BAGIAN 2

3.1K 66 6
                                    

"Injek pedal gasnya!" Kevin sudah berteriak dengan tidak sabarnya pada Marla. Mobil yang Marla setir, tidak bisa meluncur dengan mulus. "Injek gasnya!", kata Kevin lagi dengan suara yang lebih kencang. Dan itu semakin membuat Marla panik. Dengan spontan, Marla menginjak pedal gas mobil dengan sedikit lebih kuat. Namun ketakutannya datang menyergap. Ia pun cepat-cepat menginjak rem-nya.

NGIIIIIKKK...

Roda-roda mobil mendadak berhenti. Terpaksa. Decitan dan kepulan debu yang terhempas, seakan mengibarkan panji-panji keraguan Marla di dalam menyetir mobil barunya.

Kevin melengos. Ia sudah memicingkan matanya ke arah Marla yang rambutnya sudah semrawutan ke berbagai arah menjelang... ke kanan, ke kiri dan ke beberapa arah barat daya, juga ke beberapa arah yang sulit digambarkan... kemana sesungguhnya, helaian demi helaian rambut itu mau berkibar.

Kevin tertawa kecil. Ia hanya melihat rambut Marla... semrawut, dan tidak tahu bagaimana merumuskan tampilan itu sebagai Marla yang biasanya.

"heee..." Marla bersuara seperti itu. Sepertinya tersenyum, meski lebih mirip cengengesan.

"Kamu..." Suara kevin terhenti. Mata bulatnya mendadak turun separuh untuk menyipit. "Ikutin lagi instruksiku, yah..."

Marla menarik nafasnya. Ia melirik lagi pada Kevin. Ia mengenal Kevin. Ia pun merasa lebih tenang. Kemudian Marla melihat ke depan lagi dan merengkuhkan jemarinya untuk memegang setirnya dengan lebih kuat.

"Pindahin dulu dari,-" Belum juga Kevin menyelesaikan kalimatnya, Marla sudah mulai melajukan mobilnya.

Kevin memperhatikan. Kemudian, menyuruh Marla menginjak pedal gasnya dengan lebih berani lagi, namun terarah dengan jelas...

Marla menginjak pedal gas... sedikit lagi. Mobil pun melaju... seperti keong.

"Injek lebih lagi!", kata kevin, kembali tidak sabar.

Marla menginjak pedal gas dengan lebih kuat... sedikit. Dan lajunya, lebih cepat sedikit dari keong.

"Injek lebih lagi!!!", kata Kevin. Ia sudah meremas kepalanya sendiri. Kini, rambutnya lah yang berkibaran tak tentu arah. Sebagian besar, terlalu banyak mengibar ke kiri. Membuat gaya rambut spike-nya menjadi belahan rambut ala "poni samping', ketika angin berhenti membuatnya berkibar merdeka dan tampilannya pun jadi mendadak lunglai. Siapapun yang melihatnya, akan ikut memiringkan kepalanya untuk mencari jejak dari setiap helaian rambut itu.

Marla menoleh pada Kevin dengan ragu-ragu. "Ini... udah diinjek, say... kurang?"

Kevin merasakan laju mobil yang dikemudikan Marla... terasa berkelak-kelok dan plintat-plintut karena terlalu lambat.

"abecede'e'ep'geeeee...", gerutu Kevin sambil menemplak keningnya. Ia melihat seseorang dengan sepeda tuanya, baru saja membalap kendaraan beroda empat yang ditumpanginya. Jarinya sudah menuding-nuding ke arah sepeda tua yang melaju dengan nyamannya... terus menjauh, mendahului ke depan. "Noh! Tuh, liat! Dia gowessss... meluncur... ini, tinggal diinjek aja, jalan..."

"ini 'kan jalan...", sahut Marla. Ia celingukan sejenak, melongok keluar jendela mobil, memastikan bagaimana angin menghempas rambutnya dengan cukup kencang. "Kamu 'gak rasa'in anginnya kenceng? Itu artinya, jalannya udah cukup kenceng...", sambungnya kalem.

Kevin menggeleng-gelengkan kepalanya. "oh, Marla... itu karena anginnya yang emang kenceng, baik ni' mobil jalan... ataupun 'gak jalaaaaan..." Kevin sudah mengganyang sebutir permen rasa mint. Ia menghirup kesegaran rasa dan aroma yang menyeruak di seisi mulutnya itu.

Marla menginjak pedal gas mobil, dengan lebih lagi...

"Bagus..." Kevin tersenyum. "Pegang setirnya, jangan ragu-ragu. Pake feeling, dong..."

"Feeling? Gimana?" Marla mengerenyitkan keningnya. "Kalo pegang-pegang kamu pake piling, aku paham. Tapi kalo pegang setir... baru kali ini, nih..."

Kevin sudah melenggakkan kepalanya ke belakang. Ia tertawa dengan geli. "Ke kiri, say... kiri...", Kevin memberikan instruksi lagi di saat Marla melajukan mobilnya terlalu ke kanan. "Marla sayang, kiri... kiri!" Kevin sudah berteriak.

"Udah..." Marla merasakan kedua tangannya sudah menggerakkan setirnya ke kiri.

"Kurang kiri!" Kevin sudah menyentak. "Kiri, Mar!" Kevin sudah meluncurkan tangannya untuk mengalihkan setir mobil agar lajunya jangan menyeruduk ke trotoar. "Tinggal belokin kayak gini aja, susah banget, sih!", bentak Kevin. "Kamu 'ngerti, 'gak?!!!" Suaranya sudah semakin kencang.

"Hah? Apa?" Marla menarik sesuatu dari balik rambut panjangnya. Earphone.

"Hah?" Kevin terhenyak. "Dari kapan kamu pake earphone???"

"Dari tadiiiiii...", sahut Marla enteng.

"Kamu denger aku 'ngomong? Dari tadi?" Mata Kevin sudah membelalak.

"Aku bukannya denger. Aku baca gerakan mulut kamu..." Marla sudah terkekeh.

"oh... astaga!!!" Kevin menemplak keningnya. Satu tangannya sudah menjauhkan earphone dan ipod yang tersisip di dalam saku kemeja Marla. "Jangan denger musik di saat lagi belajar nyetir mobil!", kata Kevin, berang.

"Boleh aku denger musik di saat bercinta?" Marla mengerlingkan mata kirinya. "Itu menambah gairah?"

Kevin mematut dirinya di kaca spion. Mengembalikan tatanan rambutnya ke gaya spike. "Boleh...", sahutnya. "Mari putar haluan dulu ke rumah, yuk..."

"ah?"

"Kamu mau denger musik? Aku mau bercinta...", sahut Kevin sambil cengengesan.

Marla langsung melekatkan jari telunjuknya ke bibirnya. "ssssttt... jangan membicarakan hal pribadi di tempat umum. Nanti, ada yang denger..."

"Mereka 'gak akan denger kalo 'gak nguping...", sahut Kevin. "Ini mobil kita. Asal kamu jangan nabrak orang, ya..."

Marla menggeleng cepat.

Tiba-tiba, suara di radio mobil pun mengudara, "Saya 'gak 'nguping!!!"

Marla hanya saling bertukar pandang dengan Kevin. "Itu cuma kebetulan..." kata Kevin sambil mengibaskan tangannya. "Gak usah parno."

Marla mengangguk kecil. Ia mencoba melupakan bagaimana dirinya pernah begitu paranoid akan segala sesuatu. Kevin membelai pipinya sambil tersenyum. "Semua akan baik-baik aja...", katanya.

***

TAK TERBAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang