4 - ATURAN BARU

2 0 0
                                    

Suasana senyap di ruang makan. Vinda melirik pada Hala dan kakaknya, penasaran. Namun, pembicaraan antara Hala dan Windra, hanya kedua orang itu yang tahu.

"Enggak ada lagi," tutur Windra sembari tertunduk dan meneruskan makannya.

"Mau saya suruh kamar kamu dibongkar?" suara Hala setengah mengancam.

"Ada apa, Kak?" tanya Vinda.

Windra melotot galak pada adiknya. "Diem kamu!"

"Lho, kok jadi marah-marah sama aku?" Vinda mendelik sebal.

"Buat apa kamu kepo? Anak kecil enggak perlu ikut campur!!"

"Diam!" tegas Hala. "Saya enggak mau dengar kalian bertengkar. Paham?"

Vinda mendesah pelan, lalu kembali makan. Vita melirik-lirik pada kedua kakaknya, tampak kebingungan dengan apa yang sedang dibicarakan.

"Teruskan makannya, saya tunggu di ruang tengah setelah makan," tukas Hala.

Perempuan itu beranjak berdiri dan melangkahkan tungkainya ke ruang tengah. Di belakang Hala, Yuyum dan Ningsih sudah membawa kantong keresek untuk sampah, sapu dan gagang pel, termasuk embernya. Hala menoleh, membuat kedua perempuan muda itu berhenti melangkah.

"Pisahkan puntung-puntung rokok, ke plastik kecil. Nanti kalian kasih ke saya," pinta Hala.

"I-iya, Teh," jawab Ningsih gugup.

Hala menoleh sekilas pada Windra yang sedang memerhatikan pembicaraan mereka. Tampak raut wajah Windra semakin pucat. Dengan tenang Hala ke ruang tengah, duduk dengan santai, menunggu anak-anak selesai makan.

*****

Ketiga putra-putri Jagapati duduk berdampingan di sofa berbahan kulit, berwarna cokelat tua. Kaki-kaki mereka tertutup rapat dengan tubuh duduk tegak. Sesekali, Vita memainkan kakinya. Hala memerhatikan ketiganya dengan saksama.

"Mulai besok, kita ada jadwal untuk memakai hape, itu paling pertama. Dalam satu hari, kalian hanya diperbolehkan pakai hape maksimal dua jam. Mengerti?" ujar Hala.

"Aku sih enggak pernah maen hape," celetuk Vinda.

"Untuk komputer kamu juga berlaku hal yang sama." Hala menatap tajam pada Vinda.

Vita terkikik geli. "Rasain!"

Tangan Vinda mengepal, hendak memukul Vita. Namun, begitu melihat pandangan netra Hala, Vinda mengurungkan niatnya. Dia langsung diam dan menundukkan wajahnya.

"Untuk tugas-tugas, yang harus menggunakan internet, kita kerjakan di ruang santai di atas. Bersama-sama. Jadi saya bisa awasi kalian. Kita belajar, dari pukul satu siang sampai pukul empat sore," lanjut Hala.

"Aku baru pulang sekolah jam lima sore," seloroh Windra.

"Kamu sekolah atau pegawai kantoran?" Hala terkekeh pelan. "Kamu pulang sekolah pukul dua siang, setiap hari. Dan hari tadi, kamu bolos pelajaran terakhir. Hal ini, sering kamu lakukan, jadi jangan cari alasan, yah?"

"Aku enggak bohong!" seru Windra.

"Yang bilang kamu bohong siapa? Kamu sendiri, kan?"

Kepala Hala terasa berdenyut-denyut karena harus menghadapi anak paling besar sang majikan, yang keras kepala, pandai berkilah, dan tidak mau kalah. Padahal sudah jelas-jelas, Hala tahu betul jadwal sekolah ketiga anak-anak itu dari Cacah, pengasuh sebelumnya.

Semua informasi mengenai Windra, Vinda, dan Vita, sudah menjadi hapalan di luar kepala Hala selama dua minggu terakhir. Yang membuat Hala terkejut, adalah perangai Windra yang memang luar biasa cukup berbahaya. Mau tak mau, Hala harus memperhatikan lebih ekstra untuk si sulung putra Jagapati itu. Hala harus mencari tahu, dari mana Windra mendapatkan barang-barang haram, dan dengan siapa dia bergaul sebetulnya.

Karena anak-anak yang tadi sudah kabur, mereka tidak terindikasi paham betul. Masih tahap coba-coba, yang justru pionirnya adalah Windra. Tanpa perlu diselidik, Hala sudah tahu, bahwa Windra adalah alfa di antara teman-temannya tersebut.

"Belajar, dari pukul satu siang sampai pukul empat," ulang Hala.

Windra mendesah pelan. Tidak menjawab. Sedangkan kedua adiknya hanya mengangguk-angguk patuh.

"Vita, pulang sekolah pukul sebelas. Nanti kamu harus tidur siang, dari pukul dua belas sampai pukul satu," lanjut Hala. Dia tersenyum pada gadis kecil itu. "Vita paham?"

"Iya, Tante."

"Jangan panggil 'Tante', nanti si Risty marah. Kan dia doang, yang harus dipanggil tante di sini," desis Vinda sembari menyikut bahu adiknya.

"Terus aku harus panggil apa? Orang keliatannya seumur sama tante Risty." Si kecil menatap kakak keduanya dengan wajah sebal.

"May saja." Hala berusaha melerai pertikaian lagi, untuk ke sekian kalinya.

"May umurnya berapa?" tanya Vita.

"Berapa yah?" Hala mendadak lupa. Malah yang teringat umurnya sendiri, yang baru menginjak 35 tahun satu minggu lalu.

"Masa lupa sama umur sendiri? Memang enggak pernah ulang tahun?" Vita bertanya dengan polosnya. "Kalau aku lima tahun."

"Saya 28 tahun," jawab Hala.

"Tuh kan, lebih tua May. Tante Risty baru 27 tahun," seloroh Vita dia melirik pada kedua kakaknya. "Kan minggu lalu tante Risty ulang tahun ke 27, waktu kita makan-makan itu loh."

"Enggak penting bahas perempuan itu," balas Windra sinis.

"Maaf, kalau boleh saya tahu, siapa tante Risty, ya?" tanya Hala.

Selama dia melihat sekilas foto-foto di rumah itu, tidak ada sosok yang dimaksud oleh anak-anak Jagapati. Apalagi umurnya 27 tahun. Karena di foto keluarga, hanya ada mereka berlima. Jagapati, Priska, dan ketiga putra-putri mereka. Seingat Hala, Jagapati mapun Priska, tidak punya kerabat bernama Risty.

Jagapati adalah anak tunggal. Sedangkan Priska dua bersaudara, dia memiliki seorang kakak lelaki, yang Hala saja tidak tahu nasibnya seperti apa sekarang.

"Risty itu sekretarisnya bunda," jawab Vinda.

Hala mengangguk-angguk.

"Pacarnya ayah," tambah Vinda.

Windra menatap pada adik-adiknya dengan kesal. Namun keduanya seolah tidak peduli dengan sikap defensif sang kakak.

"Pacar ayah?" Hala tersentak kaget mendengarnya. "Kalian kalau bicara jangan begitu."

"Memang betul kok." Vinda menjawab dengan santai.

"Udah, diem!" peringat Windra.

"Kenapa? Orang gara-gara Risty, bunda sekarang sakit. Kita aja enggak tahu bunda di mana, dirawat di rumah sakit mana. Mau ketemu juga enggak boleh," balas Vinda sengit.

Hala menatap ketiga anak-anak itu bergantian, ada hal yang tidak diceritakan oleh Cacah. Apalagi masalah ini. Dan begitu saja terlewatkan oleh Hala.

"Vita kangen sama bunda," tutur Vita sedih.

"Memangnya ibu kalian sakit apa?"

Vinda terkekeh pelan. "Coba aja May tanya sama si Risty. Dia apain bunda kita. Udah satu tahun bunda sakit, sekarang dia malah tinggal di sini."

"Vinda, udah! Stop!" bentak Windra. "Kalau kedenger sama bapak atau tante Risty nanti habis kita semua."

Vinda menatap kesal pada Windra. "Aku enggak takut. Kalau ayah mau buang aku, biarin aja. Aku juga enggak mau diem di rumah ini. Malesin."

"Anak-anak, udah yah?" potong Hala.

Melihat kedua anak lelaki bertengkar, sebetulnya tidak jadi masalah bagi Hala. Paling mereka hanya baku hantam. Namun, atensi Hala justru beralih pada Vita yang mendadak murung. Hala menghampiri Vita dan berjongkok di depan gadis kecil itu, yang tertunduk lesu dengan mata berkaca-kaca. Dengan hati-hati Hala memegangi kedua tangan Vita.

"Nanti kita ketemu bunda. May janji. Oke?" ucap Hala lirih.

Vita hanya mengangguk lemah.

HALO, MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang