SACHIRO tersenyum.Korai mengedipkan mata dan Sachiro masih ada. Dia masih duduk di samping ranjang Korai dengan senyum di wajahnya. Fitur wajahnya tampak lebih dewasa, tapi senyum hangatnya masih sama. Korai masih menatap Sachi dengan dua mata terbuka tapi pikirannya melayang ke mana-mana.
Sachiro menyodok pipinya dengan satu jari dan Korai berteriak.
"NGAPAIN LO?!" tanyanya, tangan di pipi yang Sachi sentuh tadi.
Sachi menghela napas, dan Korai benci pada pengertian di matanya. Sudah lima tahun dan Sachi masih membaca Korai seolah-olah dia adalah buku terbuka.
"Gue di sini," kata Sachi meyakinkan. "Gue nyata dan bukan mimpi. Gue beneran ngambil pesawat pertama dan terbang dua belas jam—"
"Lo ke mana aja?" sela Korai. Sachi menutup mulutnya dan memandang Korai dengan sedih. Korai menguatkan diri agar suaranya tidak terdengar patah. "Lima tahun. Lima tahun tanpa kabar sama sekali. Lo pikir gue nggak nyari? Lo pikir gue baik-baik aja abis lo pergi?"
Mulut Sachi masih menutup rapat, tapi ada getar pada bibirnya. Korai tahu air matanya sendiri mulai menggenang dan diamnya Sachi begitu menyengat.
"Gue nyari, Sachi." Korai bicara lagi. Kali ini dia bisa mendengar dengan jelas bahwa suaranya serak dan menyedihkan. Bisa merasakan air mata mengalir di pipinya yang panas karena marah. Bisa tahu dia tengah merengek karena lelah. "Gue selalu nyariin lo. Gue nanya ke keluarga lo dan mereka nggak tau jawabannya. Tim kita nanya ke gue dan gue gak tau harus jawab apa. Gue pengen nanya ke lo tapi lo nggak ada, Sachi. Lo cuma tiba-tiba pergi dan gue—"
Korai menelan ludah, bisa merasakan sekat menyakitkan di kerongkongannya yang kering. Panas di kedua mata dan basah di pipi. Korai bisa merasakan jari-jarinya mencengkeram seprai dengan frustasi.
"Gue nggak tau, Sachi." Korai akhirnya bisa bicara lagi, tapi dia sudah tak mengerti selain bahwa dia tengah menumpahkan seluruh emosi yang dipendamnya selama ini. "Gue nggak tau lo kenapa. Gue nggak tau lo ada di mana. Gue bahkan nggak tau apa lo baik-baik aja. Gue nggak tau lo pengen gue nyari lo atau lo pengen gue ngelupain lo kayak lo yang ninggalin gue gitu aja."
Korai menghela napas dengan mulut terbuka, mencoba untuk membuat semuanya terasa sedikit lebih lega. Air matanya masih mengalir dan Korai menghapusnya dengan segera.
"Gue juga nggak tau."
Korai mendongak, menatap mata Sachi yang ditujukan lurus padanya. Kedua mata coklatnya tampak begitu terbuka, dengan jelas menunjukkan kebingungan dan Korai mengerti bahwa Sachi tengah jujur padanya.
"Gue udah lulus dari sekolah dan gue udah berhenti main voli. Gue nggak tau mau ngapain lagi." Sachi menghela napas kasar, seolah-olah dia juga butuh melepaskan gusar. "Selama ini gue cuma tau voli. Tapi voli nggak bikin gue bahagia, justru sakit sampe gue harus berhenti. Tapi selain voli, gue nggak tau harus apa lagi, Rai. Gue nggak tau harus apa abis ngelepasin dunia di mana gue pernah begitu ada di dalamnya."
Korai ingin marah. Ingin marah dan berteriak dan berteriak dan berteriak pada Sachi bahwa itu bukan alasannya untuk pergi begitu saja. Tapi Korai, untuk semua rasa bencinya pada keputusan impulsif Sachi, juga mengerti.
Sebab voli adalah dunia Korai. Kebebasannya. Dedikasinya. Voli menjadi hampir segalanya dan Korai tahu dulu Sachi juga begitu. Korai tahu voli pernah menjadi dunia Sachi juga meski mereka punya pandangan yang berbeda soal dunia.
Voli bagi Sachi adalah dunia yang busuk dan berkarat. Parasit yang mengonsumsi sisa kehidupan dan menginjak-injaknya di bawah nama keharusan. Voli adalah dunia yang merusak Sachi tapi itu tetaplah dunia bagi Sachi. Voli tetap pernah menjadi alasan Sachi bangun di pagi hari. Pernah menjadi alasan Sachi masih berdiri dan bertahan satu hari lagi. Pernah menjadi segalanya yang Sachi miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
SACHI
Fanfictionㅤ bagi korai, ㅤ bebas berarti melompat tinggi-tinggi. ㅤ bagi sachi, ㅤ bebas berarti pergi. haikyuu!fanfiction