BAGIAN 9

1.4K 39 4
                                    

Kevin melemparkan senyumannya jauh ke depan, ke arah Evita yang datang menghampirinya.

"Berangkat sekarang?", tanya Evita, setelah menapakkan kakinya tepat di hadapan Kevin.

Kevin mengangguk. "Tunggu, ya..." Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan beberapa menit kemudian, ia kembali keluar bersama Marla. Wajahnya tidak berpaling sedikitpun, terus saja memperhatikan langkah kaki Marla agar jangan terantuk apapun juga dan terjatuh.

Evita mengangakan mulutnya. "Marla..." Evita mengingat-ingat...

Marla harusnya dirawat. Hari ini, harusnya Evita pergi bersama Kevin ke acara gathering kantor mereka, berdua saja. Bukan bertiga.

Kevin sudah membawa Marla sampai ke sisi kanan badan mobil, di mana Evita berdiri. "Marla... hai..." Evita memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Apa kabar?" Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya. "Saya pikir, kamu... ng... masih..." Kalimat Evita menggantung.

"Aku tau apa yang kamu lakukan selama ini. Terima kasih." Marla menyambung cepat.

Evita menahan nafasnya sejenak. "ng..." Ia mencoba tersenyum dengan lebih lepas. "Maksudnya... apa, ya?" Matanya sudah enggan untuk terus bertatapan dengan mata Marla yang menatapnya tanpa prasangka.

"Aku tau..." Marla tersenyum. "Kevin juga sependapat. Terima kasih..."

Evita menarik kedua sudut bibirnya hingga senyumnya benar-benar surut dan sirna. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. "Kalian tau... apa'an?", tanya Evita lagi untuk mempertegas. Ini pasti cuma pancingan, batinnya.

"Ada deeeh...", sahut kevin sambil terkekeh. "Poko'nya, kamu tunggu aja kejutannya. Kami sangat sangat sangat berterima kasih sama kamu..."

Evita mencoba menarik sudut-sudut bibirnya ke atas untuk ikut tertawa. Tetapi tawanya terdengar kaku dan dibuat-buat. "Kalian ngomong apa, sih? Saya paling 'gak suka yang sembunyi-sembunyi gini, nih...", kata Evita lagi.

"Kamu juga suka sembunyi-sembunyi...", sahut Marla. Senyumnya terkembang semakin lebar. "Sekarang, saya udah pulang dan bersama-sama Kevin lagi. Terima kasih, ya..."

"Maksudnya apa, ya?" Evita mulai terdengar tidak senang.

Tetapi Kevin dan Marla tidak menjawabnya. Mereka mengajak Evita untuk langsung masuk ke dalam mobil dan berangkat. Tetapi Evita langsung saja beralasan, "ng... saya... ada yang kelupaan di rumah. Kalian aja, deh... duluan..."

"Gak apa-apa. Saya anter ke rumah kamu dulu... mau ambil apa?" Kevin menawarkan. Tetapi Evita menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Enggak. Beneran. Kalian berangkat aja duluan..." Ia memaksakan dirinya untuk tertawa lagi.

Kevin dan Marla pun berangkat ke acara gathering kantor. Sementara Evita kembali ke rumahnya dengan taksi.

Evita termenung di sepanjang jalannya. Lalu mendengar lantunan lagu dari telepon genggam si supir taksi. "Halo..." Si supir mengangkat telepon genggamnya. "Iya. Saya tau apa yang dia lakukan. Terima kasih, ya..." NIT. Telepon dimatikan.

Evita terdiam sejenak. Ini... cuma kebetulan, batinnya. Ia melirik ke luar jendela sambil menghela nafasnya dan menenangkan dirinya. Ia merogoh isi tas kecilnya dan menarik keluar sebuah permata bening sebesar ibu jari. Tak ada yang istimewa dengan benda itu. Selain ketakutan bagi yang menyimpannya. Marla takut karna dia tau..., Evita membatin, dia udah ngembat perhiasannya Stella.

Belum juga Evita selesai berkutat dengan pemikiran dan kesimpulan-kesimpulannya, telepon genggamnya berbunyi. Nama Stella muncul pada layar. Evita mengangkat telepon genggamnya dan bersuara, "Halo..."

TAK TERBAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang