7 - MAKAN MALAM

10 0 0
                                    


Hala naik ke lantai tiga, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang beberapa menit. Namun Windra belum juga turun dari kamarnya. Pintu kamar Windra terbuka, Hala berdiri di ambang pintu, mencari-cari sosok Windra. Tidak ada siapa-siapa. Langkah Hala yang tanpa suara mengecek ke kamar mandi, yang juga kosong. Begitu melihat pintu ke arah balkon terbuka, Hala tahu pemuda itu ada di sana. Tungkainya mengarah menuju balkon.

Windra sedang duduk di kursi panjang, sembari merokok. Menatap ke depan, melihat kerlap-kerlip cahaya Kota Bandung. Hala menghampiri dan mengeluarkan plastik sampah yang dibawanya sedari sore tadi, dengan inisiatif dia mengangkat asbak di samping Windra, lalu Hala masukkan ke dalam plastik sampah.

"Masih ada lagi yang mau kamu buang?" tanya Hala datar.

"Enggak ada," balas Windra ketus. Hala hanya mengangguk cepat dan hendak berlalu. "Eh, bentar."

Windra mengambil plastik obat bening dari saku piyamanya, isinya seperti bubuk tembakau. Lalu Windra masukkan ke dalam plastik sampah yang ada di tangan Hala.

"Enggak ada lagi, sumpah," tegas Windra.

"Oke. Saya percaya Den Windra jujur."

"Eh, sebentar, May." Windra meraih lembaran kertas papir yang disematkan pada belakang bungkusan rokok masih berplastik. "Sekalian, buang aja. Biar enggak ada fitnah."

Hala mengangguk sembari mengikat plastik itu dengan simpul kuat. Matanya melirik pada Windra yang memerhatikan dirinya dengan saksama. "Makan malam dulu, Den," ucapnya.

"Males. Aku mau tidur aja, kepala aku pusing."

"Mau makan bubur? Biar mualnya hilang."

Windra menggeleng. Pemuda itu menepuk-nepuk tempat di sampingnya. "Duduk kamu, aku pengin ngomong sebentar."

Hala menaikkan alisnya, tapi dia turuti permintaan Windra. Perempuan itu menatap ke depan. Ada senyum di sudut bibirnya, tanpa Windra sadari. Pertemuan pertama mereka setelah belasan tahun, benar-benar kacau. Hala berharap, waktu berjalan setelah saat itu, hubungan mereka akan semakin baik. Batin Hala terasa tercabik-cabik. Menahan perasaan ingin memeluk, ingin mengucap rindu, terpaksa ditahan olehnya.

"Kamu enggak bilang sama bapak, kan?" Mata Windra meminta jawaban pasti.

"Tergantung. Apa Den Windra mau bicara kejadian tadi siang ke bapak."

Pemuda itu menggeleng. "Enggak akan. Tapi kamu janji juga, May. Tutup mulut kamu."

"Oke, siap." Hala membuat gestur tutup mulut dengan jari jempol dan telunjuknya pada bibir.

"Kamu juga pernah pake? Kamu mantan pemakai?" tanya Windra penasaran.

Hala menunjukkan plastik sampah di tangannya. "Yang ginian?"

"Iya." Mata Windra menatap penasaran.

Senyum sinis Hala tersungging. "Enggak pernah."

"Kok bisa tahu, aku nyobain itu."

"Karena buat saya, untuk tahu bukan berarti harus mencoba," jawab Hala enteng. "Sinte itu buatan, apa kamu tahu kandungan di dalemnya apa? Campurannya apa? Cari yang murni aja, kalau bener-bener penasaran. Gele, misal."

Windra menatap tidak percaya pada Hala. "Pernah coba juga?"

Hala terkekeh. "Enggak. Buat apa? Sama sekali enggak ada gunanya, Den."

"Yah, mungkin hidup kamu enggak seberat aku. Aku tuh capek, banyak masalah." Windra melipat tangan dan memanyunkan bibirnya. "Cuma pengin keluar dari masalah sesekali."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HALO, MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang