Ketika sampai di rumah, gemuruh semakin nyaring terdengar. Kilatan cahaya nya sama sekali tidak membuatku takut. Aku membuka kunci pintu dan menutupnya kemudian menguncinya kembali dari dalam. Segera aku menuju kamar yang gelap melewati ruang tamu yang terang yang aku nyalakan lampunya sebelum menuju kamar.
Sesampainya di kamar, aku mengunci pintu lagi. Melepas tas dan melonggarkan pakaian ku kemudian berbaring di kasur. Kilatan cahaya petir menembus gorden kamar ku, semakin menyala karena kamar ku yang gelap gulita. Suaranya pun semakin sering dan nyaring terdengar. Aku berbaring sambil menatap jendela. Menatap kilatan yang sesekali muncul dan membuat ruangan sedikit terlihat lebih jelas.
Diam-diam aku berdoa semoga tidak hanya petir ini yang datang, tolong turunkan hujan juga. Itu lebih baik dibandingkan hanya ada gemuruh dan kilatan petir.
Rumah ini sangat sepi. Walau mama sudah tinggal kembali disini, tapi aku tidak benar-benar merasakan kehadirannya. Aku terbiasa sendiri. Walau aku tidak menginginkannya. Aku tidak ingin terbiasa dengan kesendirian, kesepian, dan kegelapan seperti ini. Tapi begini juga lebih baik dibandingkan memiliki seseorang namun tetap merasa sendirian.
Jika diminta untuk jujur, di waktu seperti ini apakah aku ingin sendirian? Jawabannya adalah tidak. Meski tidak ada rasa takut dalam hati ku saat ini, tapi aku ingin seseorang mendampingi ku untuk hanya sekedar menggenggam tangan ku. Mungkin diriku yang lain, yang aku lupakan keberadaannya, dia merasakan takut. Tapi diriku yang sekarang menimbunnya dengan berbagai keberanian yang aku dapatkan selama beberapa tahun. Jadi rasa takut itu terkubur bersama dirinya
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Rain
Short StoryShort Story Berisi cerita pendek tentang perasaan berwarna biru. Note: cover hanya pemanis, bukan cover yang penulis buat/foto sendiri