"Kamu lagi! Mana Kara? Terlambat lagi? Beneran akan aku pecat dia!"Jaka langsung memuntahkan kemarahannya saat Sheila masuk ruang kerjanya, dengan wajah takut-takut Sheila menjawab.
"Bu Kara cuti Pak."
"Siapa yang kasi dia ijin cuti? Cuti itu diajukan dulu oleh bagian HRD padaku, kalo aku ACC baru boleh cuti! Suru ke sini Bu Susi!"
"Tapi Pak Bu Kara sakit, makanya Bu Susi langsung kasi ijin, itu yang saya tahu, dan saat ini Bu Kara ada di klinik, sejak semalam beliau sudah masuk IRD."
Dan seketika Jaka terdiam, ia ingat jika dirinya memberikan wewenang pada Bu Susi selaku manajer di bagian HRD jika karyawan memang dalam kondisi darurat maka cuti akan diberikan tanpa menunggu ACC darinya hanya sesegera mungkin biasanya Bu Susi akan memberi tahu tiap kali ada cuti dalam kondisi tertentu. Ternyata benar tak lama Bu Susi masuk ke ruangnya.
"Maaf Pak, saya memberikan ijin cuti sakit pada Bu Kara karena semalam ia muntah-muntah, saya sempat mendampingi dia ke klinik terdekat karena dia sempat menelepon saya dan saya segera datang kebetulan perumahan yang dia tempati saat ini tidak jauh dari rumah saya. Saya hanya khawatir dia gegar otak ringan saat jatuh dari ojol itu kan kepalanya sempat terbentur aspal meski tidak keras tapi kan namanya kepala ya takut ada apa-apa dan ini ijin cuti Bu Kara, saya khawatir penangan untuk Bu Kara akan agak lama di klinik itu."
Jaka terdiam sejenak lalu menatap wanita yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya lalu menatap map yang ada di depannya sekilas dan kembali menatap Bu Susi.
"Ya, terima kasih pemberitahuan Ibu, lalu dia sama siapa sekarang? Nggak ada yang nungguin?" Suara Jaka semakin merendah.
"Dia sendirian Pak, dia tidak mau ibunya tahu, dia tidak ingin ibunya yang sudah berumur jadi kepikiran lagi, kan dia baru saja bercerai jadi intinya tidak mau menambah beban pikiran ibunya dengan kabar sakitnya dia."
"Coba Bu Susi nyuru siapalah di sini yang bisa nungguin dia di klinik, kalo ada apa-apa gimana?"
"Tidak apa-apa Pak, kliniknya bagus kok, in shaa Allah dia akan baik-baik saja."
Jaka mengangguk.
"Baiklah, terima kasih dan silakan Ibu kembali bekerja."
Dan tinggallah Sheila yang kembali terlihat takut saat Bu Susi telah ke luar dari ruangan Jaka.
"Jadi ingat, mulai hari ini kamu yang menggantikan tugas-tugas Kara, jangan ada salah!"
"Iya, Pak."
.
.
.Kara membuka matanya saat ia mendengar langkah mendekat, tanpa melihat pun ia hafal itu langkah siapa.
"Kalo Bapak mau marah jangan sekarang, saya nggak punya energi buat ngelawan Bapak."
Suara lemah Kara disahuti Jaka dengan berdecak.
"Otakmu betul-betul geser, bosmu ke sini untuk menjenguk dan berempati malah disambut dengan ucapan kayak gitu, aku juga nggak mood marah-marah."
"Kayaknya Bapak tidak perlu mood kalo mau marah-marah, bisa kapan saja dan di mana saja."
"Kamu sakit tapi masih saja pedas ucapanmu."
"Sudahlah Pak, saya mau istirahat, Bapak kalo mau marah-marah lanjut aja, saya dengarkan."
"Yang judes duluan kan kamu, aku tinggal lanjutkan aja, tuh aku bawain buah sama roti dan entah apa lagi, Sheila, taruk aja, kamu diem aja dari tadi sambil pegang itu bawaan."
Dengan gugup Sheila meletakkan apa yang ia bawa di meja kecil tak jauh dari brangkar tempat Kara berbaring.
"Udah kamu tunggu di mobil sama sopir."
Dan Sheila mengangguk lalu meninggalkan keduanya.
"Bapak nggak balik aja sekalian?"
Terdengar helaan napas Jaka.
"Singkirkan pikiran negatifmu! Biar cepat sembuh dan waras apalagi yang kena otak kamu, itu peringatan agar otak kamu benar-benar nggak geser gara-gara marah-marah terus sama bosmu!"
Akhirnya Kara menggerakkan sedikit kepalanya, ia menatap Jaka yang juga menatapnya tanpa senyum.
"Nggak kebalik itu nasihat Pak? Otak saya baik-baik saja Alhamdulillah meski mungkin hanya gegar otak ringan nggak akan mempengaruhi kinerja dan semua sistem koordinasi tubuh saya. Bapak itu yang perlu periksa kali aja perlu mencari obat agar sehat jasmani dan rohani Bapak gara-gara lama nggak terpenuhi kebutuhan batin, cepet cari istri Pak biar nggak selalu marah-marah karena lama dah nggak gituan."
Dan wajah Jaka memerah, gerahamnya terjatuh erat.
"Kamu ...!
Jaka segera ke luar dari ruangan Kara yang terlihat menahan tawa saat bosnya tak lagi ngoceh di hadapannya.
.
.
."Kamu kenapa dari tadi ngomel aja Jaka? Ibu dari tadi mau masuk ke ruang kerjamu jadi mikir tapi lama-lama gerutuanmu aneh makanya maaf ibu masuk ke ruangan ini karena sejak sampai di rumah wajah kamu nggak sabar dan menahan marah."
Sarita duduk tak jauh dari anaknya yang malam itu mengenakan kaos dan celana berbahan katun, berdiri menatap jejeran buku yang tersusun rapi di ruang kerjanya lalu menoleh, menatap mamanya yang juga menatapnya.
"Beneran janda oleng, udah dijenguk malah aku masih dikata-katain, kurang ajar bener."
"Kamu dari kemarin ngomong janda oleng terus, siapa janda oleng itu?"
"Kara."
"Kara sekretarismu?"
"Siapa lagi."
"Loh kok kamu bilang janda, memangnya dia ..."
Jaka mengangguk lalu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya.
"Iya Ma, dia sudah bercerai, sungguh mengenaskan, pacaran tujuh tahun eh nikah baru satu tahun sudah cerai, suaminya ada main sama sahabatnya dan Kara yang memilih pergi."
"Ah kasihan anak itu, dia anak yang baik, aku ingat jika ada syukuran atau yah makan-makan lah di rumah ini dia nggak segan juga turun ke dapur bantu-bantu apa aja, sama almarhumah istri kamu dia juga cepat akrab."
"Tapi dia berubah sejak bercerai, kalo aku marahin dia balik marah dengan kata-kata pedas! Tadi ini yang bikin aku beneran marah, dia bilang aku suru periksa khawatir karena aku lama nggak gituan jadi mudah marah, kurang ajar bener mulutnya."
Dan Sarita terkekeh pelan, Jaka menatap tak suka ke arah mamanya.
"Mama malah ikut tertawa, itu nggak lucu, itu pelecehan."
"Aku malah berpikir omongan Kara ada benarnya."
"Maaa."
"Tunggu dengarkan mama, sejak Nadinda meninggal, kamu tidak lagi berwajah cerah dan ramah, kamu jadi mudah marah dan ini sudah masuk tahun ketiga istrimu meninggal, laki-laki pada umumnya akan cepat mencari pengganti lah kamu masiiih begini-begini saja, ya betul juga dugaan Kara gara-gara lama tidak terpenuhi kebutuhan yang satu itu, kamu masih mudah marahJaka carilah wanita yang cocok denganmu."
Jaka masih saja diam, ia tak habis pikir mengapa mamanya justru punya pikiran sama dengan Kara, meski terkadang keinginan itu timbul bagi Jaka bukan kebutuhan wajib lagi saat ia ingat wajah pucat istrinya yang terpejam dalam kesunyian.
"Dan mama berpikir Kara akan jadi pendamping yang tepat untuk kamu Jaka."
"Apa? NGGAK! Nggak akan pernah dan nggak terlintas dalam pikiranku Ma, jika dia yang akan menggantikan Nadinda."
🥀🥀🥀
22 November 2022 (04.51)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jandu (Janda Duda Gagal Move on)
HumorSudah Terbit Cover by @Lsaywong Jaka Aleyandra Mahara selalu berseteru dengan sekretarisnya Karamiya Kamaratanti sejak wanita yang ia anggap cekatan malah sering terlihat amburadul pekerjaannya akibat bercerai dengan suaminya, lalu bagaimana kisah p...