Bila boleh mengucapkan kata sial, Astina akan menandai hari ini sebagai hari tersial dalam hidupnya. Popularitas Aganta sebagai pengusaha muda sukses dan tampan ternyata sangat mengganggu privasi Astina karena kasus perceraian mereka yang mendadak dijadikan sorotan publik.
Aganta tidak pernah melibatkan dirinya sebagai istri di hadapan media maupun publik. Dia hanya ibu rumah tangga biasa yang disembunyikan Aganta hingga kasus gugatan Astina ke pengadilan menyisakan tanda tanya besar bagi banyak orang.
Sebagai perempuan, Astina tidak dipercaya telah berani menggugat cerai Aganta hanya karena belum memiliki anak, tetapi desas-desus Aganta selingkuh malah santer terdengar. Astina merasa sangat kecewa karena ternyata foto-foto kedekatan Aganta sebenarnya malah sudah tersebar lama tanpa disadarinya selama ini. Dia merasa sangat dicurangi karena baru mengetahuinya setelah gugatan cerai menyisakan sidang putusan setelah empat bulan berjalan.
“Kamu terpaksa kubawa ke sini dulu,” ucap Althan meletakkan ponselnya ke atas meja. “Tidak apa-apa, ‘kan?”
Astina mendongak ke arah pria itu. Mereka saat ini berada di area restoran yang berada di dalam kawasan Residence. Cukup ramai dengan beberapa pasangan sedang bercengkerama dan makan. Namun, tidak ada sama sekali yang peduli dengan sekitarnya, termasuk keberadaan Althan dan Astina.
“Ah, terima kasih. Maaf malah merepotkan,” sahut Astina kaku.
Dirinya merasa tidak nyaman berada di lingkungan yang jelas berkelas. Apa lagi melihat bagaimana penampilannya saat ini, sepulang dari bekerja tentu saja menyisakan aroma yang tidak mengenakkan.
“Tidak masalah. Tapi, apa aku boleh tahu kenapa wartawan itu mengejarmu? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya di dunia entertainment,” kata Althan mencoba menyelisik masalah Astina secara langsung.
Dia merasa belum puas sebelum mendengar dari pengakuan wanita di hadapannya meskipun sudah tahu dari pertanyaan wartawan.
“Tidak ada masalah, mereka hanya salah orang,” jawab Astina menghindari pembicaraan yang hanya akan membuat dirinya membuka aib.
“Oke,” sahut Althan mengalah. Perempuan itu tidak ingin berbagi kesulitan.
Rasanya cukup tenang bisa duduk bersama dengan orang sama-sama kerepotan mengatasi wartawan. Setidaknya dia merasa tidak sendirian.
“Namamu siapa?” tanya Althan lagi-lagi memiliki minat untuk mengenal perempuan di hadapannya lebih jauh. Tidak seperti Althan biasanya memang, tapi entahlah. Pria itu lagi-lagi merasa terdorong untuk melakukannya.
“Sudah sore, saya mohon maaf untuk permisi,” kata Astina berusaha untuk tidak menanggapi permintaan pria itu untuk mengenalnya.
Meskipun sudah dalam proses perceraian dengan Aganta, tapi Astina merasa apa yang dia lakukan di tempat itu tidak benar. Aganta bisa-bisa menggunakan alasan ini untuk menyerangnya secara pribadi. Tidak, Astina tidak boleh sampai menimbulkan masalah dan fitnah bagi pria baik yang telah membantunya.
“Kamu mau ke mana?”
Althan yang sedianya ingin ikut duduk langsung dibuat berdiri karena Astina berniat untuk pergi. Minuman yang dipesan belum diantarkan bagaimana bisa perempuan itu pergi begitu saja seenaknya. Tidak, Althan meraih pundak Astina agar mengurungkan niatnya pergi.
“Makan dulu, baru boleh pergi. Nanti biar diantar pulang asistenku,” cegahnya dengan kalimat ketegasan agar Astina menurut.
“Maaf, Pak. Saya bukannya tidak sopan. Entah apa yang bisa membalas kebaikan hati Bapak setelah menolong saya hari in—”
“Dua kali aku nolong kamu,” potong Althan membuat Astina menatap kaget ke arahnya. Keningnya berkerut, mencoba mengingat lagi di mana mereka pernah bertemu.
“Di Restoran beberapa hari lalu. Itu kalau kamu ingat,” lanjut Althan mengingatkan, kedua alisnya saling terpaut.
“Oh, iya. Terima kasih banyak, Pak. Saya janji akan membalas kebaikan Bapak di kesempatan lain. Tapi, hari ini adik saya harus ke Dokter untuk mendapatkan perawatan. Jadi, saya minta izin pamit untuk pergi,” ungkap Astina dengan tatapan sungguh-sungguh.
Astina buru-buru menunduk saat mendapati senyuman terbit dari bibir pria itu. Dia belum mengenal dan tidak berharap terlibat masalah apa pun dengannya.
“Ok, aku akan mengantarmu sampai—”
“Tidak perlu!” sela Astina
Dia menolak cepat, tidak ingin ada masalah baru dengan pria itu. Wartawan bisa saja memergoki dirinya sedang bersama pria lain. Sungguh, Astina sangat ketakutan bila akhirnya timbul fitnah. Dia pun memilih untuk meninggalkan tempat itu tanpa bantuan.
Althan pun dibuat geleng-geleng kepala dengan sifat perempuan itu. Bagaimana mungkin bisa begitu kaku dan tidak tersentuh bahkan setelah nyata-nyata dikhianati bila mendengarkan bagaimana tadi para wartawan menodong dengan berbagai pertanyaan itu.
Pria itu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan tatapan masih betah memandang dari jauh langkah Astina meninggalkannya menuju ke luar area itu. Dia menghubungi asistennya, Riyan.
“Iya. Halo, Pak Althan!” Terdengar sahutan dari seberang, panggilannya telah tersambung.
Setelah tersadar, Althan pun segera mengalihkan pandangan kepada pelayan restoran yang membawakan makanan pesanannya. Dia menanggapi ucapan pelayan itu dengan senyuman sebagai tanda terima kasih. Fokusnya kini pada orang dihubungi.
“Kamu ke bawah, cepat!” ucapnya tanpa menunggu jawaban langsung menutup panggilan.
Althan menikmati minumannya. Bila ada yang mengamatinya diam-diam, dia tidak peduli. Rasanya lelah bila diharuskan dengan tuntutan tampil sempurna. Dia merasa seperti manusia pada umumnya, meskipun pekerjaannya sebagai aktor film dan publik figur memang mengharuskan dirinya menjaga nama baik.
“Bedebah itu membuatku harus menerima hujatan dan ejekan di mana-mana,” geramnya pada masalah yang sedang mendera.
Banyak memang yang memberinya dukungan, sesama rekan artis dan juga sahabat lain. Namun, tidak sedikit yang berkomentar buruk tentangnya apalagi sekian lama dia tidak pernah mengekspos kedekatan dengan wanita mana pun sebagai pacarnya. Lebih dari lima tahun setelah putus dari wanita yang dulu pernah satu proyek film dengannya dan Zara, yang sebenarnya telah berjalan pacaran selama dua tahun.
“Pak,” tegur Riyan datang menghampiri. “Kalau bukan karena hafal jaket hoodie Anda, saya tidak bisa mengenali,” puji pria itu sembari ikut duduk di kursi bekas Astina.
“Sudah bisa menghubungi Zara?” tanyanya lesu.
“Dia tetap menolak untuk berkomentar atau pun mengumumkan hubungan kalian berdua di hadapan publik, Pak. Tidak ingin mengekspos foto-foto kalian berdua yang sudah merayakan dua tahun pacaran.”
“Lalu selama ini aku ini apa baginya?” desis Althan tidak mengerti dengan jalan pikiran Zara mengenai hubungannya selama ini. Rasanya seperti sedang dipermainkan.
“Kakekku murka mendengar berita ini. Dia memaki-maki aku karena sudah menghancurkan reputasi keluarga baik dan terdidik secara akhlak. Astaga, kelapaku rasanya mau pecah.”
“Saya ikut prihatin, Pak. Kejadian ini sangat tidak terduga.”
“Kamu ada saran apa?” tanya Althan sambil menghela napas pelan.
Riyan menyeruput minuman bukan milik Althan. Dia hanya menduga pria itu memesankan untuknya tanpa mempertanyakan. Apa yang dikatakan Zara cukup mengganggu dan dia merasa bingung cara menyampaikan pada Althan, pria yang dia urus dalam keseharian.
“Bagaimana kalau Anda menemui Zara secara langsung saja, Pak. Saya sarankan Anda tidak hanya meminta persetujuan untuk mengumumkan hubungan kalian karena itu bisa saja hanya dianggap sebagai pengalihan isu saja,” saran Riyan memberikan tatapan serius pada Althan.
“Lalu kalau bukan pengumuman bahwa kami sepasang kekasih apa, dong?” tanya Althan dengan nada tidak ramah sama sekali.
“Anda dan Zara mengumumkan pernikahan kalian saja, bagaimana ide saya? Masuk akal, ‘kan?”
“Masuk akal kepalamu!” desis Althan merasa kesal karena ide Riyan sangat kuno dan tidak kreatif sama sekali.
Asistennya juga tahu kalau dirinya selama ini memang menghindari pernikahan. Tidak ingin membina hubungan rumah tangga karena baginya sangat merepotkan dan penuh batasan. Kariernya sebagai bintang film papan atas sangat membutuhkan lingkup luas agar tidak ada masalah bila mempunyai proyek pekerjaan yang mengharuskan berada di luar kota atau luar negeri lama.
Baginya, pernikahan hanyalah penghalang dalam berkarier. Namun, setelah apa yang terjadi hari ini, fitnah yang diterimanya ternyata telah memorak-porandakan pemikirannya.
“Ya, kalau memang Zara sama pemikirannya seperti Anda. Mungkin Anda harus siap-siap setelah ini, Pak,” kata Riyan seraya merebahkan punggung pada sandaran kursi.
“Siap-siap apa maksudmu?” tanya Althan memasang wajah masam.
“Menikah tentu saja,” sahut Riyan sambil meringis. “Setelah Anda menikah, tidak perlu repot-repot membuat pernyataan penyangkalan atau apa pun itu, Pak. Karena kabar miring itu akan sirna setelahnya.”
“Huh!” Althan menghela napas dalam. “Kalau Zara menolak bagaimana? Aku harus menikah dengan siapa? Benar-benar merepotkan!” keluhnya kesal karena masalah harga diri dan nama baik sangat penting baginya sebagai publik figur.
**
“Bila takdir sudah berbicara, persimpangan jalan yang tidak terlihat jelas pun mampu ditaklukkan dengan cara yang tidak pernah disangka sebelumnya.” (Syala Yaya)

KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wife
RomanceAstina Yuzniar memilih bercerai setelah tahu suaminya berselingkuh lalu menikah lagi. Ia terpaksa menerima pil pahit sebuah perpisahan dengan laki-laki yang dicintainya karena tidak mampu memberi keturunan. Ia pun berusaha untuk bangkit dari keterpu...