Mentari pagi tak ia sambut dengan baik, bersama sang kakak, kali ini ia akan pergi menjauh dari kedua orang tuanya. Bayangan untuk kembali seperti dulu pupus sudah setelah mengalami hal seperti kemarin. Wajah muram serta raut pucat masih menghiasi yang membuat Azam tak tega membawa adiknya pergi, ia sangat paham jika Askar sangat merindukan ayah dan bunda tapi ini adalah konsekuensinya juga atas apa yang ia lakukan. Kembali ia menggenggam tangan sang adik mencoba menguatkan walau nyatanya tak berguna.
Perjalanan yang ditempuh kurang lebih 6 jam dengan jalur darat, Azam duduk di balik kursi kemudi sedang sang adik tertidur di sampingnya. Jujur saja Askar dengan mode diam adalah yang paling ia benci, Azam lebih suka adiknya yang banyak bicara dan mencaci maki dirinya.
Di tengah perjalanan Azam sengaja menhentikan mobil di mini market, ia harus berbelanja bahan makanan karena rumahnya sudah lama kosong dan pasti tak ada makanan juga. Askar yang terbangun hanya melihat sang kakak keluar tanpa bertanya apapun, sedikit tak peduli karena sebenarnya ia tak ikhlas untuk pergi.
Cukup lama ia menunggu namun tak ada tanda-tanda sang kakak akan kembali, segera ia turun dari mobil dan melihat sekitar. Di ujung selatan ada sebuah mushola yang membuat Askar yakin jika kakaknya ada di sana untuk melakukan kewajiban sebagai seorang muslim.
Sebenarnya kalau ia boleh jujur, Askar ingin sekali dekat dengan Azam namun ia takut jika nanti orang tuanya akan lebih sayang pada sang kakak daripada dirinya mengingat Azam adalah anak yang di idam-idamkan ayahnya.
Pukul 15.00 mereka memasuki desa kelahiran Azam, segera Askar membuka jendela mobil dan seketika hawa segar menerpa surai legamnya. Kendaraan yang mereka tumpangi telah berhenti di depan rumah hampir seratus persen terbuat dari kayu, Askar hanya diam menurut apa yang di perintahkan sang kakak.
Begitu mereka memasuki rumah tersebut tiba-tiba perasaan aneh menyerangnya entah karena apa ia pun tak tahu. "Dek, kamu Okay?" hanya anggukan sebagai jawaban.
Lama berselang Azam segera mengajak sang adik untuk jalan-jalan sebentar, karena biasanya saat sore begini banyak anak kecil yang sedang main, pasti sangat seru pikirnya. Dalam perjalanan ini Askar senatiasa diam dan hanya memandang sekitar, merasakan angin desa yang sangat menyegarkan.
Terdengar bunyi aneh dari belakang keduanya, yang membuat Askar sedikit mendekati sang kakak. Namun Azam hanya tertawa geli, dalam pikirannya bisa-bisanya Askar takut pada bunyi loceng yang bunyikan bapak-bapak penjual mainan. Memang saat sore banyak anak yang kumpul begitu pula para pedangang, mereka akan datang jika ada anak-anak yang main.
Kerena hal itu lucu Azam membeli satu boneka berbentuk pesawat, dulu Askar pernah cerita jika ia ingin jadi pilot. Alih-alih menolak, adiknya justru senang dan langsung mengambil hadiah dari abangnya itu. Mentari mulai menenggelamkan diri, gema Adzan telah memanggil untuk menunaikan kewajiban, sadar akan hal itu Azam segera membawa sang adik untuk pulang ke rumah karena ia akan ikut jamaah di masjid.
Namun Askar menolak hal itu, ia lebih suka menunggu kakaknya di depan masjid daripada di rumah sendirian. Askar juga tak memaksanya untuk segera pulang dengan dalih dia suka mendengar kakaknya melantunkan ayat suci, dan baru setelah isya' mereka kembali ke rumah.
Meski mereka sudah cukup lama menjadi saudara, namun agaknya Askar masih sukar berbagi rasa. Sampai pada malam ini, Azam mencoba mendekati sang adik agar lebih terbuka dengannya.
"Dek, kakak mau kamu jujur. Kamu seneng nggak punya kakak kaya aku?" lembut ucapan Azam namun lama untuk mendapat jawaban.
Entah mengapa batin Askar sakit mendengar hal itu, ia hanya takut jika tak mendapat kasih sayang lagi, tapi ia juga sadar jika terlalu egois tidak akan pernah berdapak baik untuk siapapun.
"Enggak! Gue benci sama Lo Zam! Dulu gue ngijinin ayah buat nikah lagi karena gue cuma mau punya ibu. Bukan malah kakak tiri kaya Lo!" wajahnya memerah tersulut emosi yang entah karena apa.
"Gue benci sama Lo! dan nggak akan nerima Lo jadi abang Gue untuk selamanya!" lanjutnya kemudian pergi ke luar sambil membanting pintu hingga menimbulkan suara gaduh.
Kali ini dunia Azam terasa hancur, sungguh pikiran jika adiknya mau berdamai hilang seketika. Ia tak menyangka setelah apa yang dilakukan selama ini tak mampu meluluhkan hati Askar.
Dalam gelapnya malam ia berusaha membujuk sang adik untuk masuk ke dalam, meski sempat di tolak akhirnya Askar mau. Segala perhatian sudah ia curahkan, mulai dari menyiapkan makan malam sampai mempersiapakan tempat untuk tidur, hampir habis akalnya memikirkan cara bagaimana bisa berdamai dengan keadaan. Hari ini biarlah berakhir kecewa, tapi di dalam hatinya membulatkan tekat berjuang agar sang adik mau menerimanya dengan tulus.
"Dek bangun, ini sudah siang." Titah lembut Azam yang di balas aggukan kecil namun mampu mengembangkan senyum indahnya.
Suhu tubuh Askar memang sedikit tinggi sejak semalam yang membuat Azam mau tak mau harus menjaga sang adik. Satu mangkuk bubur sudah berada di genggaman, begitupun ia siap membantu sang adik untuk makan. Askar yang tahu apa yang akan dilakukan sang kakak segera menepis itu semua, ia tak ingin bergantung pada orang yang dibencinya.
"Nggak usah sok peduli!" ujar Askar, untung saja tinggat kesabaran Azam masih tinggi.
Setelah itupun dirinya masih mencoba untuk mengingatkan Askar agar menjalankan kewajibannya pada Tuhan namun Askar tetaplah Askar yang mudah emosi dan tak peduli nasehat orang lain
🌚🌚🌚🌚
.
.
Maaf baru update hari ini.
Semoga suka.
To be continue.
.
.
See in good time ❤️❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Daydream
FanfictionHanya berisi kumpulan cerpen, satu judul sekali tamat. cerita ini untuk kalian, untuk menemani di saat aku lagi pusing mikirin alur cerita book aku yang lain. jadi baca ini dulu aja ya. terima kasih. semoga sedikit mengurangi rasa rindu kalian deng...