▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya~~~
Bagas mendongak dari dari dokumen yang sedang diperiksanya saat terdengar ketukan di pintu. Pria itu mempersilakan siapa pun di balik pintu tersebut untuk masuk ke ruangan. Dia melihat Veni dan Alesha yang masuk lalu meminta mereka untuk duduk di sofa tamu. Pria yang mengenakan setelan jas cokelat itu mengangkat sebelah tangan ketika Veni hendak bicara. Dia menyelesaikan memeriksa dokumen lalu membubuhkan tanda tangan di halaman terakhir. Barulah setelah itu, dia berdiri dan menghampiri dua wanita yang datang ke ruangannya itu.
"Alesha, ini dokumennya udah saya tanda tangani." Bagas menyerahkan dokumen yang dibawanya kepada Alesha.
"Baik, Pak. Nanti saya berikan sama divisi quality control."
"Sekarang kamu udah siap mau liat-liat kosan, Ven?" tanya Bagas sambil menoleh ke arah Veni yang duduk di samping Alesha.
"Boleh. Aku juga udah free, kok."
"Kalo gitu saya permisi kembali ke meja, Pak."
Alesha berdiri membawa dokumen tersebut hendak meninggalkan ruangan bosnya. Namun, panggilan Bagas membuatnya menoleh kembali.
"Kamu ikut saya, Alesha. Udah nggak ada kerjaan yang mendesak, kan? Saya butuh kamu buat nilai kos-kosannya nanti."
Alesha berkedip dua kali. "Harus banget saya ikut, Pak? Saya rasa selera Veni juga lebih oke daripada saya. Jadi, dia pasti bisa nilai tempat tinggal yang nyaman untuk dirinya sendiri. Lagian, saya masih ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan hari ini, Pak."
"Kamu mau nolak perintah saya? Kerjaan yang itu besok aja kamu selesaikan. Saya juga masih nggak buru-buru, kok."
"Baik, Pak. Kalo gitu saya serahkan dokumen ini dulu sama bagian quality control." Alesha mengangkat dokumen yang dimaksud lalu keluar dari ruangan itu.
Kini, di ruangan tersebut tinggal Bagas dan Veni. Pria itu kembali ke meja kerjanya untuk mengambil ponsel dan mematikan komputer, sementara Veni berdiri dan memperhatikan seluruh ruangan Bagas.
"Wah, nggak nyangka, ya. Kak Bagas sekarang udah jadi pimpinan sebuah perusahaan besar. Padahal, dulu Kak Bagas itu orangnya pendiem. Nggak banyak omong."
"Yah, semua ini juga aku dapet berkat kebaikan keluargamu, kan? Kalo nggak ada Om Dodi, aku nggak tau bakal jadi apa aku sekarang."
"Udah berapa lama kita nggak ketemu, ya, Kak? Terakhir aku inget banget Kak Bagas itu masih kuliah dan milih untuk keluar dari rumah karena mau mandiri."
"Dan kamu waktu itu masih SMP kalo nggak salah. Udah enam atau tujuh tahunan, ya?"
"Iya, bener banget. Dan aku masih inget banget kata-kata Kak Bagas yang ngatain aku 'cewek centil'. Itu aku nggak terima banget sampek ngambek dan nggak mau ngomong sama Kakak beberapa hari."
Bagas tertawa mengingat kejadian itu. "Tapi, bener, kan? Kamu emang centil banget waktu itu. Masak anak SMP godain temen-temen kuliahku."
Veni bersedekap sambil memajukan bibir. Kejadian beberapa tahun lalu itu benar-benar membuatnya malu karena Bagas mengatainya langsung di depan teman-teman kuliah pria itu.
Bagas berjalan memutari meja lalu mengusap lembut kepala Veni. "Sori, deh. Kejadiannya juga udah lewat lama banget. Mending sekarang kita berangkat buat liat kosan?"
Veni mendengkus lalu menggandeng lengan Bagas. "Untung aja Kak Bagas tetep sedep dipandang, ya. Dan tentunya masih tetep baik sama aku."
Bagas hanya menggeleng sambil tersenyum menanggapi ucapan wanita yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri itu. Kemudian, mereka keluar dari ruangan dengan Veni tetap menggandeng lengan Bagas. Tepat di depan ruangan, seorang wanita dari divisi keuangan menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Secretary [TAMAT] - SEGERA TERBIT
RomanceTidak selamanya menjadi putri tunggal dari orang tua kaya raya membuat hidup seseorang bahagia. Alesha Kinan Wijaya justru memilih pergi dari rumah dan hidup mandiri karena menolak untuk dijodohkan dengan putra dari sahabat ayahnya. Wanita manja dan...