5

434 139 48
                                    


Jaka diam saja bahkan cenderung bingung saat sampai di mobil setelah mereka memutuskan segera pergi dari acara malam itu meski acara belum selesai, Kara tiba-tiba saja menangis. Ia tutup wajahnya, bahunya naik turun, sesekali isak tangisnya terdengar. Jaka meraih tisu beberapa lembar lalu menyodorkannya pada Kara.

"Ini tisu, hapus dulu air matamu, maaf aku nggak tahu mau ngomong apa karena istriku tidak pernah menangis, selalu tersenyum dan tiba-tiba saja meninggal, nggak pernah nyusahin aku dia, sekalinya bikin sudah kok ya meninggal sampe sulit move on."

Kara meraih tisu dari tangan Jaka dan mengusap pelan mata dan hidungnya.

"Saya merasa sakit Pak, sakit banget karena mereka tega banget main di belakang saya, sahabat dan suami saya."

"Mantan."

"Iya sih."

"Kalo udah nangisnya mendingan kita pulang."

"Muter-muter aja dulu Pak, saya suntuk."

"Enak aja, kayak nyuruh sopir, aku ini bosmu."

"Serah deh Pak, makanya istri Bapak cepet meninggal lah punya suami nggak mesra sama sekali, paling pas begituan nggak ada foreplay-foreplayan, naik aja dan selesai."

Jaka menatap ngeri pada Kara, ia tak percaya Kara tiba-tiba berbicara hal yang dia anggap tak pantas.

"Dikira kuda kali main naik, tumben kamu ngomong kayak gitu? Gara-gara lihat mantan sama tumbuhan berdaging jadi rada mesum otak kamu."

Kara menghapus sisa air matanya, ia menoleh sekilas lalu kembali menatap jalanan yang entah mengapa tiba-tiba hujan turun.

"Tuh kan Pak, alam aja ngerti kalo saya sedih jadi turun hujan."

"Halah, emang musimnya, bukan gara-gara kamu lihat pasangan serasi itu."

"Kok?" Kara menatap penuh tanya pada Jaka.

"Kamu harusnya bersyukur tahu lebih awal, aku dapat informasi dari orang-orangku, mereka sudah lama melakukan hal tak benar dalam berbisnis, kamu untung segera tahu sebelum dibuang, jadi mereka memang satu tempat kerja kan?"

"Iya."

"Dan kamu percaya banget sama sahabat kamu, jadi mereka telah lama hidup serumah dan mantan kamu memanfaatkan tubuh wanita itu untuk meloloskan semua transaksi bisnisnya, gila kan? Perlahan tapi pasti posisi mantan kamu di kantornya memang naik dengan jalan kotor, dan kamu hanya dijadikan status saja oleh mantan kamu, bodoh dan lugu beneran kamu."

Kara menggeleng pelan, ia tetap tak percaya pada ucapan Jaka.

"Nggak mungkin Pak, dia laki-laki baik awalnya, saya tetap suci hingga kami menikah, tapi entah setan apa yang merasukinya ..."

"Nggak akan ada orang baik yang hanya memanfaatkan dua wanita, satu dijadikan status palsu padahal dah tahunan pacaran dan satunya hanya dijadikan umpan, herannya kok ya dua-duanya nggak sadar kalo laki-laki itu licik, dan yang jelas kamu akan tetap dibiarkan suci lah dia sudah dapat jatah tidur dari sahabat kamu."

"Nggak mungkin! Sahabat saya punya pacar juga saat itu!"

"Itu juga hanya kamuflase, kasihan kamu Kara, dibohongi kok bertahun-tahun, saat miskin dia sama kamu, tapi saat sudah berduit kamu akan disingkirkan hanya untungnya ketahuan duluan, dan bodohnya kamu meninggalkan rumah kalian padahal itu milik kamu."

Kara menutup telinganya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya semua kata-kata Jaka.

"Terserah kamu percaya atau tidak tapi orang-orangku punya data lengkap, jika saatnya tiba akan aku beberkan pada bos mantanmu, jika orang yang dia percaya menikam dia dari belakang, bosnya bego juga, terlalu percaya sama mantan kamu, makanya aku nggak mudah percaya sekali pun itu orang yang sudah tahunan ada di sekitarku, termasuk kamu."

"Saya nggak peduli, malam ini saya hanya ingin tenang Pak."

"Ok, ikut aku, aku yakin kamu akan tenang 100%."

"Kita mau ke mana Pak?"

"Ke rumahku!"

"Paaak!"

"Apaaa!"

.
.
.

Jaka melihat senyum bahagia mamanya saat ia datang bersama Kara, wanita paruh baya itu memeluk erat Kara.

"Titip Jaka, dia beneran nggak akan dengarkan aku, Kara, ingatkan makan dan istirahatnya."

Kara hanya mengangguk ragu, ia tak mengerti mengapa ia dibawa ke rumah bosnya malam ini.

Setelah saling melepas pelukan keduanya duduk, Jaka duduk di dekat Kara.

"Ma, ada yang mau aku sampaikan sama Mama, tadi kami sempat diskusi lama, aku tahu ini nggak mudah bagi kami tapi kami akan mencoba."

Sarita menatap Jaka dengan tatapan bingung, lebih-lebih Kara.

"Maksudmu?"

"Kami, aku dan Kara memutuskan untuk menikah setelah masa iddah Kara selesai."

Dan mata Kara terbelalak kaget, ia menatap mata Jaka dengan tatapan protes, Jaka menatap tajam sejenak ke arah Kara lalu kembali menatap lembut pada mamanya, ia melihat mata wanita paruh baya itu basah, Jaka melihat mamanya mengangguk tanpa bersuara, lalu meraih tangan Kara, ia tepuk berulang punggung tangan Kara.

"Sejak awal aku bilang padanya, Kara, kamu akan cocok jika menjadi pendamping Jaka, awalnya dia seperti menolak tapi aku tahu dan yakin hal ini akan terjadi, terima kasih kamu bersedia, meski aku juga punya keyakinan kamu masih belum 100% pada anakku, tapi dia laki-laki baik dan bertanggung jawab Kara, jika mencintai wanita maka dia akan selamanya mencintai wanita itu, ah aku bahagia Jaka, mama nggak khawatir lagi kamu akan selamanya sendiri."

Setelah terlibat percakapan ringan akhirnya Kara pamit, Sarita sekali lagi memeluk Kara dan mengucap terima kasih berulang.

.
.
.

"Berat banget bayaran saya Pak, masa Bapak hanya nolongin saya kayak tadi pas ketemu mantan, saya harus jadi ..."

"Dengarkan aku." Jaka mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Ini hanya sebuah kesepakatan, kita tidak akan benar-benar menikah, kita bisa mengulur waktu dengan berbagai alasan, aku tahu jika hati dan otakmu masih pada laki-laki tolol itu, aku juga begitu masih sulit melupakan mendiang istriku yang cantik dan lembut, aku hanya ingin membahagiakan mama, aku nggak mau mama bernasib seperti istriku yang tak sempat aku bahagiakan, jadi kita hanya pura-pura dekat saja, jika kita di rumahku, ingat hanya di rumahku, di kantor? Nggak!"

"Alhamdulillah, nggak usah melotot Pak, saya juga nggak ingin nikah sama Bapak, nggak kebayang hidup sama laki-laki kayak Bapak, pasti sunyi, sepi, sendiri plus kedinginan."

"Jangan menghina kamu! Semoga kamu beneran jatuh cinta sama aku!"

"Amit-amit!"

"Heh siapa juga yang mau sama kamu, kalo nggak karena mama yang penyakit diabetnya sudah mengganggu fungsi ginjal dan jantungnya, aku nggak akan buat kesepakatan ini."

Dan Kara terkejut, ia menoleh, menatap Jaka agak lama.

"Udaaah nggak usah lihat aku terus, ntar jatuh cinta beneran dan pingin ngelus-ngelus brewokku."

"Innalilahi Paaak, saya hanya kaget pada kondisi ibu dan ikut prihatin, bukan terpesona sama Bapak, ya Allah jadi orang kok PD amat."

💗💗💗

25 November 2022 (05.30)

Jandu (Janda Duda Gagal Move on) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang