“Wah, si Mandul datang. Sini, sapa istri baru suamimu!” tegur ibu mertuanya dengan wajah penuh kesombongan. Sudah jelas wanita itu dengan bangga memperkenalkan istri baru Aganta yang sesuai dengan kriterianya. Cantik, berpendidikan tinggi, karier mapan, dan berasal dari keluarga kaya.
Astina menghela napas, mempertahankan diri agar tidak roboh dan menangis tersedu di depan keluarga yang merendahkannya sejak awal hanya karena ia anak yatim piatu dengan membawa adik tiri sakit-sakitan. Ia tidak mampu membalas dan membela diri di depan wanita sombong itu demi pengobatan adiknya, Afthar.
“Berhenti menyebut saya wanita mandul, Ibu!” protes Astina menghentikan langkahnya karena diadang Aganta yang tetap berkeras menahan kepergiannya.
“Lalu apa? Hem!” Ibu Aganta memandang Astina dengan tatapan dan senyuman sinis meremehkan.
“Saya tidak percaya Ibu bisa bertindak seperti ini pada rumah tangga anak sendiri,” keluh Astina dengan suara bergetar.
Ia ingin menangis, meluapkan perasaannya yang hancur berkeping. Akan tetapi, hati kecilnya menahannya agar tidak terlihat menyedihkan. Cukup hari ini saja penghinaan itu dilayangkan untuknya. Batas kesabarannya sudah habis untuk memikul kenyataan bahwa suaminya tega mengkhianati pernikahan mereka.
“Kamu pikir aku akan tetap diam saja setelah kamu memupus harapan kami menjaga garis keturunan Wiriya? Sudah empat tahun kami memberimu kesempatan, tapi itu sudah cukup. Lagi pula, ada Leana dengan bibit bebet bobot sesuai kriteria kami yang akan melahirkan calon penerus keluarga Wiriya. Bukan wanita menyedihkan yang dipungut Aganta dari jalanan!” ucap Ibu Aganta dengan tatapan mencemooh.
Astina meneguk ludah. Tangannya terkepal erat dengan tatapan matanya penuh luka ke arah Aganta. Suaminya terpaku dalam diam. Tidak membelanya sama sekali. Di sinilah Astina mulai menguatkan keputusannya. Bertahan hanya akan membuatnya gila, melawan orang tua Aganta merupakan hal yang mustahil untuk dimenangkan. Sejak awal ia memang tidak ingin berkompetisi, tidak akan kalah hanya karena mengalah. Bahkan kedatangan adiknya yang sudah siap dengan tas ransel membawa kekuatan terbesar untuknya. Ia masih memiliki Afthar di dalam hidupnya.
“Ayo, Kak!” ajak Afthar dengan tatapan lembut.
“Astina! Sebaiknya kamu menerima keputusan mas demi kamu sendiri dan Afthar!” Aganta belum menyerah untuk menahan kepergian istrinya.
“Halah! Lakukan saja apa yang dia minta, Mas. Ada aku yang akan menggantikan perannya sebagai istri Mas Aganta. Jelas aku lebih baik dari dia,” sela Leana dengan tangan bersedekap, memberikan tatapan sinis kepada Astina.
“Wanita itu benar, singkirkan tanganmu dan biarkan aku pergi. Tanda tangani surat perceraian kita begitu aku melayangkan gugatan!”
Astina mendesis marah. Ia menerobos barikade yang coba dilakukan oleh suaminya, terus berjalan hendak meninggalkan ruang tamu menuju ke teras. Di belakangnya disusul Afthar hingga perasaan Astina menjadi lebih kuat.
Semua orang di ruang tamu menyusul. Astina tahu, apa yang dilakukan mereka untuk merayakan kehancuran rumah tangga yang sejak awal tidak diharapkan terbina harmonis. Ia tidak bisa berbuat apa pun, kuasa Tuhan berperan penting dalam takdir dan nasibnya.
“Astina, bagaimana dengan Afthar? Dia masih butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit. Pikirkan itu sebelum kamu membangkang dan meminta cerai dariku!” tegas Aganta tidak bisa bersabar.
Rasanya otaknya mulai buntu hingga bingung bagaimana cara menahan Astina meninggalkan dirinya. Ia tidak ingin perceraian, ia ingin Astina ada di sisinya selagi ia mendapatkan keturunan dari pernikahan keduanya.
“Kamu egois, Mas!”
“Heh! Berani-beraninya kamu ngatain anakku egois, ya! Kamu itu yang Cuma bisa jadi benalu yang tidak becus memberikan apa yang suamimu butuhkan. Ceraikan saja dia, Ga! Tidak ada bagus-bagusnya punya istri mandul yang tidak tahu diri,” hina ibu Aganta dengan tajam.
“Berhenti Anda menghina saya! Sudah cukup. Semoga kelak Anda tidak melakukan itu pada menantu Anda yang baru. Saya akan berhenti menjadi menantu Anda, Bu. Jadi, jangan pernah menghina saya lagi seperti itu,” sahut Astina membalas perlakuan semena-mena ibu mertuanya dengan tatapan melawan.
“Cih! Wanita miskin tidak tahu diri!”
“Biarkan aku pergi, Mas. Aku tidak layak menerima makian dan hinaan seperti ini dari keluarga Mas dan tidak ada pembelaan sedikit pun dari Mas Aga,” kilah Astina menatap mata suaminya.
“Aku—“ Aganta menggeleng, perasaannya bercampur sedih, marah, dan tidak berdaya.
“Jangan meracuni pikiran anakku untuk melawanku, Astina!”
“Tidak, Bu. Justru karena saya tidak mau dia melawan orang tua, saya akan melepaskan Aganta untuk ibu dan keluarganya. Saya tidak akan mengikat Aganta lagi,” sanggah Astina melawan.
“Kamu akan menyesal seumur hidup kalau kamu menggugat cerai aku, Astina!” Aganta melayangkan jari telunjuknya ke arah Astina, tetapi tangan hangat Afthar yang menarik lengannya segera menyadarkan perempuan itu untuk tidak mengubah keputusannya.
“Aku akan buktikan, kamu yang akan menyesal karena sudah mengkhianati aku dengan menikahi selingkuhanmu itu, Mas. Aku akan hidup dengan baik dan bahagia setelah kita bercerai,” tegas Astina sengit. “Oya, selamat atas pernikahan Mas Aganta, semoga dia bisa memberikan apa yang tidak bisa kuberikan pada Mas Aga dan keluarga.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Astina berjalan meninggalkan Aganta yang mematung di tengah teras.
#
Malam semakin gelap, hujan pun mulai turun. Saat ini Astina dan Afthar duduk di sebuah emperan toko yang sudah tutup. Tidak memiliki tujuan yang jelas, Astina merasa sangat bodoh. Di usianya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun, menyandang status janda bukankah sesuatu yang bisa dibanggakan. Apalagi sekarang ini dia tidak memiliki pekerjaan dan mungkin kematian menyedihkan menjadi masa depan yang bisa dilihatnya saat ini.
“Kamu lapar?” tanya Astina memandang adiknya yang terlihat pucat.
Afthar menggeleng, bibirnya terangkat untuk menunjukkan senyuman malaikat yang disukai Astina sejak awal bertemu. Mereka tidak sedarah, tetapi diikat oleh jalinan pernikahan orang tua mereka. Ibu kandung anak berusia sepuluh tahun itu sudah meninggal karena menderita kanker hati, ayahnya menikahi ibu Astina yang sudah menyandang janda setelah ayah kandung Astina meninggal karena kecelakaan kerja di daerah pertambangan.
Hubungan yang sangat manis. Kini mereka tinggal berdua, saling menguatkan karena sama-sama yatim piatu. Ayah dan ibu mereka meninggal dalam kecelakaan mobil saat akan mendatangi acara pesta pernikahan salah satu kerabat jauh.
“Apa kita akan pulang ke rumah?” tanya Afthar memandang kakaknya penuh tanya. Rumah yang dimaksud anak itu yaitu peninggalan orang tua mereka.
“Rumah kita dikontrakkan, Afthar. Kita tidak bisa seenaknya meminta rumah itu dan tinggal di sana sebelum masa kontrak selesai.” Astina memberikan pengertian kepada adiknya, alasan kenapa ia masih bingung ke mana tujuannya kali ini.
“Ke rumah ayah?” tanya Afthar lagi mencoba untuk menemukan ide di mana mereka akan hidup setelah meninggalkan rumah kakak iparnya.
“Sudah dijual ayahmu. Katanya dulu untuk melunasi biaya pengobatan ibu Afthar yang sakit-sakitan,” jelas Astina penuh kelembutan.
“Kalau afthar menyusul ibu dan ayah ke sisi Tuhan, Kak—“
“Hush! Afthar jangan bicara begitu, Sayang. Kak Asti akan cari uang yang banyak untuk mengobati kamu. Tolong, jangan pernah punya pikiran untuk meninggalkan kak Asti juga. Kakak tidak punya siapa-siapa lagi di sini selain kamu, Afthar,” ucap Astina dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk tubuh ringkih adiknya.
“Hidup Afthar membebani Kak Asti.”
“Sama sekali tidak! Jangan pernah bicara begitu. Kak Asti punya kekuatan untuk melawan dan bertahan hanya karena ada kamu di sisi kak Astina. Kamu mengerti?”
Afthar mengangguk. Ia pun membalas pelukan kakaknya dengan hangat. Saling menguatkan satu sama lain dengan ketulusan cinta. Tidak ada yang lebih indah dibandingkan saudara yang saling mendukung dan menjaga. Astina merasa beruntung karena masih memiliki adik di saat hidup sebatang kara di dunia ini. Setidaknya ia masih memiliki alasan kenapa harus tetap hidup dengan semangat.
Bunyi ponsel Astina menyadarkan mereka. Sambil menegakkan tubuh, Afthar meraih tas kakaknya agar bisa segera menjawab panggilan telepon itu lalu menyerahkan pada sang kakak. Mereka saling menyunggingkan senyuman. Sebelum akhirnya Astina mulai memasang wajah serius saat mengangkat panggilan itu.
“Iya, hallo.”
**
“Tuhan maha adil, Dia tahu siapa umat-Nya yang masih mampu menghadapi cobaan. Karena sesungguhnya takaran ujian itu sudah pas. Begitulah cara nasib dan takdir dalam memainkan peranan.” (SyalaYaya)

KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Wife
RomansaAstina Yuzniar memilih bercerai setelah tahu suaminya berselingkuh lalu menikah lagi. Ia terpaksa menerima pil pahit sebuah perpisahan dengan laki-laki yang dicintainya karena tidak mampu memberi keturunan. Ia pun berusaha untuk bangkit dari keterpu...