BAGIAN 11

1.8K 50 7
                                    

Marla mengibaskan debu dari kakinya. Ia menarik secarik kertas dan menggambar hamparan langit biru. Burung terbang, tidak takut ketinggian. Tetapi tidak semua burung sanggup terbang di saat badai menerjang. Tidak semua manusia bisa menikmati badainya.

Kevin memperhatikan Marla sambil bersandar di ambang pintu. Bukan karena kuat-gagahnya, ia bisa bertahan untuk mendampingi Marla dan sebaliknya pun begitu.

***

Evita melucuti perhiasannya dan menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menapak masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Ia membiarkan dirinya di dalam ketelanjangan dan merasakan kucuran air dari shower membasahinya, mengalir-mengikuti setiap lekuk yang tidak tersembunyi lagi. Tidak semua manusia bisa menerima ketelanjangannya sendiri.

Herman mengendap masuk ke dalam kamar yang pernah menjadi kamarnya bersama dengan Evita. Ia menyendengkan telinganya, mendengar kucuran air dari kamar mandi telah berhenti. Tangisan kecil Evita, terdengar sayup-sayup... ada banyak rahasia hati yang tersembunyi di balik tangisan itu.

Herman meletakkan kotak cincin yang pernah ia dan Evita kenakan dulu, ke atas buffet di samping ranjang. Berharap Evita berubah pikiran. Ia hanya berharap...

Lalu dalam kesunyian, Herman melangkah keluar dari kamar. Sambil lalu, ia memandangi foto keluarga di ruang tengah. Evita masih membiarkan satu foto terbingkai dengan dirinya di situ. Mereka pernah terlihat begitu bahagia. Herman tidak tahu, dimanakah tempat yang terbaik di saat dirinya sendirian, selain kembali bersama keluarganya... itulah, pikirnya.

Selain segala sesuatu yang ada di bumi, hanya mata Tuhan lah yang melihat... kapan ia berdiri, duduk atau berbaring.

***

Kemudian...

Vanya mengakhiri cerita tentang Marla, Kevin, Evita dan Herman. Saat ia berdiri, beberapa pasang tangan menyalaminya dan berkata,

"Selamat, ya. Bola panas sudah membakar semua yang bersalah..."

"Hah?" Vanya mengangakan mulutnya.

"Apa gak ada satu orang pun yang kasih tau kamu?", tanya seorang pemuda.

Vanya menggeleng. Menggeleng lagi. Menggeleng-geleng lagi.

"Bertobatlah!!!", timpal yang lain-lainnya. Vanya memperhatikan bahwa dirinya duduk di sebuah ruang sidang. "Bertobatlah!!!", seru kerumunan orang banyak di dalam ruangan, hingga ke luar pintu.

Vanya disidang tanpa mengetahui, apa yang sebenar-benarnya, menjadi permasalahan di dalam sidang itu.

Beberapa gambar disuguhkan ke depan mata Vanya. Matanya dibuat membelalak untuk melihat warna dan gambar yang telah ditentukan. Bila ia menoleh ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, banyak tangan berusaha membentuk apa yang yang dilihatnya dan dipikirkannya. Beberapa barisan kata-kata juga didengungkan ke telinganya. Telepon genggamnya berdering. Selain banyaknya kata-kata yang melecehkan, banyak pula kata-kata yang menghibur. Vanya ditarik ke kiri, dibetot ke kanan dan melihat banyaklah jari teracung, menuding ke arahnya dan berseru, "Penyesat! Pendosa! Bersalah!!!"

Vanya mendengar palu diketuk dan melihat begitu banyaknya orang yang tidak dikenalnya, tidak duduk bersamanya, tidak berdiri bersamanya, tidak menangis bersamanya, hanya pernah tertawa bersama-sama dengannya di saat ia berdiri tegak, dan kini tertawa terbahak-bahak dengan beramai-ramai. Gagahnya mereka tertawa di dalam kumpulannya yang lebih besar.

Terpejamlah mata Vanya dan membayangkan langit tertutup awan gelap, lalu guntur menggelegar. Di saat terakhir ia menghembuskan nafasnya, air besar pun datang menenggelamkan segala yang ada. Lalu mata Vanya membuka kembali dengan membelalak. Sebersit sinar muncul di kejauhan. Ia diperdengarkan akan suara kegelapan yang tertawa di belakangnya, meledeknya, "Kau kalah!!!"

Lalu sebersit sinar di depannya menyeruak semakin kuat, menampakkan sepasang tangan yang tidak pernah meninggalkannya. Dan sebuah suara yang dikenalnya, berbicara, "Jika kamu semakin membenci, kamu kalah." Tangan itu menunjukkan sebentuk hati yang hampir menghitam, penuh luka dan terlilit duri serta berdarah. Lalu tangan itu melepaskan belitan duri, membasuh luka-luka, kemudian menutup semua yang terbuka menganga. Tangan itu sedang memulihkan, di saat keadaan sangatlah buruk. "Yang tampaknya mustahil... tapi terjadi", kata suara itu lagi.

Vanya mengingat sebuah illustrasi yang ia pakai untuk cerita pertama yang dibuatnya. Ia menuliskannya saat seorang diri saja. Ia pintar mengarang, tetapi tidak pintar menipu. Ia bisa menutupi kesedihannya, tetapi tidak pintar menghalau tudingan 'palsu' atasnya.

Vanya menarik bibirnya untuk tersenyum dan membacakan sajak indah. Karena itulah yang orang-orang mau dengar. Cerita kelamnya, membuat banyak orang merasa... tersinggung.

"Kau menyinggungku!", kata salah satu di antara kerumunan orang banyak itu. "Tidak, dia menyindirku!", sergah yang lainnya. "Salah! Akulah yang dia ceritakan!", seloroh yang lainnya lagi.

Vanya memandangi wajah-wajah mereka. Yang ia kenal, justru sedang bersembunyi. Tetapi yang asing baginya, mengatakan, bahwa ia mengetahui bagaimana mereka duduk, berdiri atau berbaring dan telah menceritakannya pada dunia. Sisanya mengatakan, kalau lagu-lagunya menyesatkan. Ada lagi yang ikut-ikutan bangkit, berhubung orang banyak sedang meramaikannya, mereka pun turut menuntut haknya dengan berkata, "Hak kami, tuntut dia!!!"

Vanya mendengar begitu banyaknya suara. Tetapi tak ada satupun yang benar-benar menjelaskan. Ia bahkan tidak bisa menuntut perempuan muda yang mengetahui, laki-laki yang dipikatnya adalah laki-laki yang beristri. Ia bahkan tidak bisa menuntut perkataan-perkataan menghujat yang mengatakan bahwa seorang laki-laki menikahi perempuannya dengan terpaksa, tanpa mengetahui isi hati si laki-laki yang bersangkutan. Dan mulut-mulut, menghakimi masa mudanya yang kehilangan sosok ayah lalu menyebut dirinya sundal tanpa mengetahui kisahnya. Lalu imajinasinya di dalam cerita dikait-kaitkan dengan siapa dirinya di dalam kehidupan nyatanya. Ada banyak luka goresan di tangannya lalu orang mengatakan bahwa dirinya pemadat. Ada lingkar hitam di bawah matanya lalu orang-orang mengatakan kalau dirinya adalah wanita malam.

Vanya melihat pemadat, pelacur, pendusta, pemberontak dan semua yang terhilang... berdiri di sudut, menatapnya dalam ketidakmengertian yang sama, lalu bertanya, "Apakah tiada tempat juga bagimu?"

Lalu Vanya memutar matanya berkeliling, menyadari... jika semua orang diteliti... tidak satupun didapati tidak pernah berdusta ataupun tidak pernah berkhianat.

Lalu mengapa hatinya menutup dan menjadi malu? Bila ia pun malu, maka demikianlah semua orang. Jika ia bangkit, tanpa diketahui sepasang matapun... atau jika ia bertahan menghadapi semua tamparan, cacian dan makian... maka ia berharap, agar setiap orang pun dikuatkan jika waktunya bagi pengadilan masing-masing orang itu... tiba.

Jika Vanya terus membenci, ia kalah. Tetapi ia berhak menolak apa yang tidak dipilihnya.

Vanya menutup lembaran terakhir dari bukunya dan mengebaskan debu di kakinya. Semua ada waktunya. Baik bagi dirinya, maupun bagi setiap orang. Di bawah langit, manusia tidak berkuasa atas umurnya sendiri. Tetapi manusia bisa menentukan bentuk hatinya... walau untuk sementara. Siapakah yang cukup kuat untuk menjamin bentuknya... takkan pernah berubah... kalau bukan Tuhan yang menjaganya?

Tak terbayang...

***

SELESAI.

TAK TERBAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang