03 : Pemakaman

170 150 1
                                    

Langit mendadak mendung, matahari tampak enggan menampakkan pencahayaan panas menyengat, pagi tadi sangat terlihat begitu cerah, tapi kenapa siang ini langit mendung seolah ikut merasakan rasa duka dengan kepulangan ayahnya Izora.

Dicky keluar dari ruang rawat itu dan dia mendongakkan kepala melihat bundanya sedang menemani sekaligus menenangkan sahabatnya, ia turut berduka dengan apa yang sedang terjadi saat ini, dia pernah merasakan berada diposisi seperti ini, ditinggalkan oleh orang yang sangat-sangat disayangi.

Saat kakinya ingin menghampiri bunda tiba-tiba hp-nya bergetar di saku celana, terpaksa ia harus menerima panggilan itu, takutnya itu panggilan penting, ia menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan itu.

"Hallo" ucap seseorang dari seberang sana.

"Kenapa?"

"Kemana? bolos?" Sargah Andre yang terdengar dari hp.

"Asal nuduh aja Lo, gue sekarang di rumah sakit, oh ya tolong Lo bawa tas gue nanti, gue bakal cerita di kafe" jawab Dicky.

"Ngapain Lo disana?" Terdengar bahwa itu suara milik Anta bukan Andre yang bertanya.

Dicky menoleh, terdengar ruangan rawat pintunya terbuka, ia melihat Izora keluar dari ruangan itu dan cewek itu melangkah pergi tanpa membuka suara, tatapan matanya lurus namun sayu.

"Nanti gue jelasin, udah dulu, assalamualaikum" ucap Dicky, kemudian mematikan telepon itu sepihak, bahkan Anta saja sampai melototkan matanya, ternyata jawabannya tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Setelah panggilan itu berakhir Dicky melangkahkan kaki lebarnya mengejar Izora, seketika pikiran negatif-nya memenuhi kepala takut cewek itu akan melakukan tindakan yang tidak-tidak.

Dicky terus mengikuti langkah dituju Izora, hingga sampai di sebuah musholla, terlihat cewek itu masuk ke tempat wudhu, Dicky yang melihat dari kejauhan bisa bernapas lega, ia melirik jam di tangannya. Pantes saja, ternyata sudah jam 12:30 WIB yang sudah masuk waktu sholat. Tidak hanya diam di sana Dicky bergegas ikut melakukan kewajibannya sama seperti Izora.

Di sisi lain Yanti dan sahabatnya-Indah masih berada di luar tunggu menunggu jasad suaminya dibersihkan oleh pihak rumah sakit, Indah terus saja menangis tiada henti sedangkan Yanti hanya mampu memberi penenang dan memberi pencerahan.

"Sudah jangan bersedih seperti itu, memang ini berat untuk kamu dan keluarga kamu, tapi orang yang saat ini membutuhkan kamu adalah putrimu sendiri, kamu harus menjadi penguat untuk dia, kasihan Izora" ujar Yanti dengan suara lembutnya

Indah menatap mata Yanti sendu, beliau menghapus air matanya, mengangguk bahwa apa kata-kata itu ada benarnya, putrinya saat ini sangat-sangat membutuhkannya, tidak mudah bagi seorang anak mengikhlaskan kepergian ayah sekaligus kasih sayang dari ayahnya.

"Kamu benar, makasih ya" jawab Indah lalu tersenyum tidak lama mereka berpelukan.

Terdengar suara roda Hospital bed membuat Yanti dan Indah menyudahi peluk-berpelukan, diatas brankar dorong itu tertutupi kain putih yang dibaringi oleh almarhum ayah Izora, setelah penyopotan selang, infus dan lainnya, jasad suaminya akan dibawa ke ruang jenazah untuk dibersihkan terlebih dahulu sebelum dibawa kerumah duka.

Indah melihat itu badannya seketika mematung. "Harus tabah, ikhlas" bisik Yanti sambil mengelus pundak Indah.

setelah selesai sholat Dicky menoleh ke shaf perempuan untuk melihat apakah Izora masih ada di shaf  itu.

Saat Izora bergegas pergi dari mushola Dicky langsung menghampiri nya tanpa berpikir panjang. "Tunggu"

Izora menoleh, alisnya terangkat sebelah. "Kenapa kak? Kakak ikutin gue?" Ucap Izora, wajahnya terkejut.

D and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang