2. BINIMU
Ayam jantan berkokok lantang dengan dada membusung jumawa. Kedua sayapnya mengepak di tengah fajar yang tengah menyingsing pada garis cakrawala.
Pagi tersenyum hangat di desa Tambak Kurihing. Motor jadul serta sepeda jengki para petani lalu lalang melintasi jalan dengan roda berdebu. Anak-anak sekolah melangkah beriringan dengan seragam merah putih yang telah kusam. Punggung-punggung duduk bersisian pada bangku panjang warung kopi simpang jalan.
"Saudaraku seiman rahimakumullah. Dalam Al-Qur'an Allah tidak memuji orang yang di mesjid terus, yang baca Qur'an terus, yang dzikir terus. Tidak!
Tapi Allah memuji orang yang berdagang, orang yang bekerja, yang bertransaksi, tetapi jika datang panggilan azan, dia segera sholat...."
Rekaman ceramah yang kerap diputar ulang itu menggema dari toa Langgar desa. Suaranya bisa terdengar jelas oleh pemuda jangkung yang tengah melangkah gontai di belakang segerombolan kambing. Wajah yang terlihat kuyu, menekan perut tipis. Mulut menggerutu pelan pada kambing-kambing nakal yang begitu susah diatur.
"Bungul, jangan kau bebelok ke kebun orang!" pekiknya tertahan, lalu berlari kecil mengejar anak kambing yang melompat-lompat memisahkan diri masuk ke kebun ubi jalar milik warga.
"Embeeek...." Si anak kambing usil menginjak daun-daun ranum yang menghijau.
"Waluh bajarang, terkutuk kau!" umpatnya gugup, menoleh sekitar. Alamat bakal mengganti tanaman yang rusak.
Anak kambing makin menjadi, terus berlari-lari bahagia di antara pucuk ubi jalar. Seolah dia menemukan sebuah surga penuh makanan lezat.
"Heh, Kemari kau! Mamakmu selingkuh sama kelinci kah? Pintar benar kau melompat." Semakin gemas Ali, mendapati anak kambing sangat gesit berkelit saat akan ditangkap. Tersengal napas Ali dibuatnya.
Hup!
Setelah perjuangan hebat, berhasil juga dia mendapatkan anak kambing pembuat onar itu. Sambil bersungut-sungut Ali menyeretnya keluar dari kebun ubi.
Tiiin! Tiiinn!!!
Bunyi panjang klakson mobil terdengar tak sabar.
Sebuah mobil pickup L300 penuh muatan buah semangka terpaksa menghentikan lajunya. Sekawanan kambing telah memonopoli jalanan. Pengemudi mobil melongokkan kepala. Rautnya tampak gusar.
Sambil terus membunyikan klakson, diteriakinya si penggembala agar kambing-kambing tak tahu aturan segera menyingkir. Terengah-engah Ali berlari ke barisan depan hewan ternak. Tampak kepayahan saat menghalau, membuka jalan supaya mobil bisa melanjutkan perjalanan.
"Maaf, Mang, maaf," ucapnya berkali-kali pada si pengemudi.
Manik hitam lelaki itu memindai pemuda kurus di hadapan dari atas ke bawah. Tatapan garang berangsur lunak melihat raut lelah si penggembala yang berkulit gelap, akibat diguyur panas matahari setiap hari.
Tubuh kurus dekil tampak telah bersimbah keringat. Rambut tumbuh memanjang tak terurus, melewati telinga. Kaus kuning pudar berlogo sabun cuci itu penuh bintik hitam jamur. Celana jeans buntung dengan benang-benang mencuat. Sendal jepit beda warna, beda ukuran pula, alasnya hampir habis.
"Tunggu sebentar!" ujar pengemudi pickup, membuka laci dasboard mobil. Di dalamnya tampak kepingan uang logam bercampur aduk dengan sisir kecil, odol, sabun mandi, tusuk gigi dan lain sebagainya.
"Ini ambil!" Beberapa uang logam persediaan untuk bayar parkir, disodorkannya.
"Kenapa?" ujarnya lagi, melihat pemuda penggembala hanya diam terpaku memandangi tangannya.
"Saya bukan pengemis," ucap Ali dengan suara serta mimik yang datar. Perlakuan orang ini sangat menohok perasaan.
"Halah, miskin-miskin sombong kau! Mukamu itu macam orang tak makan seminggu. Cepatlah ambil!" ujarnya lagi setengah membentak.
Pemuda itu menyeringai. Tanpa banyak kata dia berlalu pergi menyusul kambing-kambing. Membiarkan si supir terus merutuk kesal, merasa maksud baiknya tidak dihargai.
Tiba dekat bibir sungai, Ali berhenti menghalau ternaknya. Tempat lapang itu cukup jauh dari kebun milik warga. Kambing-kambing mulai memamah rerumputan. Sembari mengunyah mereka tak henti mengembik ribut. Kecewa mendapati rumput musim kemarau yang tidak sesegar biasa. Warnanya kekuningan, dikunyah pun alot, sama sekali tidak enak.
"Mengeluh saja kau semua. Masih untung bisa merumput. Tugas kalian cuma makan sampai kenyang, tak ada lagi selain itu," omel Ali, yang berdiri di antara kambing.
Dia lalu memilih tempat berteduh di bawah pohon Binjai yang rindang. Menyandarkan punggung sembari mengawasi kambing-kambing milik Haji Ahim.
Krucuk ....
Perut yang kosong berbunyi untuk kesekian kali.
Pemuda itu menghela napas berat, Haji Ahim--pemilik kambing yang dia gembalakan tak pernah peduli pada orang yang bekerja padanya. Jangankan menawarkan sarapan, sekedar air putih sekalipun tak pernah keluar dari pintu rumah beton itu, setiap Ali mengambil kambing-kambing dari kandang.
Upah yang diberikan hanya cukup buat makan seminggu. Sisanya harus kuat menahan lapar. Ali sudah berhenti merokok, mabuk, apalagi berjudi. Selain tak mampu, dia pun sudah lelah menjalaninya.
Sejak memilih keluar dari rumah Uwak, hidup Ali terlunta-lunta. Sebelumnya dari makan hingga uang jajan semua ditanggung oleh saudara lelaki ibunya itu. Meski kata Uwak, Ali punya hak karena kedua orang tuanya masih rutin mengirimkan uang. Tapi, sekarang Ali menolak mentah-mentah semua itu. Dia tidak mau lagi menggantungkan hidup pada siapa pun, termasuk pada orang yang bergelar Abah juga Mamak.
Kehidupan sedang menempa anak manusia satu ini. Layaknya seorang musafir, Ali numpang tidur dari satu pondok kebun ke pondok kebun lainnya, kadang ikut begadang di pos ronda. Berharap dapat kopi, syukur-syukur ada yang membagi makanan. Ali pun sudah malas berkumpul dengan teman-teman sesama preman kampung.
Berbaring berbantal kedua lengan, matanya menerawang menatap langit yang silau kekuningan.
"Kapan Kau putar roda dunia biar giliranku yang di atas, hah? Bosan dah aku jadi remahan sampah macam ni," gumamnya pada pemilik langit, lalu tersenyum miring. "Mana mungkin Kau peduli padaku. Sholat pun aku tak pernah. Ahh, persetan Kau!"
Angin berembus lembut menggugurkan daun-daun ke wajah manis pemuda itu. Suara kambing yang ramai bersenda gurau kian samar di telinga Ali, sebelum kemudian mata itu terpejam rapat, lalu mulutnya mulai mengeluarkan dengkuran halus.
Klotak... klotakk....
Bunyi benda saling beradu, seiring aroma masakan sedap yang mengusik indera penciuman.
Kening Ali mengernyit. Pelan dia bangkit duduk, menyadari sudah berada di tempat yang berbeda. Dengan mata memicing dipindainya ruangan itu. Bukankah tadi dia tidur di bawah pohon Binjai? Sekarang tiba-tiba sudah berada di atas sebuah dipan kayu dikelilingi dinding putih.
"Sudah bangun, Kak Ali?" sapa suara lembut dari belakang.
Semakin bingung Ali saat menoleh. Dilihatnya seorang perempuan bergaun putih kedodoran, serta surai panjang tergerai, berdiri membelakangi. Kedua lengannya tampak sibuk bergerak memainkan spatula dalam wajan. Agaknya dia sedang memasak sesuatu. Bunyi spatula membentur dinding wajan itulah yang berhasil membangunkan Ali.
"Ini, ini di mana? Kamu siapa?" tanya Ali.
"Nasi goreng merahnya sudah siap, Kakak." Perempuan berambut panjang hingga menutupi seluruh punggung itu pelan memutar tubuhnya. Wajah yang lumayan cantik, tapi pucat sekali.
"Sarapan, Kak!" Disodorkan ke depan wajah Ali sebuah piring yang penuh nasi goreng berwarna merah, lengkap dengan suiran daging ayam, irisan telur, timun, serta kerupuk. Bau sedapnya sangat menggoda.
"Buat aku nasi gorengnya?" Ali menunjuk dadanya sendiri.
"Hum, iyalah buat Kakak. Buat siapa lagi?" Dia tersenyum lebar. Bibir yang pucat itu tampak mengelupas dan pecah-pecah.
"Tapi, kau siapa? Ini di mana?"
"Astaga! Aku ini kan binimu!"
"Apah?!" Ali tersentak kaget, mulutnya membulat.
********************************
KAMU SEDANG MEMBACA
SILUMAN PENGGODA
HorrorSiluman betina itu siap meruntuhkan iman lelaki yang datang ke sana. Sekuel SUSUR Baca SUSUR dulu sebelum ini Sudah tamat di aplikasi Joylada