10. Skenario Sang Pencipta

46 3 0
                                    

Astina mengecup kening adiknya sambil berbisik lembut sebelum pergi. Ia tersenyum saat melihat Afthar menggeliat pelan karena terusik. Setelah subuh ia pun berangkat naik sepeda ontel ke sebuah rumah mewah yang berjarak sekitar sepuluh menit dari kos.

Setelah diperkenalkan oleh salah satu penghuni kos tempatnya tinggal, dia pun kini bekerja untuk menjadi tukang buruh cuci dan menyetrika di rumah tersebut. Bekerja paruh waktu, nanti malamnya Astina berencana akan ke restoran Jepang seperti yang direkomendasikan tetangga kosan kemarin.

Asalkan halal, yakin Astina setiap kali kakinya mengayuh. Demi Afthar, tekadnya kini semakin kuat.

Semalam dia menangis diam-diam. Keadaan Afthar tidak baik, tubuhnya mulai membengkak. Namun, entah mengapa Astina tidak pernah mendengar anak kecil berusia sepuluh tahun itu mengeluh. Ia hanya mendengar adiknya mengucap istigfar lirih.

Ujian untuk Afthar bahkan berkali lipat lebih berat dari apa yang dirasakannya. Astina pun merasa bahwa kenyataan yang kini menderanya tidak ada apa-apanya dibanding apa yang tengah Afthar hadapi. Ia harus kuat, lebih tangguh dari adiknya.

“Selamat pagi, Bu,” sapa Astina ketika pintu pagar tinggi terbuka separuh.

“Mbak Astina?” tanya satu perempuan berseragam keluar, ia memastikan bahwa yang datang seorang pekerja part time seperti tuan rumah pesan padanya.

“Iya, Bu,” jawab Astina mengangguk sopan.

“Panggil aja, Mira,” sahut perempuan itu membukakan pintu dan mengikuti langkah Astina memasuki halaman rumah yang luas dan bangunan mewah tempatnya bekerja mulai hari ini.

“Maaf pagi-pagi sudah datang,” ungkap Astina merasa canggung.

“Nggak apa-apa. Kerjanya ‘kan memang pagi,” jawab perempuan seusia dengannya itu sambil tersenyum.

“Kamu nanti jam delapan sudah harus keluar rumah, ya,” kata Mira memberi tahu.

“Iya, nyonya rumah sudah mewanti-wanti,” sahut Astina membalas senyuman.

“Semua pekerja dipecat sama nyonya rumah karena curiga mau diajak tuan besar selingkuh,” ujarnya menggelengkan kepala. “Karena itu beliau nyari yang kerja cuman part time.”

Astina hanya mengangguk mengerti. Ia pun korban dari perselingkuhan, jadi memahami bagaimana perasaan nyonya rumah saat mengetahui kalau suaminya masih saja tergoda dengan perempuan lain.

”Nggak nyangka yang dateng perempuan lebih cantik dari asisten rumah tangga yang dipecat,“ desis perempuan itu mengagetkan Astina.

Ia menelan ludah gugup. Tidak menyangka akan diberi lontaran kalimatnya tidak terduga seperti itu. Astina hanya diam, tidak berani menyahut.

”Katanya kamu janda juga, ya?“

”Masih menunggu sidang keputusan akhir. Insyaallah minggu depan selesai,“ jawab Astina memandang sekilas wajah Mira kemudian menunduk.

“Sama saja, sudah mau janda,” komentar Mira dengan nada tidak menyenangkan.

Astina segera memarkirkan sepeda di tempat yang ditunjuk Mira. Dadanya berdegup kencang. Astina tidak menyangka reaksi seperti mengajak perang ditunjukkan Mira saat pertama kali ia masuk kerja. Hanya karena statusnya janda? Astina menghela napas dalam.

”Kamu ... kenapa cerai?“ tanya Mira lagi dengan deru napas lebih seperti menahan kesal. Astina hanya bisa tersenyum masam.

”Suamiku ternyata sudah menikah lagi dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku,“ jawab Astina datar.

Dia terpaksa membuka aib agar perempuan itu diam dan tidak lagi memberinya tatapan seolah datang sebagai wanita yang akan menggoda sang majikan. Ia bukanlah perempuan seburuk itu. Meskipun kini akan berstatus janda, tetapi rasa sakit mengajarkan dirinya untuk tidak merebut apa yang dimiliki orang lain. Ia sendiri malah korban dari keganasan pelakor.

”Maaf,“ sahut Mira kemudian dengan wajah menyesal.

Astina hanya mengangguk.

”Mbak cantik banget. Nggak ada yang kurang dari diri Mbak, aku nggak nyangka mata suaminya masih jelalatan,“ komentar Mira dengan wajah bersungut-sungut.

Lagi-lagi Astina hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Itulah mengapa, sesuatu yang buruk dipandang mata kita, ternyata bagus dalam pandangan orang lain.

Fokusnya hanya bekerja untuk mencari uang tidak ada niatan lain. Astina mulai mengerjakan tugas yang sudah disusun dalam daftar yang diberikan Mira. Perempuan itu kini sedang mengasuh seorang anak kecil. Mira mengatakan bahwa anak itu merupakan cucu majikan yang ditinggal orang tuanya yang sudah bercerai. Astina hanya bisa menatap wajah anak itu dengan pandangan iba.

”Aku bercerai karena tidak bisa memberikan seorang anak. Omong kosong! Setelah memiliki anak pun, nyatanya tidak bisa menghentikan sebuah perceraian.“ Astina membatin dengan tangan mengepal kuat.

Ia pun melanjutkan pekerjaan menyortir pakaian sesuai warna dan bahan kemudian memisahkan ke dalam bak cucian. Karena sudah terbiasa melakukannya di rumah, ia pun mengerjakan semua tanpa kesulitan. Astina tahu bagaimana cara memperlakukan pakaian mahal dalam hal mencuci dan menyetrika.

”Sebelum di sini, kamu kerja di mana?“ tanya Mira kini sedang berdiri di belakang Astina yang sedang menyetrika pakaian setelah selesai mencuci dan menjemur.

”Aku ... ehm, ada di sebuah rumah orang kaya juga,“ jawab Astina gugup.

Dia mengingat kembali kehidupannya ketika bersama Aganta. Hatinya terasa nyeri saat mengingat bagaimana baktinya yang tidak lebih dari seorang ibu rumah tangga biasa harus dibandingkan dengan wanita karier mapan seperti Leana.

”Kamu udah profesional banget. Aku suka cara kerja kamu,“ puji Mira dengan wajah yang menandakan kepuasan.

Astina hanya mengangguk kemudian menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum jam delapan. Ia tidak mau menyalahi aturan yang sudah ditetapkan oleh nyonya rumah. Ia benar-benar sedang membutuhkan uang.

Astina melirik sekilas ruangan yang kini ia gunakan untuk bekerja. Tampak rapi dengan nuansa out door yang menyatu dengan bagian kebun di belakangnya. Sangat sejuk saat berada di sana jam enam pagi seperti sekarang ini. Namun, entah mengapa ia merasa nyaman.

”Apa Leana mengurusmu dengan baik? Apa wanita itu tahu bagaimana standar kesempurnaan kamu terhadap penampilan?“ batin Astina sembari menyetrika sebuah kemeja yang ukuran dan merk sama persis dengan yang biasa dipakai Aganta dalam keseharian.

Astina menggeleng pelan. Entah mengapa, berada di rumah ini malah mengingatkan dirinya pada kehidupan yang dijalaninya saat masih bersama Aganta empat tahun ini. Ia pun menjadi kesal sendiri.

”Kamu sarapan dulu, gih,“ ucap Mira kini sudah terlihat memasak di dapur yang terletak di seberang tempatnya menyetrika.

Astina menoleh ke arah Mira yang berdiri membelakanginya, berkutat dengan aktivitas memasak. Mereka hanya dipisahkan oleh taman indah dengan jalan setapak apabila ingin menyeberang ke tempat Mira berada.

”Iya, Mira,“ sahut Astina basa-basi.

Kini ia pun sudah menyelesaikan pekerjaannya. Menyusun pakaian yang sudah disetrika ke tempat yang sudah ditunjukkan oleh Mira sebelumnya. Sebuah area di lantai atas menggunakan lift. Ia menggunakan keranjang khusus sehingga pakaian yang sudah disetrika tidak akan kusut.

Astina berjalan perlahan ketika pintu lift terbuka. Ia saat ini berada di lantai dua. Ia pun dibuat kagum pada sebuah ruangan yang hanya dipisahkan sebuah dinding berbahan kaca transparan, di dalamnya terdapat deretan pakaian berjajar rapi, juga lemari tinggi menjulang. Ia lalu menyusun semua hasil pekerjaannya di dalam sana.

”Ini sih, sudah seperti toko baju,“ gumam Astina memandang deretan kemeja yang digantung dan melewatinya.

Ia kemudian memilah pakaian sesuai bahan dan fungsi. Mungkin bagi sebagian orang ini sangat merepotkan, seperti halnya dalam mengurus Aganta. Tidak ada yang tahu bagaimana cerewetnya Aganta kalau sudah menyangkut kehidupan sehari-hari. Astina pun berharap Leana akan kuat menghadapi sifat Aganta yang dominan.

Setelah selesai menyusun pakaian, Astina kini beralih menuju pintu bercat putih yang berada di sebelah deretan lemari. Ia bermaksud untuk membuka pintu itu karena begitulah pesan dari Mira. Pastikan semua pintu ruangan ganti terbuka agar tidak pengap.

Baru tangannya hendak meraih gagang pintu, alangkah terkejutnya ketika saat itu pula pintu terbuka dari dalam dan menyembul sesosok pria yang sudah rapi tepat di hadapannya. Astina yang terkejut segera mundur kemudian memalingkan wajahnya. Pria yang dilihatnya ternyata belum selesai mengancingkan kemeja putih yang sedang dikenakannya.

”M-maaf!“ Astina segera membalik badan, menghindari beradu tatap dengan pria itu.


**
“Aku tidak mengerti jalan Tuhan dalam memilihkan jodoh yang baik. Yang aku tahu hanya dengan tidak sembarangan mengenal dan tergoda dengan kebaikan seorang pria.” (Astina Yuzniar)

Noted: Mohon maaf, ya teman2 yang membaca novel ini. Bab 11-tamat ada di apk GoodDreamer. Memang bayar koin, tetapi cukup 29 koin aja bisa baca 60 bab, jadi aku harap aku menemukan jejak ulasan kalian di sana. Terima kasih sudah membaca 10 bab yang ada di sini. Semoga rezeki dimudahkan sehingga bisa baca kisah Astina, Althan, dan Aganta di sana. Amiin.

#Bisa dibaca juga dengan cara kumpulin koin free dari bonus log in tiap hari selama 14 hari + top up 1000 rupiah, bisa baca sebanyak 60 bab dalam 30 hari.

Atau bisa juga dengan cara ikuti Give Away yang aku buat, biar bisa baca novel ini serasa gratis. Follow ig @syalayaya untuk lebih jelasnya. Terima kasih banyak yaa. Love you all 🥰🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Imperfect Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang