Di atas tredmill dengan kecepatan sedang, Gavin berlari sembari berpikir, ia tengah menyusun kalimat yang pas untuk berbicara kepada mamanya.Terhitung sudah tepat sebulan di rumah ini, tubuhnya terlihat lebih bugar daripada waktu itu, dan yang paling penting dia tidak pernah pingsan lagi, berarti memang benar penyebab dia pingsan bukan karena penyakit, tetapi Om dan tantenya.
Gavin masih sering bertanya-tanya mengenai hal mengapa mereka tidak akur dengan keluarga dari ayahnya, tetapi Gavin cukup dewasa untuk tidak mencari tahu lebih jauh di saat orang tuanya melarang dia berdekatan dengan mereka.
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, dia harus segera menyelesaikan olahraganya dan mandi, kemudian sarapan bersama, satu hal yang paling dia pelajari dari keluarga ini adalah budaya makan bersama, entah apapun makanannya dan bagaimanapun jenisnya mereka tetap mengusahakan untuk memakannya bersama-sama.
Gavin akan mengutarakan keinginannya, dia akan meminta ijin kepada orang tuanya untuk membuka kafe, setidaknya istirahat selama satu bulan sudah cukup menjadikan dia sebagai anak yang berambisi melakukan hal lainnya, walaupun dia rutin Les drum, dia tetap saja merasa bosan.
Gavin punya banyak rencana termasuk menemui keluarganya yang dulu, jika dia hanya sekadar menemui mereka, itu sama sekali tidak ada gunanya, maka dari itu Gavin memutuskan untuk merancang berbagai macam strategi, diluardugaan Gavin, menjadi orang kaya cukup membuat dia sibuk dan tidak banyak bermain ponsel.
Gavin bahkan sama sekali tidak membuka sosial media, hanya Whats App saja sosial media yang dia gunakan, dia merasa harus meminta ijin kepada orang tuanya jika ingin membuka akun sosial media, dan dia sendiri merasa tidak terlalu perlu itu, lagipula dia tidak mau susah-susah memikirkan alasan lain dia harus membuka akun sosial media.
Harapannya sangat tinggi, beserta ketakutannya tidak diijinkan membuka kafe, Gavin harus menyusun rencana dari nol lagi jika tidak diperbolehkan, setidaknya dia masih punya banyak cara agar mempunyai bisnis yang setidaknya bisa dia bagi untuk keluarga lamanya.
***********
Semua orang tengah berkumpul di ruang tengah, mereka baru saja bangun dari tidur siang, seperti biasa fokus mereka pada ponsel dan i pad yang ada di tangan.
Gavin ikut duduk di tengah mereka yang langsung disambut hangat oleh Maira, tabiatnya, dia memeluk dan mencium pipi Gavin.
"Gavin tadi nyenyak tidur siangnya?" tanyanya lembut sembari mengelus kepala Gavin, "nyenyak kok ma."
Maira tersenyum sambil melihati Gavin, dia masih sering tidak menyangka Gavinnya ada di sini.
Dengan keberanian yang hilang timbul, Gavin langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Emmm aku boleh minjem uang nggak ma?" Gavin mengucapkan kalimat itu dengan jantung yang berdetak kencang.
"Boleh, Gavin mau pinjem berapa?"
"Emmm kayaknya banyak si Ma, Gavin pingin buka kafe." ucapnya hati-hati mengamati raut wajah Maira.
Givanno yang mendengarnya langsung menaruh Ipad dan pindah duduk di sebelah adiknya, "Lu serius mau buka kafe?"
"Serius kak." jawabnya mantap. Gavin melirik ke arah ayahnya dengan ragu-ragu, terlihat Kiano masih sibuk dengan laptopnya.
"Kenapa tiba-tiba pingin buka Kafe?" Givanno Bertanya lagi.
"Aku juga ingin punya hal yang harus aku kerjain, aku pingin punya kesibukan terus karena aku tertarik aja, ingin coba merealisasikan ideku." ucapnya lantang tanpa Jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMETHYST (ON GOING)
Ficción GeneralManis itu candu, baik mudah ataupun sulit, manis selalu menjadi dambaan untuk titik akhir sebuah perjuangan. Seseorang yang seringkali menelan garam, mengunyah kepahitan, dan merasai kehambaran, tetap saja akan merasakan manis di akhir kunyahannya...