BAGIAN 6

1.6K 39 4
                                    

"Permata!" Marla menyerukannya dengan keterkejutan, di saat matanya membuka di awal harinya. Ia menoleh ke sampingnya dan Kevin sudah tidak ada. Marla juga tidak tahu, sejak kapan ia jatuh tertidur...

Ia langsung melangkahkan kakinya ke dapur dan membuat secangkir kopi. Lalu mereguknya dengan cepat sebelum kantuknya datang menyerang kembali. Kemudian melangkah cepat ke kamar mandi dan membasuh mukanya agar terasa lebih segar. Tak berapa lama kemudian, ia sudah menyalakan TV-nya. Dan lagi-lagi, ia menemukan hal-hal yang dianggapnya aneh...

"Acara udah dimulai?", tanya salah satu tokoh kartun.

"Baru aja. Dia baru bangun, udah ngopi dan udah cuci muka...", sahut tokoh kartun yang lainnya.

Marla terhenyak. Ia menahan nafasnya. Ini pasti... cuma kebetulan, batinnya. Ia mencoba mengingat-ingat pesan Kevin kepadanya, bahwa ia selalu memandang segala sesuatu terpusat pada dirinya sendiri hingga membuatnya menjadi terlalu sensitif terhadap apa yang ia dengar dan ia lihat, seakan semuanya itu ditujukan kepadanya. Ia pun menenangkan dirinya dan mencoba berpikir kalau semuanya baik-baik saja...

"Cuma kebetulan..." Ia menyuarakannya agar terdengar sampai ke telinganya dan masuk ke dalam pikirannya. "Cuma kebetulan...", ulangnya. Lalu ia teringat kembali pada sesuatu yang menjadi sumber ketakutannya...

"Permata!", serunya. Terakhir ia melihatnya, benda itu masih tergolek di dalam sebuah kotak sepatu. Dan kotak sepatu itu ada di ruang tengah. Marla pun menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan, mencari-carinya. Tetapi tidak ada. Ia membekap kedua pipinya sendiri dan bertambahlah kekalutannya. "Ini aneh!", serunya. "Ini bukan kebetulan!" Kemudian ia teringat pada kata-kata Kevin, "Semuanya cuma perasaan kamu aja..."

Marla menarik nafasnya. "Cuma perasaan aja. Aku terlalu pake perasaan... cuma kebetulan..." Marla mencoba menarik sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum sambil jemarinya menyalakan TV. Lalu kalimat pertama dalam acara lawakan yang ia dengar adalah, "Orang aneh. Pencuri. Gak mau berubah juga, ya..."

"ap... apa?!" Marla kembali terhenyak. Ia pun mengganti salurannya ke film kartun. Dan mendengar dialog berikutnya, "Berleha-leha. Enaknya... menyimpan sesuatuuuu..."

"ap... apa?!" Marla mengganti saluran TV-nya lagi lalu mendengar ketukan di pintu rumahnya. Marla pun melangkah ke pintu dan melihat seseorang tersenyum manis padanya di muka teras. "Maaf, bu. Saya mau menawar,-"

"Sales, ya?", tembak Marla langsung. Wajahnya sudah terlihat tegang. "Kepala tabung gas? Washer untuk mobil? Parfum? Jam tangan?", berondong Marla dengan wajah yang sudah tidak ramah. Matanya menyisir ke tangan tamunya itu. Marla sudah melangkah mundur untuk mengantisipasi bila dirinya diserang. Ketakutannya sudah mencapai puncaknya.

Pemuda di hadapannya menggeleng, sambil bibirnya tetap tersenyum. "Bukan, bu. Saya mau tawarin buku untuk menenangkan hati. Coba diliat dulu, bu..."

"Menenangkan hati?" Mata Marla mulai berbinar. Ia pun mendekat kembali.

"Iya, bu. Ini bagus untuk menenangkan diri dari apa yang ibu simpan di,-" Belum juga kalimat pemuda itu selesai, wajah Marla sudah berubah garang. "Apa?! Kamu bilang apa?!!!"

"eh..." Si pemuda itu terlihat kebingungan. "Ini untuk masalah-masalah yang sekiranya tersimpan di hati dan mungkin ibu bu,-"

"Keluar!!!", bentak Marla dengan tangan yang sudah menunjuk ke arah pagar rumahnya. "Kamu juga mempermainkan saya?!!!"

Si pemuda itu pun terlihat semakin kebingungan. "ng... bu... tapi saya cuma ma,-"

"KELUAAAARRR!!!" Suara Marla sudah menggelegar. Beberapa orang yang kebetulan berlalu-lalang di depan rumahnya, sudah menoleh dan memperhatikan wajahnya yang berubah merah dan tampak menyeramkan. Marla sudah terlihat seperti seorang penindas yang merendahkan para pekerja kecil.

TAK TERBAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang