Nineth

23 6 1
                                    

Enam belas Maret dua ribu dua puluh dua, tercatat sebagai hari menyedihkan dalam hidup ku. Tidak ku pungkiri inilah akhirnya. Air mata ku terjun bebas membasahi tanah tempat kucing kesayangan ku terkubur. Kebahagiaan ku juga terkubur bersama nya.

Akankah aku bahagia?

Tidak bisakah ini hanya mimpi?

Kenapa harus Subin bukan yang lain?

Malam itu saat adzan isha berkumandang, Ayah ku pulang. Terdengar suara berisik dari kandang besi berwarna magenta itu. Aku datang menanyakan, "Subin mau apa?"

Ia merengek minta keluar.

Aku menjaga air disudut mata ku tidak keluar. Membuka kandang itu mempersilahkan nya keluar. Aku bersama adikku menyaksikan ia berjalan terpincang keluar. Sebelum nya tidak begini.

Tak kuat menahan kesedihan, air itu runtuh bersamaan dengan teriakan histeris adikku.

"Subin kenapa?" tanya nya dengan isakkan.

Tak sanggup lagi ku peluk tubuh kurus itu. Tidak ada wangi strawberry dan bulu nya rontok. Ku peluk erat tubuh ringkih itu seraya bergumam.

"Subin mau pergi ya? Emang nya kamu udah bahagia sama aku, Bin? Aku masih perlu cari uang yang banyak untuk bawa kamu berobat."

Sahutan lirih nya membuat air mata ku berlomba-lomba meluruh.

"Minta maaf ya aku cuma bisa kasih kamu makanan enak sesekali. Aku cuma berusaha sendiri buat sembuhin kamu tanpa bantuan dokter. Seharusnya sembuh kalau kamu milik orang lain dan bukan aku."

Tangan ku bergetar mengelus lembut wajah tampan yang sering ku puji. Kini terlihat berantakan akibat air liur yang mengering. Aku tidak menemukan mata binar bulat saat aku menggoyangkan kemasan susu.

"Subin ... i love you, i really do."

"Kamu pejantan yang hebat! Kamu nepatin janji untuk nggak ninggalin aku sebelum ujian selesai."

Air mata ku mengalir saat teringat hari dimana aku menangis di depan orang banyak. Hari itu Subin dalam masa kawin, berhubung kucing betina di rumah ku cukup sedikit ia seringkali bertengkar memperebutkan betina dengan jantan lain.

Itu sifat alami nya tidak dapat ku cegah.

"Pulang yuk dari tadi Subin diluar terus, emang nya nggak mau minum susu?" tanya ku sambil berjongkok di hadapannya.

Ia tidak mau dan terus memojokkan kucing berwarna oranye itu. Aku bersiap memisahkan keduanya dengan sapu. Ku singkirkan tubuh salah satu nya perlahan menggunakan sapu. Namun gagal, kedua kucing jantan itu terlihat menggebu. Lalu berkelahi.

Aku panik bukan kepalang. Tangan ku masih mencoba memisahkan keduanya meski bergetar. Tiba-tiba datang seorang lelaki tua membawa gergaji. Aku histeris dibuat nya saat lelaki itu bersiap menghentikan perkelahian dengan memukul. Menggunakan gergaji.

"Jangan!" teriak ku dengan cepat merebut gergaji itu.

"Saya mau pisahin, minggir."

"Enggak, dipikir nggak sakit dipukul pake gergaji begitu!"

"Cuma pake gagang nya!" Lelaki itu masih kekeh ingin melakukannya.

"Sama aja. Kalo kepala nya pecah gimana?"

"Saya nggak pukul kucing mu!"

"Yakin? Mereka berantem bukan adu mulut yang cuma diam ditempat."

Aku tidak berhenti meneriaki lelaki paruh baya di hadapan ku. Tidak perduli apa yang akan orang bicarakan tentang ku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I've lostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang