Jiwa pria

121 4 0
                                    

Rupanya bisnis pembuatan pakaian yang Sekar lakoni tidak berjalan mulus. Kini setelah kain koleksi istimewanya habis dipakai untuk membuat pakaian, Sekar dilanda kebingungan.


Awal mula mulai berjualan, Sekar tidak memikirkan kondisi pemasukan materi bahan dan kini dia kelimpungan.





"Bi, apa kita beli saja kain di toko kain?" tanya Sekar pada Aulia.







"Kualitas kain di toko sini tidak sama dengan punyamu, Kar. Kain milikmu dibeli di mana?" Tanya Aulia.





"Nitip beli saat mami pergi jalan-jalan, Bi. Kadang aku nitip kakak beli juga. Mereka suka berwisata," ungkap Sekar membocorkan asal usul kain koleksinya.





"Kita coba cari di sekitar pasar Senen, Jatinegara, dan Tanah Abang dulu. Barangkali ada yang mirip kain-kain punyamu. Kalau toko kain di sekitar sini, kualitas kainnya jelek."





"Aku coba minta bantuan Kak Santi dan Kak Sandra dulu. Sementara kita cari di tempat yang tadi bibi usulkan saja."




Aulia mengangguk setuju dengan senyum tipis di bibir. Melihat persetujuan bibinya, Sekar segera mengirim pesan untuk kedua kakak perempuannya. Isi pesannya sangat sederhana, yakni meminta tolong untuk mencari kain bermotif batik saat mereka pergi jalan-jalan.

--------

"Dek, kamu mau nitip kain atau minta oleh-oleh," ucap Santi begitu Sekar mengangkat panggilan masuk di ponselnya.



"Nitip kain, Kak. Tolong cariin motif yang bagus dan unik ya," sahut Sekar cukup terkejut Santi menghubunginya langsung setelah pesan singkatnya terkirim.





"Beli kainnya kan tidak gratis, Dek. Kamu ada uang buat bayar kain yang kakak beli?"





'Ya ampun, ternyata kak Santi meneleponku cuma karena masalah uang.' Sekar menepuk pelan keningnya.





"Nanti Sekar ganti ya Kak. Sekar lagi cari uang untuk sesuap nasi. Tolong dibantu ya," pinta Sekar bersuara memelas.




"Ngaco kamu. Memangnya siapa yang suruh kamu kerja di saat kamu harusnya sekolah. Mami kan kirim uang rutin buat kamu lewat bibi."





'Aduh, pakai tanya segala buat apa cari uang. Bibi juga nggak kasih uang saku lebih untukku.'



Jika uang jajan lima ribu rupiah cukup untuk anak SMA, pastinya Sekar tidak perlu hidup berhemat.




"Ya memang. Tapi jumlah uang kiriman mami berkurang dari nominal uang jajan aku," protes Sekar.




"Mintalah sama mami. Jangan minta sama papi. Papi nggak akan peduli sama kita."





"Bisa kan Kak Santi talangin dulu uang pembelanjaan kain. Nanti aku ganti," pinta Sekar enggan membahas papinya. Dalam hatinya, Sekar masih menyimpan rasa kesal pada keputusan papinya.



Hening sesaat tidak ada yang bersuara.




"Maaf Dek. Kakak juga lagi sepi job. Biaya liburan kakak kali ini juga dibayarin sama teman kakak."




'Teman dari mana. Situ kan simpanan suami orang,' kutuk Sekar.




Pantang bagi Sekar untuk mengemis rasa iba meskipun dia sangat butuh bantuan Santi.


"Jadi Kak Santi tidak mau bantu aku?" Tegas Sekar.




"Maaf ya Dek. Belum bisa bantu kamu. Kuliah kakak juga berantakan dan papi sudah lama nggak kasih kakak uang saku. Kamu tahu sendiri biaya hidup kakak sangat besar."




"Aku turut prihatin dengan nasib keuangan Kakak. Beruntungnya kakak punya teman-teman yang baik hati sampai bersedia bayarin jiwa sosialita kakak. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Lain kali kalau nolak bantu, terus terang saja."

Klik

Sekar mengakhiri panggilan masuk dari Santi.



------

"Mas, antarin adikmu cari kain keliling pasar ya. Mama masih harus rampungin pekerjaan jahitan," pinta Aulia saat melihat putranya keluar dari kamar mandi di hari Kamis sore itu.




"Keliling pasar? pasti lama. Gus tidak bersedia. Dia bukan anak kecil lagi dan dia bisa pergi cari sendiri," tolak Gus.



Wajah Aulia tertekuk masam mendengar penolakan Gus tanpa berpikir dulu.





"Bantu dia, Gus. Sekar cari kain juga buat bantu kita cicil utang papamu."




Wajah Gus tampak melongo bingung.





"Apa hubungannya kain dengan membantu utang papa. Dia hanya memanfaatkan mama untuk menghasilkan uang." Lagi-lagi pikiran negatif Gus yang mendominasi.



"Hush, kamu jangan bicara sembarangan. Kita mesti banyak terima kasih sama Sekar kalau bukan karena kain darinya, kita mana mungkin bisa makan enak selama bulan-bulan terakhir. Itu uang dari penjualan pakaian rancangan Sekar," protes Aulia.






Gus menggeleng menampik ucapan Aulia.





"Dia pasti mencontek dari majalah," sanggah Gus menolak percaya.






"Aku paling pantang menyontek," balas Sekar sewot.




Masih dengan handuk merah melilit tubuhnya, rambut basah, dan wajah marah, Sekar berjalan melewati ruang tengah di mana Gus dan Aulia tengah berbincang.



Gus menganga melihat pemandangan Sekar berbalut handuk hingga kelihatan seksi. Jiwa prianya tidak mati meski dia tidak tertarik pada perempuan mana pun selama hidupnya.







"Aduh Gus. Jaga mata dan hawa nafsumu. Dia masih adikmu. Mama kira kamu memang tidak tertarik wanita sama sekali dan ternyata prasangka buruk mama salah. Hehehe. Ternyata kamu masih tertarik pada wanita. Memang sudah waktunya kamu cari pendamping hidup, Gus. Ingat umur."








"Mama, Gus belum setua itu. Menikah bukan soal usia. Gus baru bisa memikirkan pasangan bila Gus sudah menyelesaikan seluruh hutang papa."






"Hutang papa jangan kamu jadikan alasan, Gus. Kamu pikirkan baik-baik saran mama. Cari istri. Kalau urusan mengantar Sekar tidak perlu kamu pikirkan. Kamu harus antar Sekar mencari kain. Mama tidak mau menerima alasan penolakan," ucap Aulia tegas tak menerima bantahan.






"Iya Ma."




-------





























Simpanan Ipar (SERIES BASTARD MEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang