6

440 130 30
                                    


"Sering-seringlah bawa Kara ke rumah ini Jaka, agar mama tidak kesepian dan ada teman bicara."

Jaka terhenti di depan pintu kamarnya saat mamanya mencegatnya dengan ucapan yang membuatnya berpikir jika mamanya pasti akan berharap ia cepat-cepat menikahi Kara.

"Duduklah dulu."

Mau tak mau Jaka mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamarnya, setelah seharian ia kembali bergelut dengan pekerjaan dan pastinya Kara yang seperti biasa selalu membantah saat berbicara dengannya.

Jaka duduk tak jauh dari mamanya, lalu menatap wanita yang kini semakin gencar selalu menanyakan bagaimana keadaan Kara hingga terkadang menitipkan makanan untuk Kara. Jaka sering merasa tak enak tapi mau apa lagi? Ia tak ada alasan untuk menolak karena ini bagian dari skenarionya agar terlihat wajar di depan mamanya.

"Mama kan ada perawat yang setiap hari menemani Mama, mengontrol pola makan Mama, menyuntikkan insulin untuk Mama, kan Mama bisa ngobrol sama dia?"

Sarita menggeleng pelan.

"Asih anak yang baik, dia kayak istrimu, pendiam dan hanya bekerja, jika tidak aku ajak bicara ya dia tidak akan bicara, tapi Kara dia bisa mencari bahan pembicaraan yang membuat mama betah di dekatnya, ingat Jaka dia sudah lama jadi sekretarismu jadi aku tahu bagaimana Kara."

Jaka menghela napas berat.

"Ma, kami baru taraf pendekatan, meski kami punya rencana menikah tapi tak serta Merta bisa terlalu dekat apalagi sampai sering-sering membawanya ke sini, aku sangat yakin dia masih sangat mencintai manta suaminya, dan aku juga sesekali masih saja ingat almarhumah istriku, selalu membandingkan Kara dan mendiang istriku yang sangat lembut, hanya tersenyum, sedang Kara, dia selalu melawan, kadang aku lelah juga menghadapi dia."

"Bukannya kamu yang sering marah-marah? Perfeksionis, itu kamu! Aku yakin Kara tidak seperti yang sering kamu ceritakan pada mama, paling ya kamunya saja yang nuntut ini itu sama Kara, jadi ya benerlah Kara melawan."

"Kan demi kebaikan perusahaan Ma."

"Tapi tidak dengan cara marah-marah, kamu tidak akan menemukan sekretaris sepandai Kara, dan juga betah di sisimu yang selalu saja menghardik tiap kali ada yang tidak cocok bagimu."

"Kara mengadu apa saja sama Mama? Kok kayak tahu semua hal?"

"Tidak mengadu, aku yang bertanya."

.
.
.

Keesokan harinya saat Jaka kembali berada di kantor, setelah selesai melihat apa saja kegiatannya hari ini ia dudukkan Kara di depannya, di seberang mejanya. Ia tatap mata Kara yang juga menatapnya.

"Mama ingin kamu sering ke rumah, tapi aku yang nggak mau, aku beralasan kita masih belum punya hubungan apa-apa masih dalam taraf saling menjajaki, tapi mama tidak mau tahu, dia merasa cocok bicara sama kamu dari pada perawatnya yang pendiam."

Kara hanya mengangguk lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, Jaka mengerutkan keningnya.

"Kalau saya pribadi tidak masalah Bapak membawa saya ke rumah Bapak, toh saya bicara dengan Ibu, wanita yang meski jarak usianya jauh dengan saya tapi menyenangkan dan mengasikkan jika sudah mengobrol, Ibu bisa diajak ngobrol apa saja."

Jaka tertawa mengejek.

"Iya termasuk melaporkan semua apa yang terjadi sama mama, kamu kayak anak kecil."

Kara menatap tak mengerti.

"Bapak bicara apa? Saya bukan tipe pengadu, lagian apa untungnya saya ngomongin Bapak ke Ibu? Saya tidak ikut seleksi calon mantu idaman?"

Jandu (Janda Duda Gagal Move on) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang