2. HASTAWARA

399 28 0
                                    

Dalam perjalan pulang didampingi sang kakak Ghassaf bergeming, sebelumnya Tama sangat terkejut dengan keadaan adiknya itu. Dengan pikiran positif Tama segera membawa Ghassaf ke klinik terdekat, takutnya akan terjadi infeksi. Tak lama mereka telah sampai, bagi Tama rumah adalah tempat bersandar, tapi bagi Ghassaf ini adalah ujian. Lebih tepatnya ujian kehidupan yang menyakitkan. Betapa terkejutnya Rean mendapati keadaan si bungsu terlihat lusuh serta perban yang membalut wajah. Bukannya mengobati atau bertanya mengapa bisa sampai seperti ini, Rean justru memarahi tanpa mengetahui apa yang terjadi, tanpa ada perlawanan dari Ghassaf membuat Rean kalap bermain tangan.

"Ayah! Jangan sakiti Adek aku!!" pekik Tama keras kala Rean mulai memaki tanpa henti. Erat Tama mendekap sang adik, setelah beradu mulut akhirnya Rean berlalu. Tidak boleh ada yang menyakiti Ghassaf sekalipun ayahnya, bagi Tama Ghassaf adalah malaikat titipan Allah sebagai penganti bunda.

Setelah sedikit tenang, Tama membawa adiknya itu ke dalam kamar. Tak tega jika harus meninggalkan sang adik. Dibelainya surai legam Ghassaf, tak sadar buliran bening mulai berjatuhan. Ia takut, benar-benar takut jika suatu saat adiknya lebih memilih menyusul sang bunda daripada bertahan untuk dirinya.

Mentari telah menyinari bumi sepertinya hari ini akan cerah, tak ada tanda-tanda mendung akan datang. Dan ini adalah hari ketiga setelah perundungan itu terjadi. Kalau tanya dimana Rean, sudah sejak kemarin Rean pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Tak ada sedikitpun rasa kasihan untuk si bungsu, entah apa yang merasuki Rean yang pasti masih ada Tama yang ada untuk Ghassan.

"Dek, yakin hari ini mau masuk?" tanya Tama yang sudah beberapa kali menanyakan hal demikian.
"Iya Bang, Abang nggak usah khawatir ya. Tadi udah berdoa sama Allah supaya nanti dijaga," tuturnya lembut memahami kecemasan sang kakak.

"Kamu belum cerita lho Dek, kenapa bisa sampai luka-luka?" pertanyaan Tama masih berlanjut, namun tak ada jawaban dari sang empunya. Tama sadar jika adiknya ini sangat sulit untuk terbuka kepadanya, meski desakan telah dilayangkan namun pendirian sang adik tak pernah roboh. Hal ini juga yang membuat Tama sedikit kesal meski tak sampai memaki.

Hari-hari terus berlalu, hal yang samapun terus terulang. Kesedihan, penderitaan, dan rasa sakit kian menjadi. Harapan untuk melewati masa muda dengan bahagia perlahan dibantah kenyataan. Ayah yang dari dulu adalah panutannya kini tak lagi bisa dianut, sedangkan sang kakak tengah menginjak semester akhir membuatnya lebih sibuk. Tak ingin terlalu membebankan diri Ghassaf memilih memendam semua, hanya doa dalam sujud yang masih menjadi tempat mengadu segala lara dan air mata.

Semakin lama semakin terbiasa menerima keadaan semesta yang seperti bercanda. Tak terasa sudah hampir satu semester dirinya menjadi bahan perundungan. Tak ada perlawanan, bukan karena tak mampu namun karena orang tua Arzan bukanlah orang sembarangan. Fisiknya sudah lelah ditambah lagi mental yang semakin lama menguras tenaga. Mungkin kata "pasrah" bisa disematkan pada diri Ghassaf.

"Ayah, Ghassaf udah capek Yah. Boleh nggk kalo Ghassaf ikut bunda?" monolognya yang sedari tadi termenung di rooftop gedung sekolah. Hatinya bagai dicabik kala mengingat perkataan sang ayah yang mengharuskannya memperoleh nilai yang tinggi. Tapi Rean tak pernah sekalipun berpikir bagaimana perasaan sang putra. Entah disengaja atau tidak dirinya telah melukai pangeran lembut titipan Allah, janji kepada sang istri diakhir hayatnya hanyalah bualan semata. Semua hilang bersama waktu yang membawa kenangan tentang Ibunda tercinta.

Pekan Ujian Nasional telah datang, semua berlomba-lomba untuk mendapat nilai terbaik termasuk Ghassaf. Senyuman sang kakak menjadi penyemangat untuk menjadi lebih baik, kalau dipikir lagi ini adalah kesempatan terakhir sebelum dia benar-benar pergi. Setelah berpamitan Ghassaf mulai memasuki gedung yang tersasa sesak dengan ambisi semua temannya. Jangan lupakan hal yang menyedihkan lainnya, meski tengah sibuk berlomba dirinya tetap harus menerima bebagai perlakuan fisik yang menyakitkan. Beruntungnya Ghassaf masih bisa menahan emosi yang memuncak.

DaydreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang