Seventh

26 6 2
                                    

Minggu pagi sudah jadi kebiasaan ku mengajak anak nakal ini berjemur sambil bermain. Setidaknya aku dapat meluangkan waktu dalam satu hari untuk nya. Sekedar melihat berlarian mengejar burung membuat hati ku hangat.

Aku terduduk di bangku panjang dengan mata memandang lekat pada mahkluk berbulu yang sibuk memperhatikan ayam. Saat ayam itu lengah dengan kecepatan super sonik ia menerkam. Entah sudah berapa kali aku berteriak histeris, anak ini hampir saja membunuh.

"Jangan, Bin. Nanti mati," omel ku tidak dihiraukan nya.

Kucing bertubuh gemuk itu berjalan menjauh dengan ekor yang meliuk-liuk tanda nya ia senang. Mencari mangsa lain, bertemu anak kucing bertubuh kurus kering. Mendekati seraya mengendus, anak kucing itu merasa takut dan berteriak. Sedangkan Subin hanya melirik sebentar lalu pergi menjauh.

"Usil banget jadi kucing."

Aku senang saat semua orang yang tidak suka kucing menatap lekat anak nakal itu lari kesana kemari dengan kekehan. Semua tetangga ku mengenal nya.

"Sabin mana, Jiyana?" tanya wanita paruh baya.

"Di rumah, habis minum susu dia tidur."

Memang anak nakal itu punya banyak panggilan mulai dari Subin, Sabin, Abin, dan Binie. Aku tidak masalah akan itu. Hati ku hangat melihat orang disekitar ku terseyum. Menatap pada kucing gendut yang menggesekkan kaki bersiap-siap menerkam burung.

Bila terus diingat aku akan semakin sedih. Aku rindu makhluk berbulu itu berpegang erat di gendongan ku dengan buntut panjang yang meliuk, menatap sekeliling penuh antusias. Wangi strawberry yang menguar setiap hari Jum'at setelah selesai mandi.

Piring merah melamine itu ku ketuk kala bunyi loceng nya tak terdengar di rumah. Anak berbulu itu dengan cepat berlari pulang, ia paham ini waktu nya makan siang. Menghabiskan makan dan susu dengan lahap setelah nya tidur siang dan terbangun sore hari untuk bermain lagi.

"Jiyana, kucing mu bandel banget nih!" teriak Nenek ku.

Beliau heboh mengejar anak ayam yang ketakutan dalam terkaman kucing itu. Aku tertawa, sudah paham jika anak itu hanya bermain-main tidak sungguhan membunuh nya.

Di hari lebaran aku memboyong nya ke kampung halaman. Kasihan kalau di rumah tidak ada yang mengurus jadi aku bawa dengan segala macam persiapan. Satu tas kecil berisi makanan, piring, susu, kain popok dan lain-lainnya sudah ku persiapkan beberapa hari yang lalu.

"Kucing apa bayi?" tanya sepupu ku dengan berdecak heran.

Aku terkekeh pelan masih sibuk menggunting kuku mahkluk berbulu di pelukan ku yang sudah terlilit oleh kain popok bayi. Selanjutnya membersihkan telinga dengan teliti, aku selalu menjaga kebersihannya setiap saat agar tidak mudah sakit.

Walaupun setelah nya hal yang ku takutkan terjadi. Aku tetap berusaha mengobati nya dengan segala keterbatasan ekonomi. Andai saja saat itu aku sudah lulus sekolah dan sudah bekerja. Pasti sampai saat ini Subin masih disisi ku kan? Pasti.

Permainan takdir tidak bisa dihindari oleh siapapun. Aku benci takdir saat harus kehilangan teman terbaik ku. Tidak bisakah dia selama nya bersama ku? Aku butuh teman. Tidak perduli itu berwujud manusia atau bukan, aku hanya butuh itu.

Kini aku terduduk dengan kucing putih memandang foto yang diambil satu tahun lalu. Tujuh belas Desember tahun lalu aku berfoto dengan nya. Itu foto terbaik sepanjang masa. Aku menggunakan nya sebagai lockscreen hingga saat ini.

"Ya ampun Jiyana," ucap teman ku saat tak sengaja melihat lockscreen handphone ku.

Tatapan ku beralih pada kucing putih di samping ku. Son like father. Wajah tampan nya serupa, kebiasaan yang sama. Aku sering kali menangis beberapa bulan yang lalu namun kini tidak.

Aku punya anak manis keturunan dari kucing kesayangan ku. Walau wajah mereka mirip tapi anak ini lebih manja dan banyak bersuara.

Bersyukur hal yang terpenting saat ini. Aku bersyukur memiliki Subin dan membiarkannya menjadi playboy. Kawin sana-sini dengan kucing liar dan lihat. Aku kehilangan nya tapi ia menggantikan dirinya dengan mahkluk kecil ini.

"Sooya mau ketemu Mamih?"

"Eeh," sahut nya membuat ku terkekeh.

Ku gendong nya untuk menghampiri sang induk yang ku panggil Mamih Juleha. Anak ini memang tinggal bersama ku tapi setiap beberapa jam sekali induk nya selalu datang untuk menyusui. Setelah nya pergi entah kemana.

Pada dasarnya sang induk adalah kucing liar, terbiasa hidup di luar. Jadi aku membiarkan nya di luar seperti seharus nya dan menjaga anak ini agar tetap aman.

"Jiyana, udah siap?" tanya seseorang yang menyadarkan ku dari lamunan.

Aku tersenyum tipis mengelus lembut bulu halus itu setelah nya berpamitan dengan kedua orang tua ku diikuti oleh Bara. Lelaki itu minta di temani ke jatinegara untuk mengadopsi kucing. Ia tertarik dengan hewan berbulu setelah Subin menginap satu malam di rumah nya saat itu.

"Lo ngapain bengong di depan rumah kayak sapi ompong?" tanya nya dengan nada menyebalkan.

"Ya ... bengong. Kayak lo nggak pernah bengong aja!"

"Enggak tuh," sahut nya sombong.

Aku memukul pundak nya keras, lelaki ini sungguh menyebalkan dan selalu membuat ku kesal. Ia terkekeh dengan ejekan yang terus keluar dari mulut itu. Aku hanya menatap nya penuh marah pada kaca spion tanpa menyahut. Biarkan dia terus mengoceh tidak jelas dengan begitu hati nya senang.

Ah ... kalau di pikir-pikir kenapa aku menyukai lelaki menyebalkan ini.

"JIYANA!"

"Apasih jelek?" tanya ku kesal. Pasalnya suara berat lelaki itu menggelegar meski tertiup angin.

"Hobi tuh olahraga bukan bengong. Gue takut banget lo tiba-tiba kesurupan di belakang gue. Nanti gue diapa-apain lagi sama lo!"

"Mana ada! Yang ada lo ngapa-ngapain gue ya!"

"Lo mau?"

"Nggak! Diem lo."

"Gue tembak doang palingan," sahutnya santai.

Aku setengah gugup menjawab, "Nanti gue mati yang urus anak gue siapa?"

"Di tembak nya pake cinta bukan peluru, mendingan kita pacaran aja nggak si? Ngurus kucing bareng-bareng kayak nya seru."

"Stop dreaming. Pacar gue cuman Park Jimin."

"No. You wrong. Stop dreaming about Park Jimin, your boyfriend is me. Jadi pacar gue apa susah nya."

"Susah. Ribet."

"Apa yang bikin susah sama ribet? Lo tinggal bilang iya kita official, Jiyana!"

"Diem nggak! Gue lompat nih."

"Inget anak," sahut nya membuat ku terdiam.

Tawa Bara menggelegar hingga mata nya hanya terlihat segaris. Aku membiarkan lelaki ini puas tertawa dengan perasaan kesal sekaligus senang.

17 Des 2022
Jellysa

I've lostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang