Prelude

100 9 0
                                    

Halo, ini Hayi lagi.

Kali ini aku mau bawain sebuah fic yg lahir dari 'oh, gimana kalo abis hengkang dari volly Sachi justru pergi? Gimana kepergian Sachi dari pandangan Lorai sendiri?' dan meski font covernya mirip universe sebelah, janji di fic ini enggak ada yg mati✌️

I write this story just because, i want to ;)

Playlist untuk fic ini bisa ditemukan di akun Spotify heitheresweetie, judulnya sorak-sorai untuk sachi dan korai.

Tags : alternate universe | hoshiumi korai-centric | family - friendship | hurt/comfort | narration

CW - TW // harsh words ; self harm (mentioned) ; spoiler manga

haikyuu milik furudate h.

Selamat membaca <3

***

KORAI menatap Sachiro.

Cahaya senja menyinari mereka dari arah barat. Korai terengah-engah, seluruh tubuhnya dibasahi keringat. Dia telah mengejar Sachi dan menarik kepalan tangannya dari dinding. Berteriak dan berteriak sementara Sachi hanya bergeming.

Diamnya Sachi terasa sangat menyengat. Kekosongan yang membuat Korai ingin mengguncang Sachi hingga giginya bergemeletuk agar laki-laki itu bisa sadar dengan cepat.

Korai menarik napas, melirik tangan Sachi yang terkepal dan sisa-sisa darah di dinding. Korai membuang napas dan menatap Sachi yang masih bergeming. Jejak air mata di pipi dan frustasi yang menguar di sekeliling.

"Lo kenapa?" Korai bertanya. Khawatirnya ada untuk Sachi dan kepalan tangannya yang ditarik di sepanjang dinding. Ada untuk kedua mata Sachi yang tampak mati sehabis mereka bertanding. Ada untuk kebingungan akan apa yang membuat Hirugami Sachiro berdiri dengan tangan berdarah dan tampak hancur berkeping-keping. "Lo kenapa, Sachi?"

Ketenangan Sachiro goyah. Korai terperangah. Kehancuran Sachi tercermin di seluruh wajah, terpantul di kedua mata yang memerah, membias dari pemandangan senja yang megah.

Sachi tampak luar biasa kalah. Ketika dia menjawab, suaranya patah.

"Kayaknya," gumam Sachi, "kayaknya gue gak sesuka itu sama voli."

Kayaknya gue benci.

Kesadaran menampar Korai seperti siraman air dingin. Seperti ingatan di mana kadang-kadang Sachi tampak lebih monster dari Korai sendiri. Seperti pemahaman yang mengerikan bahwa Sachi terlalu keras pada dirinya sendiri jika itu tentang voli. Seperti kesadaran tiba-tiba bahwa Sachi, Sachi tidak tampak bebas saat bermain voli.

Bahwa voli tidak membuat Sachi bahagia, justru menggerus semangatnya dengan tega.

Korai menarik napas, kepalanya terasa berenang dan panas. Tapi dia tahu satu hal yang bisa dikatakannya tanpa membuat situasi memanas.

"Kalo gitu berhenti," katanya pada Sachi. "Kalo lo gak suka, lo juga gak bakal mati kalo lo berhenti main voli."

Sachi menatapnya seolah-olah Korai luar biasa gila. Tapi Kourai keras kepala dan jika voli membuat Sachi sakit seperti mengadu kepalan tangannya dengan dinding, seperti menyeret kulit terbuka dan membuatnya berdarah, maka biarlah. Maka biarlah Sachi berhenti meski Korai suka memiliki laki-laki itu di timnya.

Korai lebih suka jika Sachi tidak mati.

Entah apa yang terjadi di kepala Sachi. Entah pemahaman apa yang dia dapatkan dari kata-kata Korai. Tapi laki-laki berambut coklat itu tersenyum dan untuk pertama kali, tampak jauh lebih tulus dan cerah. Jauh lebih indah dari pijaran senja yang menyapu wajah Sachi yang basah.

"Korai," panggil Sachi. "Kapan lo ngerasa paling bebas?"

"Di lapangan. Waktu gue bisa lompat tinggi-tinggi dan bikin orang-orang terpesona sama lompatan gue meski gue pendek." Korai menjawab dengan mudah, semudah bernapas. "Kalo lo? Pasti bukan pas main voli."

Sachi tersenyum lagi. Korai mendapati dirinya tidak bisa berkata-kata untuk sesaat. Bukan karena dia jatuh cinta. Tapi karena untuk kali pertama, senyum Sachi tampak begitu leluasa.

Dua bulan setelah kelulusan mereka, keberadaan Hirugami Sachiro seolah lenyap dari dunia. Tidak ada panggilan telepon, tidak ada pesan, bahkan tidak ada sepatah kata sialan yang setidaknya memberitahu Sachiro pergi ke mana. Keluarganya tidak tahu, pelatih dan tim mereka tidak tahu, Korai tidak tahu Sachi ada di mana atau apakah dia baik-baik saja.

Korai tidak tahu apa-apa tentang Hirugami Sachiro yang pernah tersenyum di bawah bayangan senja. Yang pernah dengan bangga menyebut Korai sahabatnya. Yang pernah Korai pegang kedua tangannya dan meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Korai menghabiskan minggu pertama hilangnya Sachi dengan berteriak. Berteriak pada panggilan yang tidak tersambung, berteriak pada saudara laki-laki Sachi yang tahu Sachi pergi tapi tidak tahu apa-apa lagi, berteriak pada kosong kamarnya sendiri, berteriak pada Sachi yang entah di mana dan kenapa dia meninggalkan Korai tanpa perpisahan? Kenapa Sachi pergi tanpa mengatakan apa-apa seolah persahabatan mereka tidak ada artinya?

Kenapa Sachi pergi?

Satu bulan setelah Sachi hilang, satu bulan setelah Korai mencari dan terus mencari, Korai sadar bahwa ke manapun Sachiro pergi, dia tidak ingin ditemukan.

Itu membuat Korai bergejolak dengan amarah dan kesadaran;

Bagi Korai, kebebasan adalah tentang melompat tinggi-tinggi. Mungkin bagi Sachi, kebebasan adalah pergi.

Setidaknya Sachi bebas, bukan?

Tidak apa-apa selama sahabatnya bisa mencecap rasa kebebasan. Tidak apa-apa selama Sachi bahagia dan melakukan apa pun yang ingin dia lakukan. Tidak apa-apa meski Korai dibuat bertanya-tanya dalam kesendirian.

Korai menelan bulat-bulat perasaan kehilangan dan ditinggalkan.

SACHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang