He's Not Real

0 0 0
                                    

Selain karena meredam suara dunia, alasan lain kenapa aku bisa begitu jatuh cinta pada hujan adalah karena hujan seringkali menemaniku di saat aku jatuh dan terluka ataupun disaat aku lemah seperti sekarang. Hujan meredam suara tangis ku, meredam jeritan permintaan tolong ku, sehingga aku bisa puas menangis dan meminta tolong tanpa seseorang harus mendengarnya. Jadi, jika harus mati di bawah hujan pun, aku akan mati dengan bersukacita.

Jalanan sore di jam pulang kerja, kendaraan masih berlalu lalang. Genangan air di aspal yang di lewati kendaraan-kendaraan di sisi dekat trotoar mengenai tubuh ku yang berjalan sambil memegang payung berwarna merah namun tubuh ku tetap basah kuyup. Aku ingin mengumpati orang-orang itu, tapi tenaga ku habis bahkan jika hanya untuk membuka mulut. Aku tidak tahu seberapa jauh aku berjalan tapi kaki ku mulai mati rasa karena air merembes ke dalam sepatu ku membuat kaki ku kedinginan. Angin juga ikut membantu membuat kulit ku merinding walaupun aku mengenakan kaos dan celana panjang.

Selama berjalan itu, kaki ku berhenti melangkah ketika aku melihat ke bawah dan darah jatuh ke trotoar kemudian hanyut oleh air. Aku memegang hidung ku, darah itu berasal dari sana. Aku mimisan. Dan aku ingin mengumpat sekali lagi. Tapi aku tetap tidak melakukannya karena tenaga ku semakin lemah sampai membuat ku pusing dan terjatuh. Payung yang aku pegang terbang entah kemana. Sekarang semuanya benar-benar basah kuyup. Penglihatan ku mulai kabur. Tadinya aku kira itu karena air hujan yang menghalangi penglihatan ku, tapi aku salah karena selanjutnya penglihatan ku menjadi gelap. Aku pingsan.

Ketika aku membuka mata, yang aku lihat adalah beberapa lukisan yang terpajang di dinding dengan tulisan-tulisan di bawahnya yang menjelaskan sedikit lukisan itu. Aku berjalan ke lukisan pertama, lukisan itu menggambarkan seorang anak perempuan yang tubuhnya di lilit oleh tali berwarna hitam yang ujung tali nya di pegang oleh seorang pria tua yang sedang memeluk seorang wanita yang lebih muda darinya. Dan bayangan yang menyerupai anak perempuan itu, yang dilukis dengan warna gelap, berdiri di tengah dengan gunting yang memutuskan tali antara anak perempuan dan pria tua itu.

Tulisan di bawah lukisan itu mengatakan "Ayah meninggalkan ku".

Aku beralih ke lukisan selanjutnya. Lukisan seorang anak kecil yang sedang berhadapan dengan seorang wanita muda cantik yang tersenyum sambil memberikan sebuah pisau pada anak perempuan itu. Wanita itu sangat cantik, senyumannya menggambarkan ketulusan yang sebenarnya dia gunakan untuk memanipulasi anak perempuan di depannya agar anak itu mati. Dan di belakang wanita itu, bayangan anak perempuan memegang pistol yang dia arahkan pada kepala wanita itu.

Tulisan di bawah lukisan itu adalah "Kakak yang ingin aku mati".

Sebelum aku berjalan untuk melihat lukisan selanjutnya, seseorang dengan jubah hitam yang menutupi wajahnya berdiri di belakang ku.

"Dasar pembohong! Kau penipu!" Ketika aku berbalik, sosok itu mencekik leher ku dan mendorongku sampai ke dinding. Aku tetap tidak bisa melihat wajahnya, namun suaranya terdengar seperti seorang pria.

Ketika aku benar-benar hampir mati di cekik oleh orang itu, orang itu menghilang. Selanjutnya yang aku dengar adalah sebuah tangisan seorang ibu. Ibu-ibu itu menggunakan jubah yang sama, aku tetap tidak bisa melihat wajahnya. Dia menangis di bawah kaki ku, memegangnya sambil berteriak bertanya kenapa aku begitu tidak berguna.

Kemudian dia diam sebentar, tapi cengkraman nya pada kaki ku semakin kuat. Aku tidak bisa berlari atau melakukan apapun karena kedua tangan ku di ikat dari tali yang keluar dari dinding di belakang ku.

"Bukankah seharusnya lebih baik kalau kamu mati?" Ibu itu berkata dengan pelan sambil menengadah kepadaku, namun mata nya tertutup kepala jubah. Aku tetap tidak tahu siapa dia, yang aku tahu adalah dia tersenyum ketika mengatakan kalimat itu.

Dan kemudian sesuatu yang rasanya benar-benar hampir membunuhnya dengan rasa sakit yang lebih sakit dari tangan sosok pria yang mencekik leher ku adalah, semua tokoh dalam lukisan itu keluar. Mereka beramai-ramai meminta ku untuk mati, mencemooh ku, dan memaki ku. Aku menangis, telinga ku mulai terasa sakit dan berdenging.

Diantara tokoh-tokoh yang keluar dari lukisan-lukisan itu, ada sebuah tokoh yang berdiam diri ditengah-tengah menatap ku dengan mata hitam pekat nya. Seluruh tubuhnya berwarna gelap, itu adalah gambar bayangan anak kecil itu. Bayangan yang menolong anak perempuan itu.

Aku menatap matanya dan bergumam pelan pada bayangan itu "Tolong selamatkan aku". Bayangan itu tidak menatapku lebih tajam dari sebelumnya. Meski tidak bersuara, aku bisa membaca bibirnya yang berkata "Kau memang sepantasnya mati. Kita harus mati"

Tentu aku masih ingin mati. Tapi aku tidak mau mati karena ingatan-ingatan dan orang-orang yang menyakitiku. Aku tau betul ini mimpi, aku tidak mau tenggelam dalam lumpur traumatis ini. Karena itu menandakan kalau aku kalah oleh mereka, aku tidak mau mengakui bahwa mereka menyakitiku. Jadi aku terus berteriak minta tolong. Kedua tanganku yang terikat berusaha aku lepas sampai terasa perih di pergelangan tangan ku.

"Jangan pergi! Tolong! Lepaskan aku!! Biarkan aku pergi!!" Aku semakin berteriak ketika bayangan itu mulai hilang dan orang-orang berjubah itu semakin dekat dengan ku bahkan meraba tubuh ku. Ini semakin menakutkan dan menjijikkan. Semakin mereka berusaha menyiksa ku, semakin aku membenci diriku karena membiarkan orang-orang itu melukai ku di masa lalu.

"Milya! Milya, bangun!"

"Bangun, Milya!"

"Milya, ini aku"

"Aku Rain"

Ketika aku hampir benar-benar menyerah pada kematian karena terjebak disini, sebuah suara terdengar. Namun suara itu masih samar-samar seperti panggilan dari jarak jauh. Namun semakin aku menajamkan telinga, suara itu semakin dekat dan semakin jelas. Itu Rain. Aku tidak suka untuk meminta pertolongan padanya, namun sekali ini saja, ego ku harus lebih mengalah. Aku membiarkan hati ku memegang kendali atas tubuh dan pikiran ku. Jadi aku bergumam agar Rain memegang tangan ku dengan keras sampai aku merasakan sakit yang sebenarnya. Bukan sakit karena terjebak disini.

Aku bangun karena Rain mengguncang bahu ku cukup keras, membuat ku membuka mata sedikit. Aku terbaring di kasur di kamar ku. Rain duduk di samping ku dengan menggenggam tangan ku. Lebih tepatnya aku yang menggenggam tangannya.

Sedetik kemudian, aku menangis. Aku terisak pelan dan bibir ku bergetar. Aku teringat mimpi tadi, dan rasa sakit yang aku rasakan satu menit yang lalu. Namun sekarang aku jauh lebih tenang mengetahui bahwa aku terbangun dengan seseorang di samping ku, aku tidak sendirian.

"Aku akan ambil minum di dapur" sebelum Rain bangkit, aku menahannya.

"Aku benci mengatakan ini karena ini terdengar seperti adegan di drama idola. Tapi, bisakah kamu jangan pergi? Selama beberapa menit sampai aku benar-benar lebih tenang"

"Tentu" aku tidak tahu apa penyebab dia setuju dengan cepat. Tapi dia semakin mendekatkan tubuhnya padaku dan mengusap rambut ku pelan. Perasaan ini jauh lebih hangat dari selimut yang membungkus tubuh ku.

Blue RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang