. "Banyak hal yang udah ayah pertaruhkan sampe sekarang. Kamu adalah satu-satunya harapan keluarga, tapi kami nggak bisa menampik kalau kamu juga satu-satunya orang yang menjadi penghalang.

"Kuliah bisnismu berhenti di tengah jalan, sementara kuliah desain harus dibantu suntikan dana agar kamu bisa lulus dan dapat ijazah. Sampai butikmu kini berdiri semua ada andil ayah di dalamnya. Bila, pekerjaan yang menjadi satu-satunya keahlianmu saja penuh hambatan, bagaimana ayah bisa percaya kalau kamu nggak akan gagal, bahkan dalam pernikahan?!"

Melody menengadahkan wajahnya, mati-matian dia tahan cairan hangat yang sudah menganak sungai di pelupuk matanya.

"Belum terlambat buat memulai. Ikut ayah, ya! 'Mereka' bisa bantu kamu buat sembuh. Setelah pulih sepenuhnya ayah yakin semua akan berjalan semestinya."

"Kasih aku waktu, Yah! Ini bahkan baru sepuluh hari. Aku yakin Kak Raga bisa bantu aku pulih sepenuhnya. Aku nggak mau ke tempat itu lagi. Asal Ayah tahu, di sana lebih banyak setannya!"

Pak Hendrix menghela napas panjang melihat bagaimana putrinya mengiba akan hidup yang tak pernah diinginkannya.

"Oke. Ayah kasih kamu waktu tiga bulan. Kalau sampai seratus hari belum ada perubahan, dan kondisimu semakin tak terkendalikan. Ayah nggak ada pilihan selain jemput kamu secara paksa, dan jadiin Jazz sebagai penggantimu.

"Jazz, walaupun bukan anak kandung Ayah, tapi dia sangat bisa diandalkan. Hampir semua pekerjaan ayah dia yang handle. Kalau terus begini, Ayah nggak punya pilihan selain mewarisi semua aset ayah sama Jazz, daripada bisnis keluarga kita hancur di tangan kamu!"

Melody hanya bisa pasrah, mendengar penuturan sang ayah tentang nasib hidupnya. Sebagai satu-satunya anak yang diharapkan dia justru hanya bisa menyusahkan dibanding kakak tirinya yang baru-baru ini datang.

Tanpa mereka sadari, di balik dinding penyekat ruang tamu dan ruang keluarga, ada sepasang telinga yang mendengarkan. Wanita paruh baya berambut merah panjang itu tersenyum penuh kemenangan menatap putranya yang seolah tak peduli hanya duduk bersandar di kursi.

***

"Ayah permisi dulu, ya, Ga. Entah berapa kali ayah harus bilang maaf dan terima kasih karena kamu udah bisa nerima Melody apa adanya. Lain kali kalau ada apa-apa lagi, jangan sungkan buat langsung mengabari!"

Raga hanya bisa tersenyum kikuk sembari mengangguk pelan.

"I-iya, Yah."

"Kontak ustad yang kemarin masih Tante simpen, kalau tiba-tiba si Mel ngereog lagi, kamu langsung hubungin aja, ya, Ga!" Clara, ibu tiri Melody itu bergumam saat melintas di hadapan Raga. Lelaki itu hanya bisa meringis menanggapinya.

Sementara ayah tiri dan ibunya sudah pamit pergi, Jazz justru menghampiri Melody yang masih terjaga setelah percakapan dengan ayahnya tadi.

"Kamu dikasih makan, kan, Mel?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama.

Melody mengangkat kepala, lalu memaksa sebuah senyum terbit di bibir tipisnya. "Apaan, sih pertanyaannya Bang Jazz? Ya, dikasihlah."

"Soalnya kamu keliatan lebih kurus dari terakhir kita ketemu." Ada sorot hangat di balik tatapan datarnya.

"Ah, mungkin cuma perasaan Bang Jazz aja." Melody terkekeh sembari memukul pelan lengan kakak tirinya.

Jazz tertegun menatap perempuan yang selama tujuh tahun seatap dengannya. Lekat lelaki yang mengecat rambutnya menjadi cokelat gelap itu menatap wajah cantik Melody yang menyisakan sedikit air mata di pipinya yang tirus dan mulus.

Pandangannya tiba-tiba turun ke lengan kecil itu, tepat pada pergelangan tangan Melody yang kebetulan tersingkap.

"Ini, bukan gambar baru, kan?" Jazz menarik tangan Melody saat dia rasa motif garis-garis bekas sayatan di pergelangannya bertambah.

Melody menggeleng pelan.

"Nggak, kok. Aku itung masih ada empat." Perempuan itu nyengir, lalu menarik lengan cardigannya untuk menutup pergelangan sampai setengah punggung tangan.

"Kenapa emang?" Raga yang sejak tadi memerhatikan tiba-tiba menghampiri dan menepis tangan Jazz yang masih menggenggam erat jemari istrinya. "Nggak usah khawatir, Melody udah di tempat yang lebih aman, daripada dia berada sebelumnya."

"Oh." Jazz hanya menanggapi datar. Dia acak rambut Melody sebelum pamit pergi. "Pulang dulu, ya. Jaga diri kamu baik-baik!"

Melody mengangguk pelan, kemudian melambaikan tangan.

"Siap, Bang."

Sepeninggal mereka, hanya tinggal Melody dan Raga yang tersisa.

"Mel!" Raga memanggil istrinya yang sudah bersiap pergi.

Melody menoleh. Dia mendongak menatap Raga yang menjulang dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Udah aku duga pasti Kakak yang bilang."

"Maaf." Raga berusaha meraih tangan Melody, tapi langsung ditepisnya.

"Nggak apa-apa. Untuk sementara kasih aku waktu sendiri!" Melody pun berlalu meninggalkan Raga yang masih mematung di tempatnya.

.

.

.

Bersambung.

Hanya Istri PelampiasanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang