Seorang anak perempuan setidaknya berusia enam tahun terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara bising yang dia dengar karena suara bising itu sudah ada sejak sebelum dia tertidur. Ibunya menyuruhnya untuk tidur selama dia bekerja di malam hari. Sebelum ibunya bekerja, dia selalu memastikan agar anaknya terlelap terlebih dulu. Mungkin agar tidak mencarinya ketika dia sedang bekerja. Tapi hari itu, anak itu terbangun di tengah malam. Berjalan menuruni tempat tidur, dan menuju suara bising itu. Anak itu berjalan menuju ke sana tanpa ragu, seolah-olah dia tau pasti ibunya akan ada di tempat yang ia tuju. Ya, anak itu adalah aku.
Ketika sampai di depan pintu, dia mengintip dari pintu yang terbuka lebar itu. Pintunya selalu terbuka karena beberapa teman mama akan bolak-balik mengambil sesuatu. Dengan menyembunyikan tubuh ku dan hanya menyembulkan kepala, aku melihat beberapa sofa yang diduduki beberapa pria dengan masing-masing wanita di yang mendampingi mereka. Di meja-meja nya terdapat botol dan kaleng minuman serta camilan seperti kacang dan sejenisnya yang sampahnya berserakan sampai ke lantai. Dan di balik beberapa orang itu, dari celah sofa aku dapat melihat mama yang sedang minum bersama seorang pria. Pria itu menatap mama dengan wajah mendambakan, menginginkan sesuatu, seolah-olah dia ingin merebut mama dari ku. Jadi aku langsung berlari menuju mama, memeluknya dengan erat, menghalau tatapan pria itu. Aku membencinya, aku membenci pria itu, aku benci mama ditatap seperti itu.
Setelah itu mama menggendong ku dan membawaku kembali ke kamar kemudian menyalakan TV. Mama mengatakan kalau aku harus tidur karena ini sudah larut. Tapi mama meminta maaf dan berpamitan kembali ke tempat itu sebelum aku sempat tertidur. Meninggalkan ku di atas kasur menonton TV yang menampilkan gambar lantas berwarna biru dan nama merek TV itu muncul di layar. TV nya rusak.
Aku rasa sejak hari itu tatapan dingin ku tercipta. Dalam ingatan ku, aku menatap TV itu dengan kosong sambil duduk bersila di atas kasur. Kemudian berbaring dengan masih tetap menatap TV itu. Aku ingin tidur, tapi mata ku tidak kunjung merasakan kantuk. Bahkan sampai mama kembali, mama meminta maaf karena tidak membetulkan TV nya sebelum pergi karena mama tidak menyadarinya. Benar juga, karena mama hanya menyalakan remote dan menyuruhku berbaring kemudian mengatakan beberapa kalimat dan pergi tanpa menoleh untuk memastikan apa yang ditampilkan di TV.
Mama tinggal lebih lama. Mengusap kepalaku yang berbaring di dekatnya sampai aku benar-benar terlelap bahkan dalam keadaan malam yang masih selalu berisik itu. Aku rasa itu alasan ku tidak bisa tidur jika suara di sekitar ku terlalu hening, alasan kenapa musik menjadi salah satu cara ku untuk bernafas, alasan kenapa aku bisa bertahan tanpa ponsel namun tidak bisa bertahan sehari pun tanpa musik. Malam itu, walau TV tidak menunjukkan hiburan apa-apa, suara berisik karena lagu-lagu yang di putar malam itu mampu menutup ingatanku tentang apa yang aku lihat beberapa menit yang lalu. Yang membuatku menatap TV rusak itu dengan pikiran kosong namun menampilkan ekspresi wajah yang begitu dingin. Mungkin itu amarah. Amarah yang tidak bisa aku lampiaskan. Oh, tidak, lebih tepatnya amarah yang tidak tahu harus bagaimana untuk mengekspresikan nya. Kalau aku berteriak kepada pria itu agar tidak menatap mama seperti itu, mama akan menegurku, mama mungkin akan kecewa padaku, mama mungkin akan tidak menyukai ku lagi. Jadi aku menahannya, sambil menerka-nerka perasaan apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Rain
Short StoryShort Story Berisi cerita pendek tentang perasaan berwarna biru. Note: cover hanya pemanis, bukan cover yang penulis buat/foto sendiri