1 - DATANG

6 0 0
                                    

Senyum tipis tersungging dari sudut bibir perempuan berambut hitam lurus sebatas leher itu. Pukul dua siang, dia mendatangi rumah bak istana berpagar tinggi warna hitam, yang kini di depannya. Di waktu cuaca sedang panas-panasnya, dia mengenakan parka berwarna senada dengan pagar, celana denim panjang dengan sepatu bot kulit. Sebelah kiri bahunya, tersandar tas ransel cukup besar, sedangkan tangan kanannya menatap pada layar ponsel.

Seorang penjaga pos mendatanginya, menatap curiga dari balik pagar.

"Mau mencari siapa ya, Mbak?" tanyanya.

"Saya mencari ibu Amah."

"Ada keperluan apa kalau boleh saya tahu?"

"Saya sudah melamar pekerjaan, dan saya diterima di sini."

Sepertinya teringat sesuatu si penjaga bertutur kemudian, "Oh, sebentar."

Dengan tergesa, penjaga itu membuka pintu lain, tepat di samping gerbang dua pintu itu. Pintu yang lebih kecil. Namun, tidak kalah aman, karena memakai kode untuk membukanya.

"Saya antar, Mbak. Nama saya Arip," ujar si penjaga yang bernama Arip.

"Saya May," sahutnya sedikit ragu. "Maysaroh."

Cukup dia memperkenalkan diri sebagai nama tersebut, bukan untuk merendahkan nama yang serupa, tapi justru itu akan menjauhkan dia dari masalah ke depan, yang justru dia hindari.

Mereka melangkah melalui jalan berpaving blok abu-abu, dengan taman di sisi kiri dan kanan. Bangunan rumah dengan pilar-pilar tinggi ala yunani, terlihat jelas. Jendela-jendela dengan kusen berpolet emas. Arip membawanya berbelok ke jalan yang lebih kecil di samping cartport terpisah. Bahkan garasi mobilnya pun begitu besar, mungkin lima hingga enam mobil, bisa terparkir aman di sana.

"Mbak May asalnya dari mana?" tanya Arip berbasa-basi.

"Sukabumi, A," jawabnya dingin.

"Oh, teman satu kampung bi Amah, ya?"

Dia hanya mengangguk, mempersingkat jawaban.

Jalan pedestrian itu mengitari rumah, hingga mereka sampai di bangunan terpisah di belakang rumah utama. Di belakang, ada semacam paviliun yang diperuntukkan bagi para pekerja. Tampak sepi, dan tidak kalah bersihnya dengan petampakan depan rumah utama.

"Bi Amah mungkin ada di dalam, ditunggu sebentar ya, Teh?" Arip meralat panggilan, setelah tahu bahwa perempuan di hadapannya berasal dari tanah Sunda.

Bergegas Arip berlari masuk ke dalam rumah. Mata perempuan itu mengitari keadaan sekitar. Memotret setiap detail yang ada dalam jarak pandangnya. Apa yang salah, apa yang kurang, mana yang jadi kelemahan, dengan cepat dia menganalisa.

Tidak lama kemudian, perempuan tua memakai seragam suster berwarna putih, badan mungil, kurus, rambut beruban yang dicepol keluar dari pintu belakang rumah utama. Perempuan tua itu memiliki wajah lugu dan ramah. Diikuti oleh Arip di belakangnya.

"Oh, ini Maysaroh, yah?" sapa bi Amah.

"Arip ke depan lagi, Bi," pamit Arip sambil mengangguk sopan pada kedua perempuan di hadapannya. "Permisi, Teteh. Saya ke depan dulu."

"Iya," angguk perempuan bernama May itu. Lalu dia alihkan perhatiannya lagi pada bi Amah. "Betul, Bi. Saya May, pengganti Cacah."

"Ayo, masuk. Kita ngobrol di sana aja, Neng."

Bi Amah menunjuk ke bangunan paviliun dan berjalan mendahului. Perempuan tua itu membuka pintu, hingga visualisasi ruang makan bersatu dengan ruang santai, tampak. Ada tv dan hiburan dvd player. Ada lima pintu masing-masing berjajar dalam jarak.

"Itu kamar-kamar untuk kita yang bekerja di sini," lanjut bi Amah seolah dia tahu apa yang sedang si May perhatikan begitu masuk ke dalam. "Nanti kamu satu kamar dengan Bibi, pintu kedua setelah kamar mandi."

Perempuan bertubuh tinggi semampai itu mengangguk patuh. "Baik, Bi."

Bi Amah duduk dan mengisyaratkan agar si May duduk juga. Setelah meletakkan tas ransel dan membuka jaket parkanya, perempuan itu duduk berseberangan dengan bi Amah.

"Kamar tengah itu untuk art perempuan lain. Ada dua orang, Yuyum dan Ningsih. Kamar ke empat, untuk Arip dan supir Bapak, si Jajang," jelas bi Amah. Dia melirik ke kamar paling ujung nomor lima. "Itu kamar kosong."

Si May mengangguk lagi mengiyakan.

"Mungkin Cacah sudah bilang apa tugas kamu di sini. Yaitu mengurus kebutuhan anak-anak, apa saja yang berhubungan dengan anak-anak itu tugas kamu," sahut bi Amah.

"Secara garis besar, saya sudah tahu."

"Anak paling besar, den Windra, yang kedua den Vinda, dan neng Vita yang bungsu. Kamu harus jaga baik-baik mereka, paham?" Sebelum si May mengangguk lagi tiba-tiba bi Amah menjulurkan telapak tangannya. "Bibi minta kartu pengenal kamu. Dibawa, kan?"

Berusaha untuk tidak menunjukkan kekagetannya, si May mengambil dompet dari dalam tas ranselnya. Dia memperhatikan dulu dua buah tanda pengenal yang dibawanya. Yang bernama Maysaroh Fatimah, berumur 28 tahun sesuai dengan tahun lahirnya, dia berikan pada bi Amah.

"Nanti Bibi kembalikan setelah suruh Arip fotokopi. Enggak apa-apa ya, Neng May?"

Senyum terulas di bibir si May. "Iya, Bi."

"Anak-anak waktunya makan siang sebetulnya dari tadi, tapi mereka enggak mau makan," sahut bi Amah sedikit mengeluh.

"Boleh saya temui mereka sekarang?"

"Oh, mau sekarang? Tadinya Bibi mau perkenalkan pas waktu makan malam, pas bapak sama non Risty datang." Bi Amah menjilat bibirnya yang terasa kering. "Ya udah, kalau Neng May mau ketemu, ayo ikut dengan Bibi."

Keduanya beranjak berdiri, si May menarik napas panjang dan mengatur napas agar tetap teratur. Padahal jantungnya sudah berdebar-debar tidak karuan. Selama ini, sepanjang tujuh belas tahun terakhir, dia tidak pernah merasa tegang seperti ini. Padahal apa yang dialaminya, lebih kelam dan gelap dibandingkan menghadapi anak-anak di bawah umur.

Mereka masuk melalui dapur bersih yang cukup luas. Dengan konter-konter warna senada dengan dinding dapur, warna gading. Setelah itu melewati ambang pembatas dan masuk ke ruang makan yang kosong. Delapan kursi saling berhadap-hadapan berbatasan dengan meja makan berwarna hitam. Terhidang di meja makan, berbagai jenis makanan.

Suara langkah kaki mereka terdengar senyap, melewati koridor menuju ke ruang tengah. Pemandangan disuguhkan dengan sofa four seat, dua otto di sisi kiri dan kanan. Sebuah tv besar menempel di dinding. Di samping tv ada sebuah pintu. Juga di bawah tangga menuju ke lantai dua.

"Itu kamar utama," bisik bi Amah lalu dagunya menunjuk pada pintu di bawah tangga. "Itu ruang kerja milik Bapak."

Sudah bisa diduga, banyak hal penting di sana, karena pintunya pun memakai akses kode berteknologi canggih. Bukan hanya memakai gembok.

Lalu ada lorong menuju ke depan lagi, yang sudah pasti menuju ke ruang tamu. Namun, bi Amah mengajak si May naik ke lantai dua. Pemandangan di lantai dua tidak kalah mewahnya. Kamar-kamar dengan jarak pintu yang agak berjauhan tampak. Ada tempat bersantai dengan rak-rak buku dan bean bag, beralaskan karpet tebal berwarna abu-abu. Tepatnya ada empat pintu berjajar sepanjang koridor.

"Dua ujung di sana, itu kamar tamu." Bi Amah menunjuk pada kamar-kamar di sebelah kanan. Lalu di hadapan mereka ada sebuah pintu sedikit terbuka. "Yang ujung sana, itu kamar den Vinda. Dan ini, kamar neng Vita."

Si May mengangguk. Dia sedikit merasakan tegang saat melihat pintu kamar di depannya. Ini saatnya, dia masuk ke dalam kehidupan anggota keluarga yang akan ditemuinya.

"Neng Vita? Ada yang mau ketemu, Neng," ucap bi Amah.

Si May mengembuskan napas panjang. Tenang, kamu harus tenang.

HALO, MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang