Epilog

35 8 3
                                    


KORAI menurunkan maskernya. Popularitas timnya meningkat akhir-akhir ini. Tim PR  telah meminta Korai untuk berhati-hati, tapi Korai tidak merasa dia perlu menyembunyikan identitasnya di sini. Tempat yang dikunjunginya tidak seperti Tokyo yang berdenyut dengan kesibukan khas kota besar. Kota kecil yang Korai kunjungi terletak tidak terlalu jauh dari Tokyo, tapi dengan denyut yang sama sekali berbeda.

Ada sesuatu tentang suasana di sekitarnya. Kehidupan yang lebih tenang dan tidak membuatnya tergesa-gesa. Korai merasa bisa menghirup napas dalam-dalam dan membebaskannya dengan lega. Kota ini tidak terasa mendebarkan seperti pertandingan. Bukan juga jenis yang melelahkan seperti latihan. Kota ini terasa seperti damai yang menenangkan di dorm ketika Korai dan semua anggota timnya bisa bersantai setelah pertandingan besar.

Seperti sekolah menengah ketika Korai dan Sachi berjalan pulang, matahari terbenam mengiringi langkah kaki dan tawa yang mereka teredam.

Korai bertanya-tanya apa Sachi merasakan hal yang sama saat dia datang ke kota yang dipilihnya secara acak.

Secarik kertas yang Sachi tinggalkan berisi peta dengan coretan warna merah. Korai bisa dengan cepat memahami bahwa tanda silang berarti kota yang sudah Sachi kunjungi dan lingkaran adalah destinasi selanjutnya.

Pantas saja Korai kesulitan menemukan jejak Sachi lima tahun belakangan.

Sachi jelas berpindah dari satu kota ke kota lainnya, tidak pernah menetap terlalu lama. Korai bertanya-tanya kota mana yang Sachi maksud dengan dua belas jam penerbangan. Jelas bahwa Sachi tidak hanya berkelana di negara asalnya saja.

Itu cerita untuk lain hari.

Korai melangkahkan kakinya, tatapan terpaku pada navigasi ponsel yang menunjukkan arah tujuannya.

Korai ingat Fukuro memojokkannya dan meminta Korai bernapas, dengan tenang dan sabar menjelaskan bahwa kali ini, Sachiro tidak hanya pergi begitu saja. Ini tidak seperti lima tahun lalu di mana Sachi pergi tanpa mengatakan apa-apa. Kali ini Sachi memberinya peta dengan kota yang dilingkari dan secarik alamat di belakangnya.

Korai masih marah, tapi dia bersedia menahan amarahnya agar bisa menghajar Sachi langsung di wajah.

Korai berhenti di depan bangunan kecil yang tampak terawat. Sekilas pengamatan menunjukkan bahwa ini adalah klinik hewan sekaligus tempat yang menjual barang-barang untuk peliharaan.

Hah.

Korai terbiasa membayangkan Sachi sebagai rekan setimnya. Bola voli di tangan (yang dia genggam dengan kebencian). Lima tahun kepergian Sachi membuat Korai membayangkan Sachi sebagai sosok nomaden dengan mata tersesat dan wajah asing di negeri antah-berantah. Korai butuh merekonstruksi ulang bayangan Sachi dikelilingi hewan-hewan, dan itu terlalu mudah untuk dibayangkan.

Sebab Korai sendiri tahu hangat senyum Sachi dan cinta di hatinya yang berdarah. Kebaikan yang Korai temukan tersembunyi di balik fasad tenang atau amarah yang datang kadang-kadang.

Itu hanya Sachiro.

Dunia mungkin menekuknya hingga bengkok dan patah, tapi Sachiro masih punya cinta untuk dunia yang begitu payah.

Pemikiran itu membuat Korai tersenyum saat dia mendorong pintu dan disambut dengan suara gonggongan. Sachiro tengah berlutut dengan seekor anjing besar yang meletakkan kakinya di pangkuan Sachi.

Korai mati-matian membuang perasaan hangat saat melihat Sachi. Korai harusnya merasa marah, tapi Sachi melihatnya dan terperangah. Mata coklatnya menyala dengan cahaya dan senyum di wajahnya mulai merekah.

Korai mengerang, dia tidak bisa marah dengan Sachi yang ini.

Sachi yang ini, yang tampak begitu lembut dan bahagia. Yang senyumnya hangat dan matanya bercahaya. Yang menyambut Korai dengan pelukan berbau anjing dan obat-obatan. Dan meski Korai ingin marah karena Sachi pergi tiba-tiba, Korai tidak bisa.

Mana bisa Korai marah pada sahabatnya yang tampak bebas dan bahagia?

Korai membalas pelukan Sachi, menahan sengatan air mata karena kehangatan yang tumpah ruah.

Korai tidak peduli apa yang Sachi lakukan. Dia bisa menjadi pertapa di gunung terpencil dan itu tidak apa-apa. Tidak apa-apa selama tidak ada lagi beban di kedua pundak Sachi dan tatapan matanya yang mati. Tidak apa-apa selama Sachi menemukan bebas versinya sendiri.

"Sekali lagi lo pergi tanpa pamit, gue bakal nyuruh Wakatoshi nonjok lo pake tangan kiri." Korai mengancam dengan setengah main-main, setengah lagi serius bukan main.

Sachi menjawab dengan tawa, teredam karena dia membenamkan wajahnya di lekuk leher Korai. Untuk sesaat, ada keheningan yang damai di antara mereka dan Korai tidak ingin merusaknya. Korai ingin menikmati saat-saat di mana dia bisa memeluk Sachi setelah sekian lama mereka berpisah.

"Korai." Sachi berbisik dan Korai merasakan napasnya yang hangat di leher Korai sendiri. "Gue udah ngerasa bebas."

Tenggorokan Korai terasa dilapisi sekat. Jari-jarinya mencengkeram pakaian Sachi lebih erat, memeluknya lebih dekat.

"Bagus," balas Korai dengan suara serak.

Padahal Korai tidak perlu bertanya, Sachi tidak perlu mengatakan apa-apa. Mereka tidak perlu membicarakan apakah Sachi sudah meraih kebebasannya karena Korai bisa melihatnya. Dia bisa melihatnya dari cara Sachi tampak lebih lega, dari kedua bahunya yang tidak lagi menanggung beban dunia, dari pancaran matanya yang menyiratkan bahagia, dari senyumnya yang masih hangat tapi tampak lebih leluasa.

Lain kali orang bertanya tentang makna bebas di kepalanya, Korai masih akan menjawab bahwa bebas adalah ketika dia melompat tinggi-tinggi. Tapi Korai akan mengingat Sachi dan senyum hangatnya, rambut coklat berantakan dan lega di matanya. Korai akan mengingat senyum Sachi yang leluasa dan mengatakan bahwa  kebebasan Sachi adalah milik Korai juga.

Bahwa dunia di mana Korai dan Sachi sama-sama hidup dengan keinginan mereka sendiri adalah kebebasan yang ingin Korai jaga dengan sekuat tenaga.

Korai hendak meneriakkannya hingga serak, memamerkannya pada dunia yang bersorak.

Bahwa dia bebas, Sachi bebas, mereka bebas.

Korai merasa sangat lega dan puas.

— TAMAT.

A/N.

Wow, tamat. Sekali lagi, fic ini ditulis cuma karna pengen aja. Apa ya🤔 Aku lagi gak pengen bikin cerita yang wah, cuma inspirasi mendadak yang aku dapetin abis baca canonnya sachi dan korai. Lebih ke, 'gimana kalo?' Sebuah fiksi yang terlahir dari imajinasi dan keinginan aku buat menuangkannya ke karya dan dibaca sama yang mau aja.

Aku gak berharap banyak soal fic ini, tapi aku bikinnya bukan tanpa cinta. Nyatanya, aku beneran enjoy karena membebaskan diri dari ekspektasi apa-apa. Karna fic ini ditulis dengan tema tentang kebebasan, aku juga nulis dengan rasa bebas. Tiap kali mulai merasa tertekan, aku berenti dan ngelanjutin pas pengen aja. Jadi aku harap, temen-temen juga baca cerita ini dengan bebas :)

Terima kasih sudah membaca sampai di sini, sampai jumpa lagi!!

SACHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang