6. RUMAH DI TENGAH KEBUN

487 60 12
                                    

6. RUMAH DI TENGAH KEBUN

Bising mesin sebuah kapal kelotok menyibak ketenangan anak sungai yang diapit hutan. Ruas sungai kini mulai menyempit serta berbelok-belok. Langit yang tadinya melotot garang perlahan redup kekuningan.

Daun-daun lebar Nipah gemersik melambai dicandai angin senja. Senandung Owa-owa Kelempiaw terdengar sahut-menyahut. Tubuh-tubuh berbulu gelap hewan primata yang terancam punah itu terlihat bergelantungan pada cabang tinggi pohon Ara.

Bersama beberapa penumpang yang tersisa, Ali dan Ipan duduk bersisian di atas kapal kelotok. Raut kedua pemuda itu tampak lelah setelah perjalanan panjang yang memakan waktu sehari semalam. Pemandangan di sisi kiri dan kanan sungai tampak menghijau. Sebagian hutan yang berbukit-bukit banyak yang telah berganti dengan kelapa sawit.

Dua hari mereka tak berdaya dalam ruang tahanan yang horor. Bernapas di ruang sempit bau pesing tanpa jendela. Dua malam pula mereka tak bisa tidur, hingga muka sembab berkantung mata. Jin qorin yang tinggal di kamar kecil tahanan berhasil membuat kapok kembali ke sana.

Pantas saja ruang itu luar biasa pesing. Tahanan hanya berani ke kamar kecil di siang hari, itu pun bila terpaksa. Sepanjang malam terdengar bunyi-bunyian aneh dari dalamnya. Air mengucur, gayung dilempar, suara tangisan. Satu tahanan, yang masih tertinggal di situ hanya bisa menatap sedih mengetahui Ipan dan Ali dibebaskan. "Deritamu," ucap Ipan sebelum mereka berpisah.

Nasib baik masih berpihak pada dua pemuda kampung. Hari ketiga ditahan, Pak Burhan beserta isterinya tiba-tiba datang ke kantor polisi. Melegakan, ternyata mereka bersedia mencabut laporan agar Ipan dan Ali segera dikeluarkan dari sel. Namun, dengan satu syarat, dua pemuda itu harus mau bekerja pada mereka, minimal sampai semua kerugian yang diakibatkan tertutupi.

Bukan pekerjaan berat yang Pak Burhan berikan. Tugas keduanya cuma menjaga dan merawat sebuah rumah serta tanah milik keluarga. Hanya saja tempatnya jauh lagi terpencil. Tentu saja tawaran itu tidak mungkin ditolak. Tak ada pilihan yang lebih baik, dari pada berlama-lama dalam ruang tahanan berhantu. Ipan dan Ali kompak mengiyakan permintaan suami isteri itu.

Mereka harus berangkat sendiri hanya berbekal alamat dan sekarang hampir sampai ke tempat tujuan. Dermaga kecil berupa titian kayu sudah terlihat di antara rimbun batang Perumpung. Kelotok yang mereka tumpangi kemudian menepi. Tersisa tiga orang di atas kelotok. Ipan dan Ali menjadi penumpang terakhir.

"Nah, yang ini tanah Pak Burhan. Naik saja ke atas, ikuti jalan setapak yang melewati hutan bambu! Kalau kau berdua bertemu rumah panggung besar dan panjang dikelilingi banyak pohon kelapa, itulah rumah Beliau. Setahuku sudah ada dua orang yang dipekerjakan untuk merawat lahan," terang lelaki paruh baya -- pemilik kelotok, menunjuk ke atas tebing sungai yang cukup tinggi. Dari bawah terlihat hanya berupa semak dan pepohonan.

Bukan sekedar mengantar penumpang, dia juga berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi pendatang baru seperti Ali dan Ipan. Hampir semua penduduk asli di tempat itu kenal baik dengannya, termasuk Pak Burhan yang memilki lahan seluas puluhan hektar, warisan keluarga turun temurun.

"Terima kasih bantuannya, Paman," ucap Ali, memasang tergesa tali tas punggung pada bahu.

"Jauh kah dari sungai ni rumahnya, Paman?" tanya Ipan. Sedikit was-was menyadari sebentar lagi langit akan gelap.

"Tak jauh, Nang. Jangan kuatir, tak bakal jua kau bedua tesesat ke Malasia,"'sahutnya terkekeh.

Ipan tersenyum mahfum. Ali ikut terkekeh, lucu juga si Mamang kelotok. Apa yang dia katakan tidak mustahil terjadi. Perbatasan dengan Malaysia tak terlalu jauh dari sana. Keduanya lalu membayar ongkos sebelum melompat ke luar.

"Hati-hati, perhatikan langkah kalian, tempat ni banyak ular, buaya pun kerap muncul, kadang ada macan dahan," pesan lelaki paruh baya itu lagi, dengan mimik serius, sebelum kembali menghidupkan mesin kelotoknya.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang