17| Rasa penasaran Moza

670 116 3
                                    

Aku melirik ke arah balkon samping rumahku, menunggu Ferrish muncul di sana. Karena kedatangan Masha tadi sore ke rumah Ferrish, mendadak saja aku merasa harus menyakan banyak hal kepada Ferrish tentang hubungan mereka. Ya, tentu saja aku tidak akan menanyakannya secara terang-terangan. Aku tidak mau Ferrish mengataiku terlalu kepo dengan kehidupan pribadinya. Namun, jika kehidupan pribadinya masih ada hubungannya dengan Masha, mau tidak mau aku harus ikut campur. Karena kan cewek itu menyebalkan! Jauh lebih menyebalkan dari kata menyabalkan.

Aku berdecak masih dengan tatapan mengarah pada balkon kamar Ferrish. Kenapa, di saat aku sedang ingin berbicara dengan Ferrish, malah cowok itu tidak ada kelihatan? Namun, kalau sedang tidak ingin bertemu dengan Ferrish, cowok itu malah muncul terus kayak hantu. Apa jangan-jangan, saat ini Ferrish sedang kencan di luar bersama dengan Masha?

"Sayang Moza?" seru suara dari arah depan rumahku. Seketika itu juga aku menoleh ke arah tersebut. Di sana kini sudah ada sosok Dennis yang tengah tersenyum lebar ke arahku sambil melambaikan kedua tangannya dengan semangat.

"Apa?" tanyaku.

"Beli es krim, yuk?" ajaknya.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak mau es krim," kataku.

"Bakso gimana?" tanya Dennis lagi agak berteriak agar aku bisa mendengarnya.

"Nggak mau juga."

"Maunya apa?"

Aku diam sejenak. Alih-alih memikirkan makanan atau minuman apa yang ingin kubeli, aku malah memikirkan apakah Dennis mengetahui keberadaan Ferrish saat ini atau mungkin dia tahu status pasti hubungan Ferrish dan Masha.

"Es krim, deh," jawabku tersenyum lebar.

"Tadi katanya nggak mau," ucap Dennis.

"Sekarang mau!" balasku. "Jadi ngajakin beli nggak?"

"Iya, deh, jadi. Ya udah buruan turun. Gue ambil motor ya?"

"Oke!" seruku.

Kemudian aku bergegas masuk ke dalam kamar, menyambar jaket yang tersampir di sandaran kursi, mengambil uang yang berada di atas meja belajar, lalu berjalan keluar dari kamar untuk turun ke lantai satu.

"Mau pergi?" tanya Kak Shila yang berada di ruang TV bersama dengan Kak Dylan.

Malam ini di rumah hanya ada kami bertiga dan juga Mbok Rum. Papa sama Mama tadi sore pergi ke rumah salah satu teman Papa yang sedang ada acara. Tadi sih, Papa dan Mama sempat mengajakku, Kak Dylan dan Kak Shila. Namun, kami semua menolaknya. Kami malas ikut. 

Aku menganggukkan kepala sambil memakai jaket. "Iya. Mau beli es krim."

"Sama Dennis, ya?" tanya Kak Dylan yang membuatku menganggukkan kepala. "Kencan dong! Ciee...."

"Nggak kencan lah!" balasku.

"Pergi berduaan malam-malam tuh kencan tahu!" ledek Kak Dylan.

"Ya nggak lah!" balasku lagi.

"Iya lah!"

"Dibilangin enggak juga," kataku mulai bete.

"Dibilangin iya juga," balas Kak Dylan menyebalkan.

"Nggak ya, enggak!"

"Ya lo nggak usah ngiri juga kali, Kak, nggak ada yang ngajakin beli es krim," sahut Kak Shila sebelum Kak Dylan membalas ucapanku.

Ucapan Kak Shila itu cukup membuat Kak Dylan tak bisa berkata-kata.

"Kasihan," timpalku seraya menjulurkan lidah ke arah Kak Dylan. Setelah itu aku segera berlari keluar rumah menemui Dennis yang saat ini sudah nangkring di atas motornya yang terparkir di depan gerbang rumahku.

Cinta Satu KompleksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang