3. SALAH SASARAN

772 67 20
                                    

3. SALAH SASARAN

"Tidak mungkin, aku tak pernah kawini perempuan mana pun. Melihatmu pun baru sekarang," tegas Ali, menyipitkan matanya pada si perempuan asing.

"Ish, baru tidur sebentar, sudah ngelindur, hihi..." Perempuan itu terkikik. "Sebaiknya makan dulu, Kak! Habis makan pasti ingat lagi, hmm...," bujuknya. menyodorkan nasi goreng yang masih mengepulkan asap.

Ali menelan saliva. Penampakan nasi goreng itu memang sangat menggugah selera. Apalagi perut yang kosong saat ini sudah terasa melilit. Masa bodo kalau pun ini hanya mimpi. Diterima Ali juga makanan dari perempuan asing. Tak sabar disendok nasi menuju mulutnya.

"Kau baik-baik saja kah?" tanya Ali, tiba-tiba dia gagal fokus.

"Apanya?"

"Hidungmu bedarah."

"Iya kah?" Si perempuan sedikit gelagapan, menyapu hidung dengan lengan bajunya. "Bukan apa-apa. Aku sudah biasa mimisan seperti ini. Tak perlu khawatir, lanjutkan makan Kak Ali, nanti nasi gorengnya keburu dingin," ujarnya dengan lengan baju yang telah belepotan noda merah. Darah segar masih meleleh dari kedua lubang hidungnya.

Ali tertegun sejenak. Dorongan lapar mengabaikan rasa jijik pada perempuan aneh. Tangannya menyuap lagi. Namun, sebuah suara sangat mengejutkan.

"Embeeek!"

"Waluh bajarang! Kenapa suaramu seperti kambing?!" Ali terperanjat kaget. Nasi dalam sendoknya sampai berjatuhan ke lantai.

"Bukan suaraku, Kak!" sentalnya, tersenyum cemas.

"Lalu suara siapa? Tak ada orang lain di sini selain kita."

"Entahlah." Si perempuan mengendikkan bahu.

Ali menepis keheranannya. Sudah ngiler berat pada bau sedap nasi goreng. Dilanjutkan acara makannya. Menyendok nasi, mulut kembali menganga lebar. Tapi, sendok malah semakin menjauh dari mulut. Rambut terasa dijambak dari belakang.

"Aduh! Apa pula ini?!" Ali meringis kesakitan.

"Embeeek!" Suara kambing terdengar semakin keras di telinga Ali.

Jleb....

Mendadak semua berubah buram oleh sebuah sinar terang menyilaukan mata. Ali sudah kembali ke tempat semula. Di bawah pohon Binjai yang teduh. Tapi, rambutnya masih dijambak-jambak.

"Embeeek!" Seekor anak kambing sedang mengunyah rambut Ali layaknya rumput.

"Waluh bejarang, terkutuk kau!" pekik Ali, begitu tersadar.

"Dalam mimpi pun, kau bikin ulah. Gara-gara kau aku gagal merasakan enaknya nasi goreng." Mata Ali melotot-lotot, menunjuki raut tak bersalah si anak kambing.

"Embeeek!"

"Kemari kau, kusate kau!" teriak Ali lagi, sembari memburu anak kambing yang lari menjerit-jerit memanggil ibunya, bersembunyi di antara kambing dewasa.

"Kak Ali!" Ada yang memanggil.

Ali menghentikan usahanya dari menangkap anak kambing. Napas terengah-engah menatap jauh pada seorang anak lelaki yang muncul dari belokan.

Netra Ali memindai penampilan rapi si bocah. Tubuh mungil Mamat terbungkus baju Koko serta sarung kurung, lengkap dengan peci putih yang tampak kebesaran pada kepalanya.

"Ngapain kau ke sini, Mat? Tak sekolah kah?" tanyanya mengusap kepala yang sedikit pening.

"Baru pulang sekolah. Kan hari Jumat, pulang cepat. Sebelum ke masjid Mamat disuruh Ninik mengantar ini buat Kakak," terang Mamat mengangkat sebuah kresek hitam sejajar wajahnya.

SILUMAN PENGGODA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang